Biwa adalah salah satu permata budaya musik Jepang, sebuah alat musik petik yang telah memainkan peran sentral dalam berbagai tradisi seni dan narasi selama lebih dari seribu tahun. Dengan bentuknya yang khas menyerupai buah pir, leher panjang, dan suara yang mendalam serta resonan, Biwa bukan sekadar instrumen; ia adalah jembatan yang menghubungkan pendengar dengan kisah-kisah epik, ritual keagamaan, dan estetika Jepang kuno.
Artikel ini akan membawa kita menyelami dunia Biwa, mulai dari asal-usulnya yang misterius di dataran Asia, kedatangannya di Jepang, evolusinya melalui berbagai periode sejarah, hingga posisinya dalam lanskap musik kontemporer. Kita akan menjelajahi berbagai jenis Biwa, anatomi uniknya, teknik bermain yang rumit, serta signifikansi budayanya yang tak tergantikan. Melalui perjalanan ini, kita akan memahami mengapa Biwa tetap menjadi simbol ketahanan artistik dan kedalaman spiritual.
Ilustrasi sederhana alat musik Biwa tradisional Jepang.
Asal-Usul dan Kedatangan Biwa di Jepang
Sejarah Biwa adalah jalinan yang rumit dengan rute perdagangan kuno dan pertukaran budaya di seluruh Asia. Diyakini bahwa Biwa berakar pada alat musik lute kuno dari Persia yang dikenal sebagai barbat. Dari Persia, instrumen ini menyebar ke India dan Tiongkok, mengalami modifikasi dan adaptasi di setiap budaya yang dilewatinya. Di Tiongkok, ia berevolusi menjadi pipa, instrumen yang memiliki banyak kesamaan struktural dan sonik dengan Biwa Jepang.
Biwa pertama kali tiba di Jepang sekitar abad ke-7 atau ke-8 Masehi, pada periode Nara, melalui jalur perdagangan Sutra yang sibuk dan pertukaran budaya dengan Tiongkok dan Semenanjung Korea. Kedatangannya bersamaan dengan masuknya Buddhisme dan seni serta budaya kontinental lainnya, yang sangat memengaruhi perkembangan peradaban Jepang. Awalnya, Biwa digunakan dalam musik istana yang disebut Gagaku, yang merupakan musik orkestra formal yang berasal dari tradisi Tiongkok dan Korea.
Pada masa awal ini, Biwa yang masuk ke Jepang dikenal sebagai Gakubiwa atau Biwa Gagaku. Instrumen ini memiliki empat senar dan leher lurus, dan dimainkan dengan plectrum kayu besar yang disebut bachi. Perannya dalam Gagaku adalah memberikan harmoni dan struktur ritmis, bukan sebagai instrumen melodi utama. Suaranya yang tenang dan khidmat sangat cocok dengan suasana upacara istana.
Periode Nara dan Heian (Abad ke-8 hingga ke-12)
Selama Periode Nara, Biwa adalah simbol kemewahan dan pengaruh asing, hanya dimainkan di lingkungan istana dan kuil-kuil besar. Instrumen ini sering dihias dengan ukiran yang indah dan material mahal, mencerminkan status sosial pemainnya. Pada Periode Heian, dengan berkembangnya budaya aristokrat dan penciptaan estetika Jepang yang unik, Biwa mulai mengalami adaptasi. Meskipun Gakubiwa tetap menjadi standar dalam Gagaku, muncul varian-varian baru yang digunakan dalam konteks yang berbeda.
Salah satu perkembangan paling signifikan adalah munculnya praktik penceritaan epik dengan iringan Biwa, yang dikenal sebagai Biwa Hōshi (biksu Biwa) atau Mōsō Biwa (Biwa biksu buta). Para pencerita ini, seringkali adalah biksu tunanetra, berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, membawakan kisah-kisah heroik, legenda, dan ajaran Buddha. Kemampuan mereka untuk menghafal dan menyanyikan narasi panjang sambil memainkan Biwa sangat dihormati dan menjadi fondasi bagi tradisi-tradisi penceritaan yang lebih baru.
Kisah paling terkenal yang diiringi oleh Biwa adalah Heike Monogatari (Kisah Klan Heike), sebuah epik yang menceritakan naik turunnya klan samurai Heike selama perang Genpei pada abad ke-12. Para pencerita Biwa yang khusus melestarikan dan membawakan kisah ini dikenal sebagai Heike Biwa. Musik Biwa mereka tidak hanya mengiringi narasi, tetapi juga menambah drama dan emosi pada setiap adegan, dengan teknik-teknik khusus untuk menggambarkan pertempuran, kesedihan, dan kejayaan. Ini menandai titik balik penting di mana Biwa beralih dari sekadar instrumen orkestra menjadi alat utama untuk penceritaan dramatis dan ekspresi emosi.
"Suara Biwa bukan hanya melodi, melainkan gema sejarah, bisikan para samurai yang gugur, dan kebijaksanaan biksu kuno yang disampaikan melalui senar dan kayu."
Evolusi Biwa Melalui Berbagai Periode
Periode Kamakura dan Muromachi (Abad ke-12 hingga ke-16)
Setelah kekuasaan beralih dari aristokrasi ke kelas samurai pada Periode Kamakura, peran Biwa terus berkembang. Tradisi Heike Biwa menjadi sangat populer di kalangan kelas prajurit, yang menghargai cerita-cerita tentang keberanian, kesetiaan, dan takdir yang diceritakan melalui instrumen ini. Gaya bermain dan bentuk Biwa mulai berubah untuk mengakomodasi kebutuhan penceritaan yang lebih ekspresif dan dinamis.
Para biksu tunanetra, atau Mōsō Biwa Hōshi, memainkan peran krusial dalam menyebarkan Biwa ke seluruh Jepang. Mereka tidak hanya menghibur tetapi juga berfungsi sebagai pembawa berita, penyimpan sejarah lisan, dan bahkan penyembuh spiritual. Keberadaan mereka memastikan bahwa Biwa tidak hanya terbatas pada lingkungan istana, tetapi menjadi bagian integral dari kehidupan rakyat jelata.
Selama Periode Muromachi, dengan bangkitnya estetika Zen dan seni-seni baru seperti Noh dan Kyōgen, Biwa terus berevolusi. Meskipun tidak secara langsung menjadi bagian dari orkestra Noh, pengaruh penceritaan Biwa dapat dilihat dalam struktur naratif dan performa dramatis teater Noh. Pada periode ini juga, beberapa sekolah Biwa mulai terbentuk, masing-masing dengan gaya dan repertoar unik mereka.
Periode Edo (Abad ke-17 hingga ke-19)
Periode Edo adalah masa damai relatif di bawah kekuasaan Keshogunan Tokugawa, yang menyebabkan berkembangnya budaya perkotaan dan seni hiburan. Pada masa ini, Biwa mengalami diversifikasi yang signifikan, dengan munculnya beberapa gaya regional yang berbeda, masing-masing memiliki karakteristik instrumen dan gaya bermainnya sendiri. Dua gaya utama yang muncul adalah Satsuma Biwa dan Chikuzen Biwa.
- Satsuma Biwa: Berasal dari wilayah Satsuma (sekarang Prefektur Kagoshima) di Kyushu, gaya ini dikembangkan oleh para samurai yang ingin mempelajari musik dan penceritaan sebagai bagian dari pendidikan mereka. Satsuma Biwa dikenal dengan suaranya yang kuat dan dramatis, cocok untuk mengiringi cerita-cerita heroik dan patriotik. Instrumennya memiliki empat senar dan fret yang lebih tinggi dan lebih sedikit dibandingkan Gakubiwa, memungkinkan variasi nada yang lebih luas melalui teknik menekan senar dengan kuat. Bachi-nya sangat besar dan digunakan untuk memukul senar dengan kekuatan, menciptakan efek perkusi yang mencolok.
- Chikuzen Biwa: Juga berasal dari Kyushu, tetapi dari wilayah Chikuzen (sekarang Prefektur Fukuoka). Chikuzen Biwa cenderung memiliki suara yang lebih lembut dan melodi, seringkali digunakan untuk mengiringi lirik-lirik yang lebih puitis dan romantis. Instrumen ini memiliki empat atau lima senar (kemudian distandarisasi menjadi lima) dan fret yang lebih banyak, memungkinkan jangkauan melodi yang lebih halus. Bachi-nya lebih kecil dan lebih tipis dibandingkan Satsuma Biwa, memungkinkan petikan yang lebih lincah.
Perbedaan antara Satsuma dan Chikuzen Biwa tidak hanya terletak pada instrumen dan tekniknya, tetapi juga pada repertoar dan audiensnya. Satsuma Biwa sering dimainkan oleh pria dan mengiringi narasi perang, sementara Chikuzen Biwa lebih sering dimainkan oleh wanita dan mengiringi lagu-lagu liris dan cerita rakyat. Kedua gaya ini, bersama dengan tradisi Mōsō Biwa yang masih ada, menunjukkan kekayaan dan keragaman dunia Biwa.
Periode Meiji dan Modern (Abad ke-20 hingga Sekarang)
Restorasi Meiji pada akhir abad ke-19 membawa modernisasi cepat dan pembukaan Jepang terhadap pengaruh Barat. Banyak seni tradisional, termasuk Biwa, menghadapi tantangan besar karena musik Barat mulai mendominasi. Namun, Biwa tidak punah; sebaliknya, ia menemukan cara untuk beradaptasi dan bertahan.
Pada awal abad ke-20, upaya konservasi dan revitalisasi Biwa dilakukan oleh para seniman yang berdedikasi. Beberapa komponis mulai mencoba mengintegrasikan Biwa ke dalam musik kontemporer, sementara para ahli etnomusikologi mendokumentasikan repertoar dan teknik tradisional. Gaya baru seperti Nishiki Biwa muncul, menggabungkan elemen dari Satsuma dan Chikuzen Biwa, dengan tujuan menciptakan instrumen yang lebih serbaguna dan ekspresif. Nishiki Biwa biasanya memiliki lima senar dan bachi yang lebih moderat.
Di era modern, Biwa menghadapi tantangan dalam menarik generasi muda, namun juga menemukan peluang baru. Para pemain Biwa kontemporer sering bereksperimen dengan genre musik lain, dari jazz hingga musik orkestra, menunjukkan fleksibilitas dan relevansi instrumen ini. Meskipun jumlah pemain mungkin lebih kecil dibandingkan masa lalu, kualitas seni dan dedikasi terhadap Biwa tetap tinggi, memastikan bahwa suaranya terus bergema di kancah musik Jepang dan internasional.
Jenis-Jenis Biwa yang Beragam
Seperti yang telah disinggung, Biwa bukanlah satu instrumen tunggal, melainkan sebuah keluarga instrumen dengan karakteristik dan fungsi yang berbeda. Keberagaman ini mencerminkan sejarah panjang adaptasi dan spesialisasi Biwa dalam budaya Jepang. Berikut adalah beberapa jenis Biwa yang paling menonjol:
Gagaku Biwa (Gakubiwa)
Gakubiwa adalah Biwa tertua di Jepang, yang tiba dari Tiongkok dan Korea pada Periode Nara. Instrumen ini digunakan secara eksklusif dalam musik istana Gagaku. Ciri khasnya meliputi:
- Senar: Empat senar.
- Fret: Empat fret rendah yang terpasang di leher, bukan di papan suara.
- Bachi: Plectrum kayu yang relatif kecil dan tipis.
- Suara: Lebih tenang dan harmonis, berfungsi sebagai pengiring ritmis dan struktural dalam orkestra, bukan melodi utama.
- Bentuk: Tubuh yang besar dan leher lurus.
Peran Gakubiwa dalam Gagaku adalah memberikan dasar ritmis dan harmonis yang stabil, dan jarang sekali menjadi fokus utama. Teknik bermainnya lebih menekankan pada ketepatan dan keselarasan dengan instrumen lain.
Mōsō Biwa (Heike Biwa)
Mōsō Biwa adalah instrumen yang digunakan oleh para biksu tunanetra (mōsō hōshi) untuk mengiringi pembacaan sutra Buddha dan cerita-cerita epik. Heike Biwa adalah salah satu sub-jenis Mōsō Biwa yang khusus digunakan untuk mengiringi Heike Monogatari. Ciri-ciri umumnya adalah:
- Senar: Empat senar.
- Fret: Lima fret yang lebih tinggi dari Gakubiwa, memungkinkan variasi nada yang lebih ekspresif.
- Bachi: Plectrum berukuran sedang.
- Suara: Lebih bervariasi dan dinamis, memungkinkan ekspresi vokal yang kuat.
- Fungsi: Instrumen penceritaan par excellence, di mana suara Biwa dan vokal saling melengkapi untuk menciptakan narasi yang mendalam.
Tradisi Mōsō Biwa telah ada selama berabad-abad dan menjadi sumber inspirasi bagi banyak gaya Biwa lainnya, terutama dalam hal penceritaan dramatis.
Satsuma Biwa
Seperti yang telah dibahas, Satsuma Biwa lahir dari tradisi samurai di wilayah Satsuma. Ini adalah Biwa yang sangat ekspresif dan dramatis:
- Senar: Empat senar.
- Fret: Empat atau lima fret sangat tinggi yang terpasang di papan suara, memungkinkan pemain untuk menekan senar dengan kuat dan menghasilkan perubahan nada yang signifikan (teknik yuri dan oshi).
- Bachi: Plectrum kayu yang sangat besar dan berat, seringkali berukuran 20-30 cm. Digunakan untuk memetik dan memukul senar dengan kekuatan, menciptakan suara perkusi yang khas.
- Suara: Keras, kuat, dan penuh drama, sangat cocok untuk mengiringi cerita perang dan kepahlawanan.
- Repertoar: Seringkali berkisah tentang kepahlawanan, patriotisme, dan moral samurai.
Satsuma Biwa memerlukan kekuatan fisik yang besar untuk dimainkan, dan para pemainnya seringkali dikenal dengan performa yang energik dan penuh gairah.
Chikuzen Biwa
Chikuzen Biwa, juga dari Kyushu, menawarkan estetika yang berbeda dari Satsuma Biwa:
- Senar: Awalnya empat, kemudian distandarisasi menjadi lima senar.
- Fret: Lima fret yang lebih rendah dan lebih rapat daripada Satsuma Biwa, memungkinkan melodi yang lebih halus dan lincah.
- Bachi: Plectrum yang lebih kecil dan tipis, memungkinkan teknik petikan yang lebih lembut dan detail.
- Suara: Lebih liris, melodi, dan bernuansa, cocok untuk mengiringi puisi, lagu, dan cerita romantis.
- Repertoar: Fokus pada cerita rakyat, drama domestik, dan lirik-lirik puitis.
Chikuzen Biwa sangat populer di kalangan wanita, dan gaya permainannya menekankan keanggunan dan keindahan nada.
Nishiki Biwa
Nishiki Biwa adalah gaya yang relatif baru, diciptakan pada awal abad ke-20 oleh pemain Biwa Kinshi Tsuruta. Ini adalah upaya untuk menggabungkan kekuatan dan ekspresi Satsuma Biwa dengan keanggunan melodi Chikuzen Biwa:
- Senar: Lima senar.
- Fret: Lima fret tinggi.
- Bachi: Plectrum ukuran sedang yang serbaguna.
- Suara: Kaya dan dinamis, mampu menampilkan drama maupun lirik.
- Tujuan: Menciptakan Biwa yang lebih serbaguna untuk musik kontemporer, mampu beradaptasi dengan berbagai genre dan ekspresi.
Nishiki Biwa telah digunakan dalam berbagai komposisi modern, termasuk karya-karya untuk orkestra dan kolaborasi lintas budaya.
Anatomi Biwa: Bagian-Bagian Penting
Meskipun ada variasi antar jenis Biwa, struktur dasarnya tetap serupa. Memahami anatominya membantu kita menghargai keahlian dan desain yang rumit dari instrumen ini:
- Dō (胴 - Tubuh): Ini adalah kotak resonansi utama Biwa, seringkali berbentuk seperti buah pir yang dibelah dua. Terbuat dari kayu paulownia (kiri) atau kayu keras lainnya. Ukuran dan bentuk dō sangat memengaruhi kualitas suara dan volume Biwa. Permukaan depan dō disebut hyōban, dan seringkali dihiasi dengan pola ukiran atau cat.
- Saō (棹 - Leher): Leher Biwa, tempat fret dipasang. Panjang dan ketebalan saō bervariasi antar jenis Biwa, memengaruhi jangkauan dan teknik bermain.
- Itomaki (糸巻き - Pasak Penala): Empat atau lima pasak yang menonjol dari pegbox (bagian atas leher) tempat senar diikat dan disetel. Biasanya terbuat dari kayu keras dan diukir indah.
- Bachi (撥 - Plectrum/Pick): Plectrum yang digunakan untuk memetik senar. Ini adalah salah satu bagian paling khas dari Biwa dan sangat bervariasi dalam ukuran dan bahan (biasanya kayu atau tanduk) tergantung jenis Biwa. Ukuran bachi memengaruhi dinamika dan karakter suara yang dihasilkan.
- Gen (弦 - Senar): Senar Biwa tradisional terbuat dari sutra pintal. Biasanya ada empat atau lima senar, tergantung jenis Biwa. Senar sutra memberikan suara yang hangat dan resonan yang berbeda dari senar nilon atau baja.
- Jī (柱 - Fret): Fret pada Biwa tidak ditanamkan di leher seperti gitar, melainkan berupa ganjalan kayu tinggi yang menempel di papan suara dan leher. Ketinggian fret adalah salah satu ciri paling mencolok dari Biwa dan memungkinkan pemain untuk menekan senar di antara fret, menciptakan perubahan nada (pitch bending) dan vibrato yang sangat ekspresif. Jī pada Satsuma Biwa jauh lebih tinggi dibandingkan Chikuzen Biwa atau Gakubiwa.
- Koma (駒 - Bridge): Jembatan kecil di dō yang menopang senar dan mentransfer getaran ke papan suara.
Setiap bagian ini dirancang dengan cermat untuk berkontribusi pada suara Biwa yang unik dan kemampuannya untuk menyampaikan berbagai emosi dan narasi.
Teknik Bermain Biwa
Bermain Biwa adalah seni yang memerlukan kombinasi kekuatan, ketepatan, dan kepekaan emosional. Tekniknya sangat berbeda dari instrumen petik lainnya dan telah disempurnakan selama berabad-abad. Berikut adalah beberapa aspek kunci dalam teknik bermain Biwa:
Posisi Duduk dan Memegang Instrumen
Pemain Biwa tradisional biasanya duduk bersila (seiza atau agura) atau di kursi rendah. Instrumen dipegang secara diagonal di pangkuan, dengan dō bersandar pada paha dan leher Biwa mengarah ke atas sekitar 45 derajat. Posisi ini memungkinkan pemain untuk memiliki kontrol penuh atas instrumen dan untuk menggerakkan bachi dengan bebas.
Penggunaan Bachi
Bachi adalah inti dari teknik bermain Biwa. Ukuran dan cara memegangnya sangat memengaruhi suara yang dihasilkan:
- Petikan (Hajiki): Ini adalah teknik dasar memetik senar. Dengan bachi yang besar pada Satsuma Biwa, petikan bisa sangat kuat dan perkusi, seringkali menghasilkan suara "serak" atau "buzz" yang disengaja. Pada Chikuzen Biwa, petikan lebih lembut dan presisi.
- Pukulan/Serangan (Uchi): Bachi tidak hanya digunakan untuk memetik tetapi juga untuk memukul senar atau bahkan papan suara dō, menciptakan efek perkusi yang dramatis. Ini sangat menonjol dalam Satsuma Biwa untuk menggambarkan adegan pertempuran.
- Gesekan (Saō-atari): Beberapa pemain menggunakan tepi bachi untuk menggesek bagian atas fret atau leher Biwa, menghasilkan suara gesekan yang unik yang menambah tekstur pada musik.
Teknik Fret dan Pitch Bending
Karena fret Biwa yang tinggi, pemain dapat dengan sengaja menekan senar di antara fret dengan kekuatan yang bervariasi. Ini memungkinkan:
- Yuri (Vibrato): Dengan menekan dan melepaskan senar secara cepat di antara fret, pemain dapat menciptakan vibrato yang dalam dan ekspresif.
- Oshi (Pitch Bending): Dengan menekan senar dengan kekuatan yang berbeda di posisi yang sama, pemain dapat mengubah nada senar, menciptakan efek "pitch bending" yang dramatis. Ini memberikan Biwa kemampuan untuk menghasilkan melodi yang sangat bernuansa dan penuh perasaan.
- Suri (Glissando): Menggeser jari sepanjang senar di antara fret sambil memetik, menciptakan efek glissando.
Seni Vokal dan Narasi
Dalam tradisi Biwa Hōshi, musik Biwa tidak dapat dipisahkan dari vokal dan narasi. Pemain Biwa juga adalah vokalis dan pencerita ulung. Mereka:
- Chanting (Joruri): Gaya vokal yang kuat dan seringkali dramatis, di mana teks narasi dinyanyikan atau diucapkan dengan intonasi musikal.
- Teknik Pernapasan: Kontrol pernapasan yang dalam diperlukan untuk mempertahankan vokal yang kuat dan panjang.
- Ekspresi Wajah dan Tubuh: Pemain Biwa seringkali menggunakan ekspresi wajah dan gerakan tubuh minimal untuk menambah drama pada penceritaan mereka.
Perpaduan antara melodi, ritme, suara perkusi, dan vokal menciptakan pengalaman mendengarkan yang imersif, membawa pendengar langsung ke dalam dunia cerita yang diceritakan.
"Bermain Biwa adalah dialog antara musisi dan instrumen, di mana setiap petikan, setiap tekanan, adalah sebuah kata dalam puisi yang dimainkan."
Peran Biwa dalam Budaya Jepang
Signifikansi Biwa melampaui sekadar fungsi musik; ia telah menjadi wadah bagi tradisi lisan, ritual spiritual, dan ekspresi artistik yang mendalam, membentuk bagian integral dari identitas budaya Jepang.
Musik Gagaku dan Ritual Istana
Seperti disebutkan, Gakubiwa adalah salah satu instrumen utama dalam Gagaku, musik istana kekaisaran Jepang. Dalam konteks ini, Biwa berfungsi sebagai fondasi harmonis dan ritmis. Meskipun bukan instrumen melodi yang menonjol, kehadirannya sangat penting untuk keseluruhan tekstur dan keselarasan orkestra Gagaku. Suaranya yang tenang dan khidmat memberikan suasana yang cocok untuk upacara-upacara formal dan ritual keagamaan di lingkungan istana dan kuil-kuil besar. Biwa dalam Gagaku mewakili sisi keagungan dan ketertiban dalam musik Jepang.
Penceritaan Epik dan Heikyoku
Peran Biwa sebagai instrumen penceritaan epik, khususnya untuk Heike Monogatari (Kisah Klan Heike), adalah salah satu kontribusi terbesarnya terhadap budaya Jepang. Tradisi Heikyoku (musik Heike) yang dibawakan oleh para Heike Biwa Hōshi adalah bentuk seni yang sangat dihormati. Kisah tentang naik turunnya klan Heike, dengan tema-tema tentang karma, kefanaan (mujo), dan siklus kehidupan, sangat diperkuat oleh musik Biwa. Suara instrumen ini dapat menggambarkan keindahan pemandangan, kengerian perang, kesedihan kehilangan, dan kegembiraan kemenangan. Ini menjadikan Biwa sebagai arsip hidup dari sejarah dan moralitas Jepang, melestarikan narasi penting melalui pertunjukan lisan dan musik.
Hubungan dengan Agama Buddha dan Mōsō Biwa Hōshi
Tradisi Mōsō Biwa Hōshi (biksu Biwa buta) memiliki akar yang dalam dalam Buddhisme. Para biksu ini, yang seringkali tunanetra, mengembara dari satu tempat ke tempat lain, membawakan sutra Buddha, kisah-kisah moral, dan doa-doa dengan iringan Biwa. Mereka tidak hanya dianggap sebagai penghibur, tetapi juga sebagai pembawa berkah, pelindung dari kejahatan, dan perantara spiritual. Performa mereka adalah bentuk pengabdian religius, di mana musik dan narasi berfungsi sebagai media untuk menyebarkan ajaran Buddha dan memberikan kenyamanan spiritual kepada masyarakat. Hubungan ini memberikan Biwa lapisan makna religius dan filosofis yang mendalam.
Pengaruh pada Teater Noh dan Kabuki
Meskipun Biwa tidak menjadi instrumen utama dalam teater Noh atau Kabuki, pengaruhnya terhadap struktur naratif dan seni penceritaan sangat jelas. Gaya vokal dan dramatis para Heike Biwa Hōshi membantu membentuk gaya katarimono (seni penceritaan) dalam teater Jepang. Musik Biwa seringkali menggunakan melodi yang bebas, ritme yang fleksibel, dan tekstur yang berubah-ubah untuk menyesuaikan dengan emosi narasi, sebuah pendekatan yang juga terlihat dalam cara musik mengiringi dialog dan adegan dalam Noh dan Kabuki. Biwa membantu menciptakan fondasi bagi seni pertunjukan dramatis yang mengintegrasikan musik dan cerita dengan erat.
Simbolisme dan Estetika
Biwa juga kaya akan simbolisme. Bentuknya yang elegan sering diilustrasikan dalam seni dan sastra. Suaranya, yang dapat bervariasi dari melodi lembut hingga ledakan perkusi yang keras, melambangkan dualitas kehidupan dan emosi manusia. Dalam estetika Jepang, Biwa mewakili wabi-sabi (keindahan dalam ketidaksempurnaan dan kefanaan) dan mono no aware (kepekaan terhadap kefanaan dan keindahan yang menyedihkan). Instrumen ini sering kali digambarkan sebagai objek keindahan yang melankolis, membawa nostalgia akan masa lalu dan kebijaksanaan yang terkandung dalam tradisi.
Biwa dalam Musik Rakyat dan Kontemporer
Di luar peran klasiknya, Biwa juga telah menemukan jalannya ke dalam musik rakyat (min'yō) di beberapa daerah, meskipun tidak sepopuler shamisen. Dalam musik kontemporer, Biwa terus dieksplorasi oleh para seniman yang inovatif. Para pemain modern sering berkolaborasi dengan musisi dari genre lain, menggabungkan suara Biwa yang unik dengan jazz, musik klasik Barat, atau bahkan elektronik. Ini menunjukkan kemampuan Biwa untuk beradaptasi dan tetap relevan, terus mencari cara-cara baru untuk mengekspresikan dirinya dalam lanskap musik global.
Komposer dan Pemain Biwa Terkemuka
Sepanjang sejarahnya, Biwa telah dihidupkan oleh tangan-tangan terampil dan jiwa-jiwa puitis dari banyak komposer dan pemain. Beberapa di antara mereka telah meninggalkan jejak abadi dalam evolusi dan pelestarian seni Biwa.
Dari Masa Lalu
Sayangnya, nama-nama komposer individu dari periode awal Biwa seringkali tidak tercatat secara historis karena tradisi penceritaan lisan dan anonimitas seni. Para Mōsō Biwa Hōshi dan Heike Biwa Hōshi adalah para "komposer" sejati dalam arti bahwa mereka menghafal, menginterpretasi ulang, dan bahkan menciptakan variasi dari repertoar yang ada, namun karya-karya tersebut seringkali diatribusikan pada tradisi atau sekolah tertentu daripada individu.
- Para Mōsō Biwa Hōshi: Mereka adalah pilar tradisi Biwa selama berabad-abad. Meskipun nama-nama spesifik jarang terekam, kontribusi kolektif mereka dalam melestarikan dan menyebarkan Heike Monogatari serta berbagai sutra dan legenda sangat monumental. Mereka seringkali dihormati karena keahlian mereka dalam memadukan suara, narasi, dan spiritualitas.
Periode Edo dan Meiji
Dengan munculnya gaya Satsuma dan Chikuzen Biwa, identitas komposer dan pemain mulai menjadi lebih jelas:
- Kyokuzan Asahi (朝比 旭山): Salah satu tokoh kunci dalam tradisi Chikuzen Biwa, terkenal karena kemampuannya dalam menciptakan melodi yang indah dan lirik yang puitis. Ia adalah seorang inovator yang membantu membentuk estetika Chikuzen Biwa modern.
- Suigetsu Sakamaki (坂巻 水月): Seorang pemain Satsuma Biwa yang sangat dihormati. Ia dikenal karena kekuatan dan ekspresi dramatis dalam permainannya, serta kemampuannya untuk mengajar dan melestarikan gaya Satsuma Biwa.
- Kinshi Tsuruta (鶴田 錦史): Mungkin salah satu pemain Biwa paling terkenal di abad ke-20. Ia adalah pencipta gaya Nishiki Biwa, yang dirancang untuk menjadi lebih serbaguna dan ekspresif. Tsuruta Biwa juga dikenal karena kolaborasinya dengan komponis musik Barat, seperti Tōru Takemitsu, yang menghasilkan karya-karya ikonik yang membawa Biwa ke panggung global. Kolaborasinya dengan Takemitsu, seperti dalam karya "November Steps," adalah momen penting dalam sejarah musik kontemporer yang mengangkat Biwa ke status instrumen klasik internasional.
Pemain Biwa Kontemporer
Di era modern, beberapa pemain terus menghidupkan dan mengembangkan seni Biwa, menjembatani tradisi dan inovasi:
- Junko Ueda: Seorang pemain Biwa Satsuma dan vokal yang diakui secara internasional. Dia tidak hanya menguasai repertoar tradisional, tetapi juga aktif dalam eksperimen musik lintas genre, menggabungkan Biwa dengan musik etnik, jazz, dan elektronik. Pertunjukannya seringkali sangat intens dan emosional, menunjukkan kekuatan ekspresif Biwa.
- Kakushin Nishihara: Seniman Biwa yang menonjol di kancah musik eksperimental dan kontemporer. Nishihara dikenal karena pendekatannya yang inovatif, seringkali mengeksplorasi potensi sonik Biwa di luar batas-batas tradisional dan berkolaborasi dengan musisi dari berbagai latar belakang budaya.
- Akiko Kubota: Seorang pemain Chikuzen Biwa yang dihormati, dikenal karena permainannya yang halus dan puitis. Ia berdedikasi untuk melestarikan dan mengajarkan repertoar Chikuzen Biwa klasik, serta berpartisipasi dalam proyek-proyek baru yang memperkenalkan Biwa kepada audiens yang lebih luas.
Para seniman ini, baik dari masa lalu maupun masa kini, telah memastikan bahwa suara Biwa terus memikat dan menginspirasi, melampaui batasan waktu dan budaya.
Biwa di Era Kontemporer: Tantangan dan Masa Depan
Di tengah modernisasi dan globalisasi, Biwa menghadapi tantangan unik, namun juga menemukan peluang baru untuk berkembang dan mempertahankan relevansinya. Kelangsungan hidup Biwa di era kontemporer bergantung pada adaptasi, inovasi, dan dedikasi.
Tantangan Pelestarian
Salah satu tantangan terbesar bagi Biwa adalah menurunnya jumlah pemain dan pengrajin instrumen. Pembelajaran Biwa memerlukan dedikasi dan waktu yang signifikan, dan dalam masyarakat modern yang serba cepat, daya tarik untuk seni tradisional seperti ini mungkin berkurang. Selain itu, keterampilan membuat Biwa, yang membutuhkan pengetahuan mendalam tentang jenis kayu, proses pengeringan, dan teknik ukiran yang rumit, semakin langka. Pelestarian Biwa membutuhkan upaya kolektif dari pemerintah, lembaga budaya, dan komunitas seniman.
- Pendidikan: Membangun program pendidikan yang menarik bagi generasi muda untuk mempelajari Biwa adalah krusial. Ini termasuk lokakarya, kelas di sekolah, dan beasiswa untuk calon musisi.
- Dokumentasi: Merekam dan mendokumentasikan repertoar, teknik, dan sejarah Biwa secara komprehensif untuk memastikan pengetahuan tidak hilang.
- Dukungan Pengrajin: Memberikan dukungan finansial dan pelatihan untuk pengrajin Biwa agar keterampilan mereka dapat terus diwariskan.
Inovasi dan Kolaborasi Lintas Genre
Untuk tetap relevan, Biwa telah merangkul inovasi. Banyak pemain kontemporer bereksperimen dengan menggabungkan Biwa dengan genre musik lain:
- Musik Klasik Barat: Kolaborasi dengan orkestra simfoni atau ansambel musik kamar, seperti yang dipelopori oleh Kinshi Tsuruta.
- Jazz dan Musik Dunia: Memasukkan Biwa ke dalam komposisi jazz, fusi, atau musik etnik global, memanfaatkan tekstur unik suara dan kemampuannya untuk improvisasi.
- Musik Elektronik: Menggunakan Biwa dengan efek suara elektronik atau dalam komposisi musik ambient, menciptakan lanskap suara yang baru dan menarik.
Kolaborasi semacam ini tidak hanya memperkenalkan Biwa kepada audiens baru tetapi juga memperluas batas-batas ekspresif instrumen itu sendiri, menunjukkan fleksibilitas dan adaptasinya.
Biwa di Panggung Internasional
Para pemain Biwa modern seringkali melakukan tur internasional, membawakan tradisi Jepang ke panggung dunia. Festival musik dunia, konser-konser khusus, dan kolaborasi dengan musisi dari berbagai negara membantu meningkatkan profil Biwa di luar Jepang. Melalui pertunjukan-pertunjukan ini, Biwa tidak hanya menjadi duta budaya Jepang tetapi juga instrumen yang dihargai karena keindahan dan keunikannya secara universal.
Masa Depan Biwa
Masa depan Biwa terletak pada keseimbangan antara menghormati tradisi dan merangkul inovasi. Penting untuk melestarikan sekolah-sekolah Biwa yang sudah mapan dan repertoar klasik, sambil juga mendorong eksperimen dan interpretasi baru. Dengan terus menarik talenta-talenta baru, mendukung pengrajin, dan mencari platform baru untuk tampil, Biwa dapat terus berkembang sebagai instrumen yang dinamis dan relevan di abad ke-21.
Sebagai instrumen yang telah menyaksikan sejarah Jepang selama lebih dari seribu tahun, Biwa adalah pengingat akan kekayaan warisan budaya dan kemampuan seni untuk beradaptasi dan berkembang. Suaranya akan terus bergema, membawa kisah-kisah masa lalu dan melukiskan melodi masa depan.
Perbandingan Biwa dengan Instrumen Lute Lain di Dunia
Biwa bukanlah satu-satunya instrumen lute di dunia. Ia termasuk dalam keluarga besar alat musik senar petik yang memiliki tubuh berongga dan leher yang menonjol. Membandingkan Biwa dengan lute lain memberikan perspektif yang lebih luas tentang evolusi musik dan keragaman budaya.
Pipa (Tiongkok)
Pipa adalah nenek moyang langsung Biwa dan memiliki banyak kesamaan. Keduanya memiliki tubuh berbentuk pir, empat senar, dan dimainkan dengan plectrum.
- Kesamaan: Bentuk tubuh, jumlah senar (umumnya), dimainkan secara vertikal atau semi-vertikal, suara yang ekspresif.
- Perbedaan: Fret pada pipa seringkali lebih banyak dan lebih rendah dibandingkan Biwa, memungkinkan teknik vibrato dan pitch bending yang berbeda. Teknik bermain pipa lebih cenderung menggunakan jari atau plectrum kecil, sedangkan Biwa menggunakan bachi yang besar. Pipa sering memiliki jangkauan melodi yang lebih luas.
- Evolusi: Keduanya berevolusi dari instrumen lute Persia kuno, beradaptasi dengan estetika musik masing-masing budaya.
Oud (Timur Tengah)
Oud adalah instrumen lute tanpa fret dari Timur Tengah yang juga merupakan nenek moyang barbat, dari mana pipa dan Biwa berasal.
- Kesamaan: Tubuh berbentuk pir, senar yang diatur berpasangan, dimainkan dengan plectrum.
- Perbedaan: Oud tidak memiliki fret, memungkinkan pemain untuk menghasilkan mikroton dan melodi yang sangat halus dan kompleks, khas musik Timur Tengah. Leher oud lebih pendek dari Biwa dan dimainkan dengan plectrum kecil. Suara oud cenderung lebih lembut dan lebih sustain.
- Pengaruh: Oud memainkan peran sentral dalam musik klasik Arab, Turki, dan Persia, sama pentingnya dengan Biwa di Jepang.
Lute Eropa (Renaisans/Barok)
Lute Eropa, populer selama periode Renaisans dan Barok, juga memiliki tubuh berongga dan leher yang panjang, seringkali dengan banyak senar yang berpasangan.
- Kesamaan: Senar petik, digunakan dalam musik istana dan penceritaan.
- Perbedaan: Lute Eropa memiliki fret yang terikat (biasanya dari usus) di leher, bukan ganjalan tinggi. Dimainkan dengan jari atau plectrum kecil, menghasilkan suara yang lebih lembut dan polifoni yang rumit. Lute Eropa sering memiliki senar bass tambahan di luar fretboard. Posisi bermain juga berbeda, seringkali dipegang lebih horizontal.
Sitar (India)
Meskipun Sitar (India) memiliki tubuh resonansi yang besar dan leher panjang, ia berbeda secara signifikan dari Biwa.
- Perbedaan: Sitar memiliki banyak senar (melodi, drone, dan simpatik), fret yang dapat digerakkan, dan resonansi khas dari gourd. Teknik bermainnya melibatkan penggunaan mezrab (plectrum kawat) dan membengkokkan senar melodi di atas fret melengkung untuk menciptakan glissando dan vibrato yang dalam. Suaranya jauh lebih sustain dan kompleks dengan banyak overtones.
- Akar: Meskipun Biwa dan Sitar sama-sama memiliki akar kuno di Asia, jalur evolusi mereka sangat divergen, menciptakan instrumen dengan karakteristik sonik dan peran budaya yang sangat berbeda.
Perbandingan ini menyoroti bagaimana ide dasar dari instrumen lute telah diadaptasi dan diubah oleh berbagai budaya untuk memenuhi kebutuhan musik dan ekspresi artistik mereka yang unik. Biwa, dengan fret tinggi yang khas, bachi yang besar, dan perannya dalam penceritaan dramatis, jelas menempati ceruknya sendiri dalam keluarga besar instrumen lute dunia.
Kesimpulan
Biwa, dengan gemanya yang kaya dan ceritanya yang tak lekang oleh waktu, adalah lebih dari sekadar instrumen musik. Ia adalah penjaga memori kolektif Jepang, sebuah cermin yang memantulkan evolusi sejarah, nilai-nilai spiritual, dan kekayaan artistik bangsa. Dari istana kekaisaran di Nara hingga panggung-panggung modern di seluruh dunia, suara Biwa telah mengiringi lahirnya epik-epik besar, menguatkan ajaran-ajaran Buddha, dan mewujudkan estetika yang mendalam.
Melalui berbagai bentuknya—dari Gakubiwa yang khidmat, Mōsō Biwa yang religius, Satsuma Biwa yang dramatis, hingga Chikuzen Biwa yang liris, dan Nishiki Biwa yang serbaguna—Biwa telah menunjukkan kapasitasnya untuk beradaptasi, namun tetap mempertahankan esensinya. Keunikan fretnya yang tinggi, penggunaan bachi yang ekspresif, dan perpaduan tak terpisahkan antara musik dan narasi, menjadikannya instrumen yang tak tertandingi dalam kemampuannya untuk menyampaikan emosi dan cerita yang kompleks.
Di era kontemporer, tantangan globalisasi dan modernisasi telah menguji ketahanan Biwa. Namun, melalui dedikasi para pemain dan pengrajin, inovasi dalam kolaborasi lintas genre, dan upaya pelestarian yang gigih, Biwa terus menemukan cara untuk bernapas dan berkembang. Ia tetap relevan, menawarkan suara yang mendalam dan introspektif di dunia yang serba cepat.
Biwa bukan hanya instrumen yang layak didengar, tetapi juga sebuah pelajaran hidup—bahwa warisan budaya dapat bertahan dan bahkan berkembang di tengah perubahan, asalkan ada jiwa-jiwa yang bersedia untuk memetik senarnya, menceritakan kembali kisahnya, dan menjaga apinya tetap menyala untuk generasi mendatang. Suara Biwa adalah seruan dari masa lalu, sebuah melodi yang abadi, dan inspirasi tak berujung bagi siapa pun yang mendengarkannya.