Brusellosis adalah penyakit zoonotik menular yang disebabkan oleh bakteri dari genus Brucella. Penyakit ini memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat di seluruh dunia, terutama di daerah endemik yang praktik peternakannya masih tradisional dan sanitasi kurang memadai. Meskipun dikenal sebagai "demam Mediterania", "demam Malta", atau "demam undulan" pada manusia, dan menyebabkan abortus menular pada hewan, brusellosis sering kali terabaikan dalam agenda kesehatan global. Kompleksitasnya terletak pada variabilitas gejala, kesulitan diagnosis, serta tantangan dalam pengendalian dan eradikasi, terutama karena kemampuan bakteri Brucella untuk bertahan hidup secara intraseluler.
Penyakit ini ditularkan dari hewan ke manusia, dan jarang dari manusia ke manusia. Sumber utama penularan ke manusia adalah melalui konsumsi produk susu mentah atau daging yang tidak dimasak dengan sempurna dari hewan terinfeksi, atau melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi atau produk abortusnya. Brusellosis dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar pada sektor peternakan akibat abortus, penurunan produksi susu dan daging, serta sterilitas pada hewan. Pada manusia, penyakit ini dapat menyebabkan kondisi kronis dan melemahkan yang memengaruhi berbagai sistem organ, mulai dari demam intermiten yang menjadi ciri khasnya hingga komplikasi serius yang mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan tepat.
Memahami brusellosis secara komprehensif memerlukan tinjauan mendalam mengenai agen penyebabnya, mekanisme penularan, manifestasi klinis pada berbagai spesies, metode diagnostik yang tersedia, pendekatan terapeutik, serta strategi pencegahan dan pengendalian yang efektif. Artikel ini akan membahas setiap aspek tersebut secara rinci, menyoroti pentingnya pendekatan "One Health" dalam memerangi penyakit zoonotik seperti brusellosis yang membutuhkan kerja sama lintas sektor antara kesehatan hewan, kesehatan manusia, dan lingkungan.
I. Etiologi dan Agen Penyebab Brusellosis
Brusellosis disebabkan oleh bakteri yang termasuk dalam genus Brucella, yang merupakan anggota keluarga Brucellaceae. Bakteri ini adalah kokobasil Gram-negatif, aerobik non-motil, tidak membentuk spora, dan merupakan patogen intraseluler fakultatif. Karakteristik intraseluler ini memungkinkan bakteri untuk menghindari sistem kekebalan inang dan antibiotik, menjadikannya sangat sulit untuk dieradikasi baik pada hewan maupun manusia.
Spesies Brucella dan Inang Alaminya
Genus Brucella terdiri dari beberapa spesies, masing-masing dengan inang alami utama yang berbeda, meskipun penularan lintas spesies dapat terjadi. Hingga saat ini, ada lebih dari sepuluh spesies Brucella yang diakui, dan beberapa di antaranya memiliki signifikansi zoonotik yang tinggi.
- Brucella melitensis: Ini adalah spesies yang paling patogen dan virulen bagi manusia, menyebabkan bentuk brusellosis yang paling parah dan sering dikaitkan dengan demam Malta. Inang alaminya adalah kambing dan domba, tetapi juga dapat menginfeksi sapi, unta, anjing, dan bahkan manusia. Penyebarannya sangat luas di Mediterania, Timur Tengah, Asia, dan beberapa bagian Afrika.
- Brucella abortus: Umumnya ditemukan pada sapi dan kerbau, menyebabkan "penyakit Bang" yang ditandai dengan abortus pada trimester terakhir kehamilan. Meskipun kurang virulen dibandingkan B. melitensis, B. abortus tetap menjadi penyebab brusellosis pada manusia di seluruh dunia, terutama di kalangan peternak dan dokter hewan. Spesies ini juga dapat menginfeksi bison, yak, dan kadang-kadang babi, anjing, dan kuda.
- Brucella suis: Inang alami utama adalah babi, menyebabkan brusellosis babi yang ditandai dengan abortus, orkitis, dan artritis. Ada empat biotipe utama B. suis, dengan biotipe 1 dan 3 yang paling sering menginfeksi babi domestik, sedangkan biotipe 2 ditemukan di Eropa tengah pada babi hutan dan kelinci. Biotipe 4 lebih spesifik untuk karibu dan rusa kutub di Arktik. B. suis dapat menyebabkan penyakit parah pada manusia, sering kali dengan komplikasi yang lebih destruktif seperti lesi supuratif.
- Brucella canis: Spesies ini menginfeksi anjing, menyebabkan epididimitis pada anjing jantan dan abortus pada anjing betina. Penularan ke manusia relatif jarang tetapi dapat terjadi, terutama pada individu dengan kontak erat dengan anjing yang terinfeksi atau pekerja laboratorium.
- Brucella ovis: Spesies ini menginfeksi domba jantan, menyebabkan epididimitis dan sterilitas. Tidak dianggap patogen signifikan bagi manusia.
- Brucella neotomae: Ditemukan pada tikus kayu gurun (Neotoma lepida). Tidak diketahui menyebabkan penyakit pada manusia atau hewan domestik.
- Spesies Brucella Kelautan: Termasuk B. ceti (ditemukan pada cetacea seperti lumba-lumba dan paus) dan B. pinnipedialis (ditemukan pada pinnipedia seperti anjing laut dan singa laut). Potensi zoonotiknya masih diteliti, namun ada laporan kasus pada manusia yang berhubungan dengan paparan hewan laut.
- Spesies Brucella Terbaru: Beberapa spesies baru telah diidentifikasi dalam beberapa tahun terakhir, seperti B. microti (dari tikus lapangan dan lingkungan), B. inopinata (dari pasien implan payudara), B. papionis (dari babun), dan B. vulpis (dari rubah). Signifikansi klinis dan epidemiologis dari spesies-spesies ini terus dieksplorasi, namun keberadaan mereka menunjukkan adaptasi luas genus Brucella terhadap berbagai inang.
Karakteristik Mikrobiologi dan Ketahanan
Bakteri Brucella dicirikan oleh ukurannya yang kecil (0,5-0,7 µm lebar dan 0,6-1,5 µm panjang), bentuk kokobasil (antara kokus dan basil), dan tidak memiliki kapsul atau flagela, sehingga non-motil. Mereka tumbuh dengan lambat di media kultur standar, dan beberapa spesies memerlukan suplementasi CO2 untuk pertumbuhan optimal, terutama pada isolasi primer. Karakteristik biokimia mereka cukup konservatif di antara spesies, yang dapat mempersulit identifikasi di laboratorium tanpa metode molekuler.
Ketahanan Brucella di lingkungan bervariasi tergantung pada kondisi. Mereka dapat bertahan hidup selama beberapa minggu hingga beberapa bulan di lingkungan yang lembab dan dingin, seperti tanah yang terkontaminasi, air, feses, dan produk abortus. Di dalam susu mentah atau produk susu, bakteri ini dapat bertahan hidup selama beberapa hari hingga beberapa minggu pada suhu pendingin. Namun, mereka sensitif terhadap panas (pasteurisasi efektif membunuhnya), desinfektan umum, dan sinar matahari langsung. Kemampuan mereka untuk bertahan hidup dalam sel fagosit (makrofag) di dalam inang adalah kunci patogenisitasnya, karena ini memungkinkan mereka untuk menghindari penghancuran oleh sistem kekebalan dan berkembang biak.
II. Epidemiologi Brusellosis
Epidemiologi brusellosis sangat kompleks, dipengaruhi oleh geografi, praktik peternakan, kebersihan, dan tingkat kesadaran masyarakat. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan hewan yang signifikan di banyak belahan dunia, terutama di negara berkembang.
Distribusi Geografis dan Prevalensi
Brusellosis memiliki distribusi global, tetapi prevalensinya sangat bervariasi. Daerah-daerah endemik utama meliputi cekungan Mediterania (Spanyol, Italia, Yunani, Turki), Timur Tengah, sebagian besar Afrika, Asia Tengah dan Selatan (termasuk India, Pakistan, Tiongkok), serta Amerika Latin (Meksiko, Peru, Argentina, Brazil). Di negara-negara maju seperti Australia, Kanada, sebagian besar Eropa Barat, Selandia Baru, dan Amerika Serikat, brusellosis pada ternak telah berhasil dieradikasi atau dikendalikan dengan sangat baik melalui program vaksinasi dan pemusnahan hewan terinfeksi.
Meskipun demikian, kasus sporadis atau wabah lokal masih dapat terjadi bahkan di negara-negara yang bebas brusellosis, seringkali terkait dengan impor hewan yang terinfeksi atau produk hewan yang terkontaminasi. Perubahan iklim dan globalisasi perdagangan hewan juga dapat mempengaruhi pola penyebaran penyakit ini di masa depan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran
Beberapa faktor kunci berkontribusi terhadap persistensi dan penyebaran brusellosis:
- Praktik Peternakan: Sistem peternakan ekstensif atau semi-intensif tanpa biosekuriti yang memadai, penggembalaan bersama, dan perdagangan hewan yang tidak terkontrol memungkinkan penyebaran infeksi antar kawanan. Kurangnya sanitasi di kandang dan fasilitas perkembangbiakan juga memperburuk masalah.
- Konsumsi Produk Hewan Mentah: Tradisi mengonsumsi susu mentah, keju segar yang tidak dipasteurisasi, atau daging yang kurang matang merupakan jalur utama penularan ke manusia di banyak daerah endemik.
- Kurangnya Vaksinasi Hewan: Program vaksinasi ternak yang tidak merata atau tidak ada di banyak negara berkembang memungkinkan sirkulasi bakteri dalam populasi hewan.
- Keterbatasan Diagnostik dan Surveilans: Kurangnya fasilitas diagnostik yang memadai, tenaga terlatih, dan sistem surveilans yang efektif menghambat deteksi dini dan pengendalian penyakit.
- Mobilitas Hewan dan Manusia: Migrasi ternak musiman, perdagangan hewan lintas batas, dan pergerakan penduduk membawa risiko penyebaran penyakit ke daerah baru.
- Pengetahuan dan Kesadaran Masyarakat: Kurangnya informasi tentang brusellosis di kalangan peternak, pekerja ternak, dan masyarakat umum seringkali menyebabkan praktik yang berisiko dan keterlambatan dalam mencari pertolongan medis.
Dampak Ekonomi
Brusellosis menimbulkan kerugian ekonomi yang substansial pada sektor peternakan. Kerugian ini berasal dari:
- Penurunan Produksi: Abortus, lahir mati, dan infertilitas pada hewan betina secara drastis mengurangi tingkat reproduksi dan produksi ternak. Penurunan produksi susu dan daging juga signifikan.
- Biaya Pengendalian: Meliputi biaya vaksinasi massal, program "test and slaughter" (pemusnahan hewan terinfeksi), diagnostik, dan karantina.
- Pembatasan Perdagangan: Negara-negara atau daerah yang endemik brusellosis sering menghadapi pembatasan ekspor hewan hidup dan produk hewan ke pasar internasional, yang merugikan ekonomi nasional.
- Kerugian Tenaga Kerja: Penyakit pada manusia dapat menyebabkan ketidakmampuan kerja sementara atau permanen, yang berdampak pada produktivitas dan pendapatan keluarga.
III. Patogenesis dan Mekanisme Penyakit
Patogenesis brusellosis melibatkan interaksi kompleks antara bakteri Brucella dan inang, baik hewan maupun manusia. Bakteri ini adalah patogen intraseluler yang ulung, mampu menghindari sistem kekebalan inang dan bereplikasi di dalam sel-sel tertentu.
Jalur Masuk dan Diseminasi Awal
Bakteri Brucella dapat memasuki tubuh inang melalui berbagai jalur:
- Saluran Pencernaan: Ini adalah jalur paling umum pada manusia, terutama melalui konsumsi produk susu mentah atau daging yang terkontaminasi. Pada hewan, bisa melalui pakan atau air yang tercemar.
- Kulit yang Luka: Abrasi kecil pada kulit, luka terbuka, atau melalui membran mukosa (misalnya, konjungtiva mata) dapat menjadi titik masuk, terutama bagi mereka yang memiliki kontak langsung dengan hewan terinfeksi atau jaringan abortus.
- Saluran Pernapasan: Inhalasi aerosol yang mengandung bakteri dari lingkungan yang terkontaminasi (misalnya, kandang hewan, laboratorium) juga dapat menyebabkan infeksi.
- Transmisi Seksual: Pada hewan, terutama domba jantan dan sapi jantan, transmisi melalui kawin dapat terjadi.
Setelah masuk, bakteri akan difagositosis oleh makrofag dan sel fagosit lainnya di tempat masuk dan diangkut ke kelenjar getah bening regional. Di sinilah bakteri mulai bereplikasi secara intraseluler.
Peran Intraseluler dan Respon Imun Inang
Kunci patogenisitas Brucella adalah kemampuannya untuk bertahan hidup dan bereplikasi di dalam sel fagosit. Mereka menghambat fusi fagosom-lisosom, sehingga mencegah penghancuran oleh enzim lisosomal. Sebaliknya, mereka memodifikasi fagosom menjadi kompartemen replikatif yang menyerupai retikulum endoplasma. Bakteri juga dapat bersembunyi di dalam sel lain seperti sel epitel, sel endotel, dan sel trofoblas pada hewan hamil.
Keberadaan bakteri di dalam sel ini memungkinkannya untuk menghindari deteksi oleh antibodi dan sel T sitotoksik secara efisien, serta terlindungi dari efek antibiotik yang bekerja ekstraseluler. Respon imun inang terhadap Brucella didominasi oleh imunitas seluler (Th1) yang melibatkan makrofag yang diaktifkan, sel T CD4+, dan sel T CD8+. Namun, bakteri memiliki mekanisme untuk memodulasi respon imun ini, termasuk produksi molekul yang menekan respons pro-inflamasi dan menghambat presentasi antigen.
Akhirnya, bakteri akan menyebar melalui sistem limfatik dan darah (menyebabkan bakteremia) ke organ-organ yang kaya akan sistem retikuloendotelial, seperti limpa, hati, sumsum tulang, serta organ reproduksi, terutama pada hewan betina yang sedang hamil.
Kerusakan Organ dan Manifestasi Klinis
Di organ target, Brucella dapat menyebabkan pembentukan granuloma dan respons inflamasi kronis. Pada hewan, mereka memiliki tropisme tinggi terhadap jaringan reproduksi, terutama setelah kehamilan. Ini karena keberadaan eritritol, gula alkohol yang merangsang pertumbuhan Brucella dan ditemukan dalam konsentrasi tinggi di plasenta dan cairan fetal. Akumulasi bakteri di plasenta menyebabkan plasentitis, yang mengarah pada nekrosis plasenta dan, akibatnya, abortus. Pada hewan jantan, infeksi dapat menyebabkan orkitis dan epididimitis.
Pada manusia, infeksi dapat mempengaruhi hampir semua sistem organ. Gejala sistemik seperti demam, malaise, dan kelelahan disebabkan oleh respons imun terhadap bakteremia dan produk bakteri. Pembentukan granuloma dan peradangan kronis di berbagai organ dapat menyebabkan komplikasi seperti osteoartritis, endokarditis, dan neurobrusellosis, yang akan dibahas lebih lanjut di bagian gejala klinis.
IV. Penularan Brusellosis
Memahami jalur penularan brusellosis sangat penting untuk mengembangkan strategi pencegahan dan pengendalian yang efektif. Penyakit ini terutama ditularkan dari hewan ke manusia (zoonotik), dari hewan ke hewan, dan sangat jarang dari manusia ke manusia.
A. Penularan Hewan ke Manusia (Zoonotik)
Ini adalah mode penularan yang paling signifikan dari sudut pandang kesehatan masyarakat. Ada beberapa cara utama bakteri dapat berpindah dari hewan ke manusia:
1. Konsumsi Produk Hewan Terkontaminasi
Ini adalah jalur penularan tersering. Bakteri Brucella dapat ditemukan dalam susu, keju, dan produk susu lainnya yang dibuat dari susu mentah (tidak dipasteurisasi) dari hewan yang terinfeksi. Daging yang kurang matang dari hewan terinfeksi juga dapat menjadi sumber infeksi, meskipun risiko ini lebih rendah dibandingkan produk susu. Konsumsi organ dalam (misalnya, hati, limpa) dari hewan terinfeksi yang tidak dimasak dengan benar juga berisiko.
2. Kontak Langsung dengan Hewan atau Jaringan Terinfeksi
Orang-orang yang bekerja dengan hewan, seperti peternak, dokter hewan, pekerja rumah potong hewan, dan teknisi laboratorium, memiliki risiko tinggi terinfeksi melalui kontak langsung. Penularan terjadi ketika bakteri masuk melalui luka atau abrasi pada kulit, atau melalui membran mukosa (misalnya, mata, hidung, mulut). Kontak dengan cairan tubuh hewan terinfeksi seperti darah, urine, feses, cairan vagina, atau plasenta dan produk abortus sangat berisiko tinggi karena konsentrasi bakteri yang sangat tinggi.
3. Inhalasi Aerosol
Inhalasi tetesan udara (aerosol) yang mengandung bakteri Brucella dapat terjadi di lingkungan yang sangat terkontaminasi, seperti kandang hewan, gudang jerami tempat hewan melahirkan atau abortus, atau di laboratorium saat menangani kultur bakteri. Jalur ini merupakan perhatian khusus untuk pekerja laboratorium dan dapat menyebabkan infeksi pernapasan primer.
B. Penularan Hewan ke Hewan
Penularan brusellosis di antara hewan ternak adalah mekanisme utama yang mempertahankan penyakit ini dalam suatu populasi. Ini terjadi melalui beberapa cara:
- Kontak Langsung: Hewan yang terinfeksi, terutama yang baru saja abortus atau melahirkan, mengeluarkan bakteri dalam jumlah besar melalui cairan abortus, plasenta, cairan vagina, dan susu. Hewan lain dapat terinfeksi dengan menjilati produk abortus, atau melalui kontak dengan lingkungan yang terkontaminasi.
- Konsumsi Pakan atau Air Terkontaminasi: Pakan atau air minum yang terkontaminasi oleh cairan tubuh dari hewan terinfeksi merupakan sumber penularan yang umum dalam kawanan.
- Transmisi Seksual: Jantan yang terinfeksi dengan orkitis (radang testis) atau epididimitis (radang epididimis) dapat menularkan bakteri melalui air mani selama kawin.
- Transmisi Vertikal: Anak hewan dapat terinfeksi dari induknya selama kehamilan (transplasenta) atau selama menyusui melalui susu yang terinfeksi.
C. Penularan Manusia ke Manusia (Sangat Jarang)
Penularan brusellosis dari manusia ke manusia sangat jarang terjadi dan tidak dianggap sebagai jalur penularan yang signifikan secara epidemiologis. Namun, beberapa kasus telah dilaporkan, meliputi:
- Transfusi Darah atau Transplantasi Organ: Jika donor darah atau organ terinfeksi dan tidak terdeteksi, resipien dapat terinfeksi.
- Transmisi Seksual: Ada laporan kasus yang sangat jarang tentang penularan brusellosis melalui hubungan seksual, terutama dari pria terinfeksi ke pasangannya.
- Menyusui: Meskipun jarang, ibu yang terinfeksi dapat menularkan bakteri kepada bayinya melalui ASI.
- Transmisi Perinatal: Transmisi dari ibu hamil terinfeksi ke janin juga dapat terjadi, menyebabkan infeksi kongenital pada bayi.
V. Gejala Klinis Brusellosis
Brusellosis dikenal dengan manifestasi klinisnya yang beragam dan seringkali non-spesifik, menjadikannya tantangan diagnostik. Gejala dapat bervariasi antara akut, subakut, dan kronis, serta berbeda antara manusia dan hewan.
A. Pada Manusia (Brusellosis Undulans)
Masa inkubasi brusellosis pada manusia sangat bervariasi, mulai dari beberapa hari hingga beberapa bulan, rata-rata 2-4 minggu. Gejala seringkali tidak spesifik, menyebabkan diagnosis sering tertunda atau salah didiagnosis sebagai penyakit lain.
1. Gejala Akut dan Umum
Fase akut brusellosis pada manusia sering disebut "demam undulan" karena pola demamnya yang naik turun secara bergelombang. Gejala awal biasanya muncul secara bertahap:
- Demam: Khas demam bergelombang, dengan suhu tubuh naik di sore/malam hari dan turun di pagi hari, berlangsung beberapa hari atau minggu, diikuti periode tanpa demam, lalu kembali lagi. Namun, demam juga bisa konstan atau intermiten.
- Keringat Malam: Seringkali profus dan melemahkan.
- Kelemahan dan Malaise: Rasa lelah yang parah dan perasaan tidak enak badan secara umum.
- Nyeri Otot dan Sendi (Mialgia dan Artralgia): Nyeri sendi yang meluas sering terjadi, terutama di lutut, pinggul, dan sendi sakroiliaka.
- Sakit Kepala: Umum dan bisa parah.
- Anoreksia dan Penurunan Berat Badan: Kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan yang tidak disengaja.
- Kedinginan dan Menggigil: Sering menyertai episode demam.
- Limfadenopati: Pembesaran kelenjar getah bening.
- Hepatomegali dan Splenomegali: Pembesaran hati dan limpa dapat teraba pada pemeriksaan fisik.
2. Komplikasi Spesifik Organ (Brusellosis Kronis)
Jika tidak diobati atau diobati secara tidak memadai, brusellosis dapat menjadi kronis dan menyebabkan komplikasi serius yang melibatkan hampir setiap sistem organ dalam tubuh. Komplikasi ini adalah alasan utama morbiditas jangka panjang.
- Komplikasi Osteoartikular (30-80% kasus):
- Spondilitis: Infeksi pada tulang belakang, paling sering pada daerah lumbal, menyebabkan nyeri punggung yang parah dan kerusakan vertebra.
- Artritis: Peradangan pada sendi, paling sering monoartikular (satu sendi), terutama sendi besar seperti lutut, pinggul, atau sendi sakroiliaka. Bisa juga poliartikular.
- Osteomielitis: Infeksi pada tulang.
- Bursitis dan Tendinitis: Peradangan pada bursa atau tendon.
- Neurobrusellosis (5-10% kasus): Infeksi sistem saraf pusat, bisa akut atau kronis.
- Meningitis: Peradangan selaput otak dan sumsum tulang belakang.
- Ensefalitis: Peradangan otak.
- Mielitis: Peradangan sumsum tulang belakang.
- Radikuloneuritis: Peradangan saraf perifer.
- Abses otak: Pembentukan nanah di otak. Gejala dapat berupa sakit kepala hebat, kejang, kelumpuhan, atau perubahan perilaku.
- Endokarditis (1-2% kasus): Merupakan komplikasi paling serius dan penyebab utama kematian akibat brusellosis. Infeksi pada katup jantung, seringkali katup aorta, yang dapat menyebabkan kerusakan katup dan gagal jantung. Memerlukan pengobatan antibiotik jangka panjang dan seringkali pembedahan penggantian katup.
- Komplikasi Genitourinari (2-20% kasus):
- Epididimo-orkitis: Peradangan epididimis dan testis pada pria, menyebabkan nyeri dan pembengkakan skrotum.
- Pielonefritis: Infeksi ginjal.
- Sistitis: Infeksi kandung kemih.
- Komplikasi Hepatobiliary:
- Hepatitis: Peradangan hati, seringkali dengan pembesaran hati.
- Abses hati: Pembentukan nanah di hati.
- Kolesistitis: Peradangan kandung empedu.
- Komplikasi Hematologi (jarang):
- Anemia: Seringkali anemia normositik normokrom.
- Leukopenia: Penurunan jumlah sel darah putih.
- Trombositopenia: Penurunan jumlah trombosit.
- Pansitopenia: Penurunan semua jenis sel darah.
- Pembentukan granuloma di sumsum tulang.
- Komplikasi Dermatologi (jarang): Ruam kulit yang bervariasi, nodul, ulserasi.
- Komplikasi Pernapasan (jarang): Bronkitis, pneumonia, efusi pleura.
B. Pada Hewan
Manifestasi klinis brusellosis pada hewan sangat bervariasi tergantung pada spesies inang dan jenis Brucella yang menginfeksi. Gejala utama seringkali melibatkan sistem reproduksi.
1. Pada Sapi (Disebabkan oleh B. abortus)
- Abortus: Ciri khasnya adalah abortus pada trimester akhir kehamilan, biasanya antara bulan ke-5 dan ke-7. Seringkali tanpa tanda-tanda penyakit lain sebelumnya.
- Retensi Plasenta: Plasenta tidak keluar setelah melahirkan atau abortus, menyebabkan metritis dan masalah kesuburan.
- Lahir Mati atau Lahir Anak Lemah: Anak sapi yang lahir hidup dari induk terinfeksi mungkin lemah dan mati tak lama kemudian.
- Penurunan Produksi Susu: Mastitis (peradangan ambing) dapat terjadi, menyebabkan penurunan produksi susu dan perubahan pada kualitas susu.
- Pada Pejantan: Orkitis (radang testis) dan epididimitis (radang epididimis) yang menyebabkan pembengkakan skrotum, nyeri, dan infertilitas.
- Higroma: Pembengkakan sendi kronis (misalnya, di lutut atau siku) akibat peradangan bursa.
2. Pada Domba dan Kambing (Disebabkan oleh B. melitensis dan B. ovis)
- Abortus: Mirip dengan sapi, abortus pada trimester akhir kehamilan adalah gejala utama pada domba dan kambing betina yang terinfeksi B. melitensis.
- Mastitis: Peradangan ambing, yang dapat menyebabkan penurunan produksi susu dan penularan melalui susu.
- Pada Domba Jantan (B. ovis): Epididimitis dan orkitis, yang menyebabkan penurunan kesuburan dan sterilitas. Ini adalah manifestasi utama brusellosis ovis.
- Artritis: Pada beberapa kasus, peradangan sendi dapat terlihat.
3. Pada Babi (Disebabkan oleh B. suis)
- Abortus: Dapat terjadi pada tahap kehamilan apa pun, tetapi seringkali di akhir kehamilan.
- Lahir Mati atau Anak Babi Lemah: Peningkatan jumlah anak babi lahir mati atau lemah.
- Infertilitas: Kegagalan untuk bunting atau kembali berahi setelah kawin.
- Pada Pejantan: Orkitis dan epididimitis, menyebabkan pembengkakan testis dan penurunan kesuburan.
- Artritis dan Spondilitis: Peradangan sendi dan tulang belakang, menyebabkan pincang.
4. Pada Anjing (Disebabkan oleh B. canis)
- Abortus: Pada anjing betina, abortus biasanya terjadi pada trimester ketiga kehamilan.
- Lahir Mati atau Anak Anjing Lemah: Mirip dengan babi, peningkatan jumlah lahir mati.
- Pada Anjing Jantan: Epididimitis dan orkitis adalah ciri khas, menyebabkan pembengkakan testis dan sterilitas.
- Diskitis: Peradangan cakram intervertebralis yang dapat menyebabkan nyeri punggung dan kelumpuhan.
- Limfadenopati: Pembesaran kelenjar getah bening.
Penting untuk dicatat bahwa banyak hewan terinfeksi dapat menjadi pembawa asimptomatik (tanpa gejala), yang sangat mempersulit upaya pengendalian dan eradikasi karena mereka dapat terus menyebarkan bakteri tanpa terdeteksi.
VI. Diagnosis Brusellosis
Diagnosis brusellosis, baik pada manusia maupun hewan, memerlukan kombinasi riwayat klinis, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium. Karena gejala yang non-spesifik, diagnosis seringkali menantang dan membutuhkan kecurigaan klinis yang tinggi.
A. Pada Manusia
Pendekatan diagnostik pada manusia melibatkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, dan serangkaian uji laboratorium.
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
- Riwayat Paparan: Informasi tentang pekerjaan (peternak, dokter hewan, jagal, pekerja laboratorium), riwayat perjalanan ke daerah endemik, atau konsumsi produk susu mentah sangat penting.
- Gejala Klinis: Evaluasi pola demam, keringat malam, nyeri sendi/otot, kelelahan, dan gejala lain yang relevan.
- Pemeriksaan Fisik: Mencari tanda-tanda seperti hepatosplenomegali, limfadenopati, pembengkakan sendi, atau tanda-tanda komplikasi organ spesifik.
2. Diagnosis Laboratorium
Konfirmasi laboratorium sangat penting untuk diagnosis brusellosis. Ada beberapa metode yang digunakan:
- Kultur Bakteri (Standar Emas):
- Kultur Darah: Merupakan metode diagnostik definitif, terutama pada fase akut saat terjadi bakteremia. Namun, Brucella tumbuh lambat dan memerlukan teknik kultur khusus, serta risiko infeksi bagi pekerja laboratorium.
- Kultur Sumsum Tulang: Seringkali lebih sensitif daripada kultur darah, terutama pada kasus kronis atau ketika kultur darah negatif.
- Kultur dari Jaringan Lain: Bakteri juga dapat diisolasi dari cairan serebrospinal, cairan sendi, abses, atau biopsi jaringan, tergantung pada lokasi komplikasi.
- Tes Serologi: Ini adalah metode diagnostik yang paling umum digunakan karena lebih cepat dan aman, meskipun memiliki keterbatasan.
- Uji Aglutinasi Standar (SAT/Standard Agglutination Test): Mendeteksi antibodi terhadap lipopolisakarida (LPS) antigen O dari Brucella. Titer 1:160 atau lebih tinggi pada kasus yang dicurigai biasanya dianggap positif. Dapat memberikan hasil negatif palsu pada infeksi kronis (fenomena prozone) dan positif palsu karena reaksi silang dengan bakteri lain (misalnya, Francisella tularensis, Vibrio cholerae, Yersinia enterocolitica O:9).
- Uji Rose Bengal (RBPT): Tes aglutinasi cepat yang sering digunakan sebagai uji skrining. Lebih sensitif tetapi kurang spesifik dibandingkan SAT.
- ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay): Mendeteksi antibodi IgG dan IgM secara terpisah, yang dapat membantu membedakan infeksi akut (IgM tinggi) dari kronis atau lampau (IgG tinggi). ELISA umumnya lebih sensitif dan spesifik daripada SAT.
- Uji Coombs (Indirect Coombs Test/ICT): Digunakan untuk mendeteksi antibodi non-aglutinasi yang sering muncul pada kasus brusellosis kronis atau pada pasien dengan fenomena prozone pada SAT.
- Uji Fiksasi Komplemen (CFT): Metode yang akurat, tetapi lebih kompleks untuk dilakukan.
- Tes Molekuler (PCR - Polymerase Chain Reaction):
- Mendeteksi DNA bakteri langsung dari sampel klinis (darah, jaringan, cairan tubuh). PCR sangat spesifik dan dapat mendeteksi bakteri bahkan pada konsentrasi rendah. Ini berguna untuk diagnosis cepat, terutama saat kultur sulit atau lambat, dan dapat membedakan spesies Brucella.
B. Pada Hewan
Diagnosis pada hewan sangat penting untuk program pengendalian dan eradikasi. Metode yang digunakan mirip dengan manusia, tetapi dengan fokus pada deteksi dalam skala populasi.
1. Anamnesis dan Gejala Klinis
- Riwayat Kawanan: Informasi tentang abortus, lahir mati, infertilitas, atau orkitis/epididimitis dalam kawanan.
- Pemeriksaan Fisik: Pada hewan individual, mencari tanda-tanda seperti pembengkakan sendi, orkitis, atau mastitis. Namun, banyak hewan terinfeksi asimptomatik.
2. Diagnosis Laboratorium
- Kultur Bakteri:
- Sampel: Cairan abortus, plasenta, isi lambung janin, susu (terutama dari ambing yang terinfeksi), kelenjar getah bening, organ reproduksi.
- Keuntungan: Metode definitif, memungkinkan identifikasi spesies dan biotipe.
- Keterbatasan: Lambat, berisiko tinggi bagi operator, dan tidak selalu berhasil karena bakteri intraseluler.
- Tes Serologi: Metode utama untuk skrining dan surveilans populasi.
- Rose Bengal Plate Test (RBPT): Uji skrining cepat yang sangat sensitif, cocok untuk penggunaan di lapangan. Hewan yang positif RBPT memerlukan pengujian konfirmasi lebih lanjut.
- Uji Aglutinasi Standar (SAT): Mirip dengan pada manusia, digunakan untuk konfirmasi.
- Uji Fiksasi Komplemen (CFT): Dianggap sebagai uji konfirmasi standar emas di banyak program eradikasi karena spesifisitas dan sensitivitasnya yang baik.
- ELISA: Semakin banyak digunakan karena otomatisasinya, sensitivitas, dan spesifisitasnya. Tersedia untuk deteksi antibodi pada susu maupun serum.
- Milk Ring Test (MRT): Uji skrining yang digunakan pada sampel susu dari kelompok ternak untuk mendeteksi brusellosis pada kawanan sapi perah. Sangat efisien untuk memantau status kawanan secara rutin.
- Fluorescence Polarization Assay (FPA): Uji cepat yang sangat sensitif dan spesifik, semakin populer untuk skrining individu dan kawanan.
- Tes Molekuler (PCR):
- Digunakan untuk identifikasi cepat agen dari sampel klinis atau untuk mengkonfirmasi spesies setelah kultur. Berguna untuk mendeteksi infeksi pada hewan yang tidak menghasilkan respon antibodi yang kuat (misalnya, pada tahap awal infeksi).
Strategi diagnosis pada hewan sering melibatkan kombinasi uji skrining (misalnya RBPT atau MRT) diikuti oleh uji konfirmasi (misalnya CFT atau ELISA) untuk mengidentifikasi hewan terinfeksi dalam program pengendalian dan eradikasi.
VII. Pengobatan Brusellosis
Pengobatan brusellosis, terutama pada manusia, memerlukan regimen antibiotik kombinasi jangka panjang. Pada hewan, pengobatan umumnya tidak direkomendasikan karena berbagai alasan.
A. Pada Manusia
Prinsip utama pengobatan brusellosis pada manusia adalah penggunaan kombinasi antibiotik untuk mengatasi kemampuan bakteri bertahan hidup secara intraseluler dan mencegah kekambuhan. Monoterapi antibiotik hampir selalu menyebabkan kegagalan pengobatan dan kekambuhan.
1. Regimen Antibiotik
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan beberapa regimen standar:
- Regimen Pilihan (6 minggu):
- Doksisiklin: 100 mg dua kali sehari.
- Rifampisin: 600-900 mg sekali sehari.
Regimen ini paling sering digunakan karena efektif, ditoleransi dengan baik, dan dapat diberikan secara oral. Doksisiklin adalah bakteriostatik yang efektif menembus sel, sedangkan Rifampisin juga memiliki kemampuan penetrasi intraseluler yang baik.
- Regimen Alternatif (6 minggu):
- Doksisiklin: 100 mg dua kali sehari.
- Streptomisin: 1 g intramuskular sekali sehari (atau Gentamisin 5 mg/kg intramuskular/intravena sekali sehari) selama 7-14 hari pertama.
Regimen ini sering digunakan pada kasus yang lebih parah atau komplikasi tertentu, atau di daerah dengan tingkat resistensi rifampisin yang dicurigai. Streptomisin/Gentamisin bersifat bakterisida, memberikan efek sinergis yang kuat. Namun, pemberian injeksi dan potensi toksisitas (ototoksisitas, nefrotoksisitas) membatasi penggunaannya.
- Untuk Wanita Hamil:
- Doksisiklin dikontraindikasikan pada kehamilan karena efek teratogenik pada janin (pewarnaan gigi, gangguan pertumbuhan tulang). Regimen yang disarankan adalah Rifampisin dikombinasikan dengan Trimetoprim-Sulfametoksazol (Cotrimoxazole) selama 6 minggu.
- Pada Anak-anak:
- Doksisiklin dapat digunakan pada anak di atas 8 tahun. Untuk anak di bawah 8 tahun, kombinasi Rifampisin dan Cotrimoxazole adalah pilihan utama. Durasi pengobatan juga 6 minggu.
2. Durasi Pengobatan
Durasi pengobatan minimal adalah 6 minggu. Untuk kasus dengan komplikasi tertentu (misalnya, neurobrusellosis, endokarditis, spondilitis), durasi pengobatan dapat diperpanjang menjadi 3-6 bulan atau bahkan lebih lama, seringkali melibatkan kombinasi tiga antibiotik atau penambahan obat lain seperti fluoroquinolone.
3. Pentingnya Kepatuhan dan Pemantauan
Kepatuhan pasien terhadap regimen antibiotik sangat penting untuk keberhasilan pengobatan dan pencegahan kekambuhan. Pasien harus diberitahu tentang pentingnya menyelesaikan seluruh kursus pengobatan. Pemantauan klinis dan serologis (misalnya, penurunan titer antibodi) dapat dilakukan setelah pengobatan untuk memastikan keberhasilan dan mendeteksi kekambuhan.
4. Pengelolaan Komplikasi
Beberapa komplikasi brusellosis memerlukan penanganan khusus:
- Endokarditis: Memerlukan kombinasi antibiotik yang agresif dan jangka panjang (seringkali 3-4 obat) dan seringkali pembedahan penggantian katup jantung.
- Abses: Mungkin memerlukan drainase bedah selain terapi antibiotik.
- Spondilitis: Antibiotik jangka panjang dan mungkin imobilisasi untuk nyeri punggung.
B. Pada Hewan
Pengobatan brusellosis pada hewan ternak umumnya tidak direkomendasikan secara ekonomis maupun praktis, terutama dalam konteks pengendalian penyakit tingkat kawanan atau nasional.
1. Alasan Tidak Merekomendasikan Pengobatan
- Tidak Ekonomis: Biaya antibiotik untuk ternak, terutama dalam skala besar, sangat mahal dan tidak sebanding dengan manfaatnya.
- Risiko Menjadi Pembawa (Carrier): Meskipun gejala klinis mungkin mereda, hewan yang diobati seringkali tetap menjadi pembawa kronis dan terus mengeluarkan bakteri, berisiko menularkan infeksi ke hewan lain dan manusia.
- Risiko Resistensi Antibiotik: Penggunaan antibiotik secara luas pada hewan ternak dapat mempercepat perkembangan resistensi antibiotik, yang memiliki implikasi serius bagi kesehatan manusia dan hewan.
- Efektivitas Terbatas: Karena sifat intraseluler Brucella, pengobatan seringkali tidak sepenuhnya menghilangkan bakteri dari tubuh hewan.
2. Strategi Pengendalian Hewan
Alih-alih mengobati, strategi yang umum untuk mengendalikan brusellosis pada hewan adalah:
- Program "Test and Slaughter" (Uji dan Pemusnahan): Ini adalah strategi yang paling efektif untuk memberantas penyakit di negara-negara maju. Hewan yang terinfeksi diidentifikasi melalui tes diagnostik dan kemudian dimusnahkan.
- Karantina: Hewan yang dicurigai terinfeksi harus dikarantina untuk mencegah penyebaran.
- Manajemen Kawanan: Isolasi hewan yang sakit, pembersihan dan desinfeksi kandang, serta pengelolaan produk abortus secara aman.
Singkatnya, pengobatan brusellosis adalah suatu keharusan bagi manusia untuk mencegah komplikasi serius, tetapi pada hewan, fokusnya adalah pada pengendalian dan eradikasi melalui pemusnahan dan pencegahan.
VIII. Pencegahan dan Pengendalian Brusellosis
Pencegahan dan pengendalian brusellosis memerlukan pendekatan komprehensif dan terkoordinasi, yang sering disebut sebagai pendekatan "One Health," melibatkan kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan lingkungan. Kunci keberhasilan terletak pada intervensi di tingkat sumber (hewan) dan perlindungan individu yang berisiko.
A. Pencegahan pada Manusia
Strategi pencegahan pada manusia berfokus pada mengurangi paparan terhadap sumber infeksi.
1. Edukasi Publik
Penyuluhan mengenai risiko brusellosis dan cara penularannya sangat penting, terutama di daerah endemik. Informasi harus mencakup:
- Bahaya konsumsi produk susu mentah dan daging yang kurang matang.
- Pentingnya higienitas pribadi saat berinteraksi dengan hewan.
- Gejala brusellosis dan pentingnya mencari pertolongan medis jika terjadi paparan atau timbul gejala.
2. Keamanan Pangan
- Pasteurisasi Susu: Ini adalah metode paling efektif untuk membunuh bakteri Brucella dalam susu. Semua susu dan produk susu (keju, yoghurt) harus dipasteurisasi sebelum dikonsumsi. Pasteurisasi suhu rendah waktu lama (LTLT) atau suhu tinggi waktu singkat (HTST) sangat efektif.
- Memasak Daging hingga Matang: Daging harus dimasak hingga suhu internal mencapai tingkat yang aman untuk membunuh bakteri.
- Menghindari Konsumsi Produk Mentah: Menghindari konsumsi keju artisan yang tidak dipasteurisasi, es krim mentah, atau organ dalam dari hewan yang status kesehatannya tidak diketahui.
3. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Pekerja yang berisiko tinggi (peternak, dokter hewan, jagal, pekerja laboratorium, petani) harus menggunakan APD yang sesuai, termasuk sarung tangan, kacamata pelindung, masker, dan pakaian pelindung saat berinteraksi dengan hewan atau produk abortus.
4. Higienitas Pribadi
Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir secara menyeluruh setelah kontak dengan hewan atau lingkungan peternakan.
B. Pencegahan dan Pengendalian pada Hewan dan Lingkungan
Kunci untuk melindungi manusia adalah mengendalikan dan memberantas brusellosis pada sumbernya, yaitu pada populasi hewan.
1. Vaksinasi Ternak
Vaksinasi adalah salah satu pilar utama pengendalian brusellosis pada ternak di daerah endemik. Vaksin yang tersedia saat ini adalah vaksin hidup yang dilemahkan:
- Vaksin Strain S19 (Brucella abortus Strain 19): Digunakan untuk sapi betina muda (4-12 bulan). Memberikan kekebalan yang baik, tetapi dapat menyebabkan respons antibodi yang mengganggu uji diagnostik (memicu positif palsu) dan dapat bersifat abortif jika diberikan pada hewan hamil atau menyebabkan infeksi pada manusia yang terpapar.
- Vaksin Strain RB51 (Brucella abortus Strain RB51): Juga untuk sapi. Keunggulan utamanya adalah tidak memicu respons antibodi terhadap antigen O-LPS, sehingga tidak mengganggu uji serologi standar. Namun, efek abortif masih ada jika diberikan pada hewan hamil, dan juga berisiko bagi manusia yang terpapar.
- Vaksin Strain Rev.1 (Brucella melitensis Rev.1): Digunakan untuk domba dan kambing. Sangat efektif melawan B. melitensis. Sama seperti S19, dapat bersifat abortif dan berbahaya bagi manusia.
Program vaksinasi harus dilakukan secara terencana dan teratur, dengan cakupan yang tinggi dalam populasi target untuk mencapai kekebalan kawanan.
2. Program "Test and Slaughter" (Uji dan Pemusnahan)
Ini adalah strategi eradikasi yang paling efektif dan digunakan di banyak negara maju. Hewan yang terinfeksi diidentifikasi melalui pengujian serologis dan kemudian dimusnahkan. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan sumber infeksi dari populasi hewan secara sistematis. Program ini memerlukan kompensasi bagi pemilik hewan untuk mendorong partisipasi.
3. Biosekuriti Ketat
Penerapan langkah-langkah biosekuriti di peternakan sangat penting untuk mencegah masuknya dan penyebaran brusellosis:
- Karantina: Semua hewan baru yang masuk ke peternakan harus dikarantina dan diuji sebelum digabungkan dengan kawanan yang ada.
- Pembatasan Gerak Hewan: Kontrol pergerakan ternak untuk mencegah kontak dengan hewan dari kawanan yang tidak diketahui status kesehatannya.
- Manajemen Limbah: Penanganan yang aman dan pemusnahan yang benar terhadap produk abortus, plasenta, dan janin mati. Ini harus dikubur dalam-dalam atau dibakar untuk mencegah penyebaran bakteri.
- Sanitasi Kandang: Pembersihan dan desinfeksi rutin kandang, peralatan, dan area umum, terutama setelah kasus abortus atau kelahiran.
- Kontrol Vektor: Meskipun bukan vektor utama, kontrol hama seperti tikus dapat membantu mengurangi potensi penyebaran.
4. Surveilans dan Pengawasan
Sistem surveilans yang efektif diperlukan untuk memantau status brusellosis dalam populasi hewan. Ini meliputi:
- Pengujian Rutin: Pengujian serologis periodik pada kawanan ternak, terutama di daerah berisiko tinggi.
- Pelaporan Wajib: Brusellosis adalah penyakit yang harus dilaporkan secara wajib ke otoritas kesehatan hewan dan masyarakat.
- Pemetaan Epidemiologi: Mengidentifikasi area endemik dan hotspot untuk mengarahkan intervensi.
5. Kerja Sama Lintas Sektor (One Health)
Karena brusellosis adalah penyakit zoonotik, kerja sama erat antara otoritas kesehatan hewan, kesehatan masyarakat, dan lingkungan sangat penting. Ini meliputi:
- Koordinasi program surveilans, diagnosis, dan pengendalian.
- Pertukaran informasi dan data epidemiologi.
- Pelatihan bersama untuk profesional kesehatan dan peternakan.
- Pengembangan kebijakan terpadu untuk pengendalian penyakit.
Dengan menerapkan kombinasi strategi ini, dimungkinkan untuk secara signifikan mengurangi beban brusellosis pada hewan dan manusia.
IX. Tantangan Global dan Masa Depan Brusellosis
Meskipun kemajuan telah dicapai dalam pemahaman dan pengendalian brusellosis di beberapa wilayah, penyakit ini tetap menjadi ancaman kesehatan global yang signifikan, terutama di negara berkembang. Berbagai tantangan menghambat upaya eradikasi, dan pendekatan inovatif diperlukan untuk masa depan.
A. Status sebagai Penyakit Zoonotik Terabaikan (Neglected Zoonotic Disease - NZD)
Brusellosis seringkali diklasifikasikan sebagai NZD oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ini berarti penyakit ini:
- Secara signifikan mempengaruhi populasi yang miskin dan rentan, terutama di daerah pedesaan.
- Kurangnya perhatian dari lembaga penelitian dan pengembang obat, sehingga inovasi diagnostik, vaksin, dan terapi lambat.
- Data epidemiologi yang tidak lengkap atau tidak akurat, yang menghambat alokasi sumber daya yang tepat.
Status NZD ini membuat brusellosis terus bersembunyi di balik penyakit yang lebih dikenal, dengan konsekuensi serius bagi kesehatan dan ekonomi masyarakat yang terkena dampak.
B. Resistensi Antibiotik
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat atau berlebihan, terutama di peternakan (meskipun tidak untuk mengobati brusellosis tetapi untuk penyakit lain), dapat meningkatkan risiko perkembangan resistensi antibiotik pada Brucella. Ini menjadi perhatian serius karena regimen pengobatan brusellosis pada manusia sangat bergantung pada kombinasi antibiotik spesifik. Jika bakteri menjadi resisten terhadap obat-obatan lini pertama seperti doksisiklin atau rifampisin, opsi pengobatan akan sangat terbatas dan hasil klinis mungkin memburuk, menyebabkan angka kekambuhan yang lebih tinggi dan peningkatan morbiditas.
Oleh karena itu, pengawasan ketat terhadap penggunaan antibiotik dan penelitian tentang potensi resistensi pada Brucella sangat penting. Protokol pengobatan yang ketat dan kepatuhan pasien menjadi semakin krusial dalam menghadapi ancaman resistensi ini.
C. Diagnosa yang Sulit di Daerah Endemik
Di banyak daerah endemik brusellosis, fasilitas diagnostik seringkali terbatas. Laboratorium mungkin tidak memiliki peralatan yang memadai untuk kultur bakteri Brucella, atau staf yang terlatih dalam identifikasi dan penanganan patogen yang berpotensi berbahaya ini. Tes serologi yang lebih sederhana mungkin tersedia, tetapi keterbatasan spesifisitas atau sensitivitas, serta masalah prozone, dapat menyebabkan kesalahan diagnosis. Selain itu, kurangnya kesadaran di kalangan tenaga medis tentang brusellosis sebagai diagnosis banding potensial sering menyebabkan diagnosis tertunda atau salah, yang berkontribusi pada perkembangan komplikasi kronis dan penyebaran penyakit lebih lanjut.
Pengembangan tes diagnostik cepat, terjangkau, dan mudah digunakan (point-of-care tests) yang tidak memerlukan infrastruktur laboratorium yang canggih adalah kebutuhan mendesak untuk meningkatkan deteksi dini di daerah sumber daya terbatas.
D. Kurangnya Sumber Daya dan Infrastruktur
Negara-negara yang paling terkena dampak brusellosis seringkali adalah negara-negara dengan sumber daya terbatas dan infrastruktur kesehatan hewan serta kesehatan masyarakat yang lemah. Ini mencakup kurangnya dana untuk program vaksinasi massal, program "test and slaughter" (yang memerlukan kompensasi), surveilans yang efektif, dan fasilitas pengolahan produk susu yang aman. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi yang memadai juga memperburuk kondisi penyebaran penyakit. Tanpa investasi yang signifikan dalam infrastruktur dan sumber daya, upaya pengendalian brusellosis akan terus terhambat.
E. Perubahan Iklim dan Globalisasi Perdagangan Hewan
Perubahan iklim dapat mempengaruhi distribusi vektor penyakit, pola migrasi hewan, dan kondisi lingkungan yang mendukung kelangsungan hidup bakteri di luar inang, meskipun dampak langsungnya pada brusellosis masih dalam penelitian. Lebih signifikan, globalisasi perdagangan hewan hidup dan produk hewan meningkatkan risiko penyebaran brusellosis ke daerah yang sebelumnya bebas penyakit. Perdagangan ilegal atau tidak terkontrol, serta standar biosekuriti yang tidak memadai di titik masuk, dapat memperkenalkan kembali bakteri ke populasi yang rentan, membatalkan bertahun-tahun upaya eradikasi.
F. Pendekatan "One Health" yang Lebih Kuat
Masa depan pengendalian brusellosis sangat bergantung pada penguatan pendekatan "One Health". Ini berarti pengakuan bahwa kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan kesehatan ekosistem sangat terkait dan saling bergantung. Diperlukan kolaborasi yang lebih erat dan integrasi program antara:
- Kesehatan Hewan: Fokus pada surveilans, vaksinasi, biosekuriti, dan program eradikasi pada ternak.
- Kesehatan Masyarakat: Fokus pada edukasi publik, keamanan pangan, diagnostik dan pengobatan manusia, serta perlindungan pekerja berisiko.
- Lingkungan: Pengelolaan limbah yang aman dan pemahaman tentang ketahanan bakteri di lingkungan.
Pendekatan ini akan memungkinkan penggunaan sumber daya yang lebih efisien dan intervensi yang lebih holistik untuk mencegah, mendeteksi, dan merespons ancaman brusellosis secara lebih efektif.
G. Riset dan Inovasi
Investasi dalam riset dan inovasi sangat diperlukan. Ini termasuk:
- Pengembangan vaksin baru untuk hewan yang lebih aman, lebih efektif, dan tidak mengganggu uji diagnostik.
- Pengembangan vaksin manusia, yang saat ini belum tersedia secara luas.
- Pengembangan metode diagnostik cepat, spesifik, dan terjangkau untuk digunakan di lapangan dan di laboratorium dengan sumber daya terbatas.
- Penelitian tentang mekanisme patogenisitas Brucella untuk mengidentifikasi target terapi atau vaksin baru.
- Studi epidemiologi yang lebih baik untuk memahami dinamika penularan dan beban penyakit secara lebih akurat.
Dengan mengatasi tantangan-tantangan ini melalui pendekatan multi-sektoral dan inovasi berkelanjutan, masyarakat global dapat berharap untuk mengurangi dampak brusellosis yang merugikan dan pada akhirnya bergerak menuju eradikasi di lebih banyak wilayah.
Kesimpulan
Brusellosis adalah penyakit zoonotik yang kompleks dan terabaikan, dengan konsekuensi serius bagi kesehatan hewan dan manusia, serta dampak ekonomi yang signifikan. Disebabkan oleh bakteri Brucella, penyakit ini menunjukkan manifestasi klinis yang beragam, mulai dari demam undulan pada manusia hingga abortus pada hewan ternak, dan dapat menyebabkan komplikasi serius pada berbagai sistem organ jika tidak diobati dengan tepat.
Penularannya yang utama adalah dari hewan ke manusia melalui konsumsi produk susu mentah atau daging yang kurang matang, serta kontak langsung dengan hewan atau jaringan terinfeksi. Pada hewan, penularan terjadi melalui kontak langsung dan cairan tubuh yang terkontaminasi, mempertahankan siklus infeksi di dalam kawanan. Diagnosis memerlukan kecurigaan klinis yang tinggi dan konfirmasi laboratorium melalui kultur bakteri atau uji serologi, yang seringkali menantang di daerah dengan sumber daya terbatas.
Pengobatan pada manusia adalah krusial dan melibatkan regimen kombinasi antibiotik jangka panjang untuk mencegah kekambuhan dan komplikasi. Sebaliknya, pada hewan, pengobatan umumnya tidak direkomendasikan; fokus utama adalah pada pengendalian dan eradikasi melalui program vaksinasi, "test and slaughter", biosekuriti ketat, dan manajemen sanitasi. Strategi pencegahan mencakup edukasi publik, keamanan pangan melalui pasteurisasi, penggunaan APD untuk kelompok berisiko, serta penerapan program kesehatan hewan yang komprehensif.
Meskipun upaya eradikasi telah berhasil di beberapa negara, brusellosis masih menjadi masalah besar di banyak wilayah lain, diperparah oleh statusnya sebagai penyakit zoonotik terabaikan, masalah resistensi antibiotik, keterbatasan diagnostik, dan kurangnya sumber daya. Masa depan pengendalian brusellosis sangat bergantung pada penguatan pendekatan "One Health" yang mengintegrasikan kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan, serta investasi berkelanjutan dalam penelitian dan inovasi untuk mengembangkan vaksin dan diagnostik yang lebih baik. Hanya dengan upaya terkoordinasi dan komitmen global, kita dapat berharap untuk mengurangi beban penyakit ini dan melindungi kesehatan masyarakat dan produktivitas ternak di seluruh dunia.