Sejarah pertanian Indonesia adalah narasi panjang tentang perjuangan, inovasi, dan adaptasi untuk memastikan ketahanan pangan bagi jutaan penduduknya. Di tengah narasi ini, satu program menonjol dan meninggalkan jejak yang tak terhapuskan: Bimbingan Massal, atau yang lebih dikenal dengan Bimas. Lebih dari sekadar program, Bimas adalah sebuah revolusi agraria yang digagas untuk mentransformasi sektor pertanian tradisional menjadi lebih modern dan produktif, khususnya dalam produksi padi. Program ini merupakan respons strategis terhadap tantangan kelangkaan pangan dan upaya mencapai swasembada beras, sebuah cita-cita yang dianggap krusial bagi stabilitas sosial dan ekonomi negara.
Sejak diluncurkan secara formal pada era 1960-an, Bimas tidak hanya memperkenalkan teknologi pertanian baru, tetapi juga merombak sistem dukungan petani mulai dari penyediaan input, akses permodalan, hingga penyuluhan lapangan. Ini adalah sebuah pendekatan holistik yang menyatukan berbagai elemen penting dalam ekosistem pertanian. Keberhasilannya dalam mendorong peningkatan produksi padi secara signifikan telah diakui secara luas, menjadikannya salah satu studi kasus paling menarik dalam pembangunan pertanian di negara berkembang. Namun, seperti program pembangunan berskala besar lainnya, Bimas juga dihadapkan pada berbagai tantangan dan kritik yang menuntut penyesuaian dan evolusi seiring waktu.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk program Bimas, mulai dari latar belakang sejarah dan konteks sosio-politik yang melahirkannya, tujuan-tujuan ambisiusnya, pilar-pilar utama yang menyokong implementasinya, hingga dampak jangka panjang yang ditimbulkannya. Kita juga akan menelaah berbagai keberhasilan serta tantangan yang dihadapi, kritik-kritik yang muncul, dan bagaimana pembelajaran dari Bimas terus relevan dalam konteks pertanian Indonesia modern yang semakin kompleks. Melalui pemahaman yang komprehensif ini, kita dapat menghargai warisan Bimas dan merenungkan bagaimana prinsip-prinsipnya dapat diadaptasi untuk menghadapi tantangan pangan di masa depan.
Latar Belakang dan Sejarah Lahirnya Bimas
Untuk memahami signifikansi Bimas, kita perlu mundur ke pertengahan abad ke-20, ketika Indonesia baru saja merdeka dan dihadapkan pada tantangan fundamental dalam membangun fondasi negara. Sektor pertanian, khususnya padi sebagai makanan pokok, menjadi prioritas utama. Pada saat itu, produktivitas pertanian di Indonesia masih sangat rendah, mengandalkan metode tradisional dan varietas lokal yang rentan terhadap hama penyakit serta cuaca ekstrem. Populasi yang terus bertumbuh memperburuk situasi, menyebabkan defisit beras dan ketergantungan pada impor, yang pada gilirannya menguras devisa negara dan menciptakan ketidakstabilan ekonomi.
Kondisi Pertanian Pra-Bimas
Sebelum adanya program Bimas, petani Indonesia umumnya masih berpegang pada praktik pertanian subsisten. Mereka menanam padi menggunakan bibit lokal yang memiliki umur panjang dan hasil panen yang relatif sedikit. Penggunaan pupuk dan pestisida hampir tidak ada atau sangat terbatas, serta minimnya pengetahuan tentang teknik budidaya yang efisien. Infrastruktur irigasi juga belum memadai di banyak daerah, sehingga petani sangat bergantung pada curah hujan. Kondisi ini membuat produksi padi sangat fluktuatif dan rentan terhadap kegagalan panen, yang berdampak langsung pada kesejahteraan petani dan ketersediaan pangan nasional.
Pemerintah pada masa itu menyadari bahwa ketergantungan pada impor beras bukanlah solusi jangka panjang. Selain membebani anggaran negara, hal itu juga mengancam kedaulatan pangan. Ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan produktivitas dalam negeri secara drastis. Berbagai upaya telah dicoba, namun hasilnya belum optimal. Di tengah situasi inilah, sebuah pemikiran baru muncul, terinspirasi dari keberhasilan revolusi hijau di negara-negara lain, yang menekankan pada penggunaan varietas unggul baru, pupuk, dan irigasi.
Inisiasi dan Pengembangan Awal
Gagasan Bimas pertama kali dicetuskan oleh para akademisi pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada sekitar awal tahun 1960-an. Para peneliti dan dosen IPB, seperti Prof. Dr. Ir. Sajogyo dan kawan-kawan, melalui eksperimen dan kajian lapangan, mulai mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang dapat meningkatkan hasil panen padi secara signifikan. Mereka melihat potensi besar pada kombinasi penggunaan varietas unggul, pemupukan yang tepat, pengendalian hama, dan perbaikan teknik budidaya. Konsep ini kemudian diuji coba dalam skala kecil di beberapa wilayah percontohan, yang menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan.
Uji coba awal yang dikenal dengan sebutan "Padi Sentra" pada adalah embrio dari Bimas. Program ini melibatkan sekelompok petani di desa-desa tertentu untuk menerapkan paket teknologi pertanian yang baru. Keberhasilan Padi Sentra dalam meningkatkan hasil panen petani percontohan menarik perhatian pemerintah. Melihat potensi besar untuk diaplikasikan secara massal, pemerintah kemudian mengadopsi konsep ini dan meluncurkannya sebagai program nasional yang lebih terstruktur dengan nama Bimbingan Massal atau Bimas. Program ini secara resmi diluncurkan pada tahun 1965, meskipun implementasi awalnya masih bersifat terbatas dan terus disempurnakan.
Peluncuran Bimas juga bertepatan dengan masa transisi politik yang krusial di Indonesia. Dengan fokus pada pembangunan ekonomi dan ketahanan pangan, pemerintah Orde Baru melihat Bimas sebagai instrumen vital untuk mencapai stabilitas dan legitimasi. Komitmen politik yang kuat menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan awal Bimas dalam menjangkau petani di seluruh pelosok negeri. Program ini kemudian menjadi tulang punggung kebijakan pertanian nasional selama beberapa dekade ke depan.
Tujuan Mulia di Balik Bimas
Program Bimas dirancang dengan tujuan yang jelas dan ambisius, merefleksikan kebutuhan mendesak akan peningkatan produksi pangan di Indonesia. Tujuan-tujuan ini tidak hanya terbatas pada aspek teknis pertanian, tetapi juga mencakup dimensi sosial dan ekonomi yang lebih luas bagi petani dan negara.
1. Peningkatan Produksi Padi dan Produktivitas Petani
Tujuan utama dan paling fundamental dari Bimas adalah meningkatkan produksi padi nasional secara drastis. Ini dicapai melalui peningkatan produktivitas per hektar lahan pertanian. Dengan memperkenalkan varietas unggul baru (VUB) yang responsif terhadap pupuk, petani diharapkan dapat menghasilkan panen yang jauh lebih banyak dibandingkan varietas lokal tradisional. Program ini berfokus pada peningkatan hasil panen per unit lahan, bukan perluasan lahan, sehingga lebih efisien dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Peningkatan produktivitas juga secara langsung berkorelasi dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
2. Mencapai Swasembada Beras Nasional
Ketergantungan pada impor beras adalah masalah besar bagi Indonesia pada saat itu. Bimas secara eksplisit bertujuan untuk mengakhiri ketergantungan ini dan mencapai status swasembada beras. Swasembada beras bukan hanya tentang mencukupi kebutuhan pangan domestik, tetapi juga merupakan simbol kedaulatan dan kemandirian bangsa. Ini akan mengurangi tekanan pada neraca pembayaran negara dan memberikan stabilitas ekonomi yang lebih besar. Swasembada beras adalah target politik yang sangat kuat dan menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan pemerintah.
3. Peningkatan Kesejahteraan Petani
Selain tujuan produksi, Bimas juga memiliki dimensi sosial ekonomi yang kuat, yaitu meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan hasil panen yang lebih banyak dan pendapatan yang lebih tinggi, petani diharapkan dapat memperbaiki taraf hidup keluarga mereka. Akses terhadap input pertanian, kredit, dan bimbingan teknis yang disediakan oleh Bimas dirancang untuk memberdayakan petani agar dapat menjadi pelaku ekonomi yang lebih mandiri dan produktif. Kesejahteraan petani yang meningkat juga diharapkan dapat mengurangi urbanisasi dan memperkuat ekonomi pedesaan.
4. Adopsi Teknologi Pertanian Modern
Bimas merupakan instrumen utama untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan teknologi pertanian modern kepada petani. Ini termasuk penggunaan varietas unggul, pupuk kimia, pestisida, serta teknik budidaya yang lebih efisien seperti penanaman jajar legowo, pengaturan air irigasi, dan jadwal tanam yang optimal. Program ini berupaya mengubah pola pikir dan kebiasaan petani tradisional menjadi lebih ilmiah dan berbasis inovasi. Adopsi teknologi ini diharapkan dapat menciptakan sistem pertanian yang lebih resilien dan responsif terhadap perubahan lingkungan.
5. Penguatan Institusi Pertanian dan Penyuluhan
Untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, Bimas juga bertujuan untuk memperkuat institusi-institusi pertanian, terutama dalam bidang penyuluhan dan penelitian. Program ini secara masif melatih dan mengerahkan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) ke desa-desa untuk mendampingi petani. Selain itu, Bimas juga mendorong penelitian dan pengembangan varietas unggul baru serta praktik pertanian terbaik yang sesuai dengan kondisi lokal. Penguatan kapasitas institusional ini sangat penting untuk keberlanjutan program dan inovasi pertanian di masa depan.
Komponen dan Pilar Utama Program Bimas
Keberhasilan Bimas tidak lepas dari pendekatannya yang komprehensif, melibatkan serangkaian komponen yang saling mendukung dan terintegrasi. Pendekatan "paket teknologi" ini memastikan bahwa petani tidak hanya menerima satu jenis bantuan, tetapi seluruh kebutuhan esensial untuk meningkatkan produktivitas.
1. Paket Teknologi Pertanian Unggul
Ini adalah inti dari Bimas, yaitu pengenalan varietas unggul baru (VUB) padi yang responsif terhadap pupuk dan memiliki potensi hasil tinggi. VUB seperti IR8 dan IR5 (dari International Rice Research Institute - IRRI) serta varietas nasional seperti Pelita dan Cisadane, menjadi game-changer. Varietas ini memiliki karakteristik umur pendek, batang yang lebih kuat, dan toleran terhadap beberapa hama penyakit, memungkinkan petani untuk panen lebih sering dan dengan hasil yang lebih banyak. Selain VUB, paket teknologi juga mencakup rekomendasi penggunaan pupuk kimia (urea, TSP, KCl) sesuai dosis dan waktu yang tepat, serta pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Penggunaan pupuk dan pestisida secara terencana adalah kunci untuk memaksimalkan potensi VUB.
Bimbingan juga diberikan mengenai teknik budidaya yang lebih baik, termasuk persiapan lahan yang optimal, pengaturan jarak tanam (seperti sistem jajar legowo yang kemudian populer), manajemen air irigasi, hingga jadwal penanaman dan pemanenan yang tepat. Pendekatan ini memastikan bahwa setiap tahapan budidaya dilakukan secara efisien dan produktif, mengurangi risiko kegagalan dan meningkatkan peluang keberhasilan panen.
2. Penyediaan Sarana Produksi (Input)
Salah satu hambatan terbesar bagi petani tradisional adalah akses terhadap sarana produksi pertanian modern. Bimas mengatasi hal ini dengan memastikan ketersediaan benih VUB, pupuk, dan pestisida di tingkat desa. Distribusi dilakukan melalui koperasi unit desa (KUD) atau agen-agen resmi dengan harga yang terjangkau atau bahkan disubsidi. Ketersediaan input yang tepat waktu dan mudah dijangkau sangat krusial, karena tanpa input ini, potensi VUB tidak dapat dimaksimalkan. Ini merupakan upaya logistik besar-besaran yang melibatkan pemerintah daerah, BUMN pertanian, dan jaringan distribusi lokal. Skala penyediaan ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam mendukung petani secara langsung.
Sistem penyediaan input ini dirancang untuk menghilangkan hambatan ekonomi bagi petani kecil, yang seringkali tidak memiliki modal awal untuk membeli benih unggul atau pupuk. Dengan adanya jaminan ketersediaan, petani lebih termotivasi untuk mencoba dan mengadopsi teknologi baru yang diperkenalkan oleh Bimas.
3. Kredit Pertanian Murah
Adopsi teknologi baru memerlukan investasi, dan sebagian besar petani kecil tidak memiliki modal yang cukup. Untuk mengatasi masalah ini, Bimas menyediakan fasilitas kredit pertanian dengan bunga rendah melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI) atau lembaga keuangan lainnya. Kredit ini digunakan untuk membeli benih, pupuk, pestisida, dan kebutuhan operasional pertanian lainnya. Skema kredit ini, yang sering disebut Kredit Usaha Tani (KUT), sangat vital dalam memungkinkan petani untuk mengimplementasikan paket teknologi Bimas. Kredit ini dirancang agar mudah diakses oleh petani, bahkan tanpa agunan yang rumit, dengan skema pembayaran yang disesuaikan dengan siklus panen.
Fungsi kredit ini tidak hanya sebagai modal, tetapi juga sebagai alat untuk mengintegrasikan petani ke dalam sistem ekonomi formal dan memberikan mereka kepercayaan diri untuk berinvestasi dalam usaha pertanian mereka. Keberadaan kredit murah ini menjadi daya tarik utama bagi petani untuk bergabung dengan program Bimas, karena menghilangkan salah satu risiko finansial terbesar dalam mencoba inovasi baru.
4. Bimbingan dan Penyuluhan Pertanian
Teknologi pertanian tidak akan berarti tanpa pengetahuan yang memadai untuk menerapkannya. Oleh karena itu, Bimas menempatkan peran Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) sebagai garda terdepan. PPL adalah ujung tombak program yang bertugas mendampingi petani secara langsung di lapangan. Mereka memberikan bimbingan teknis tentang cara menanam VUB, dosis dan waktu pemupukan yang tepat, cara mengendalikan hama penyakit, hingga manajemen air irigasi. PPL juga berperan sebagai fasilitator antara petani dan pemerintah, menyampaikan informasi, mengumpulkan data, dan membantu mengatasi masalah di lapangan.
Metode penyuluhan yang digunakan bervariasi, mulai dari demonstrasi plot (demplot), pertemuan kelompok tani, kunjungan individu, hingga penggunaan media cetak sederhana. PPL seringkali tinggal di desa-desa yang mereka layani, membangun hubungan kepercayaan dengan petani dan memahami konteks lokal. Peran PPL sangat penting dalam jembatan antara inovasi ilmiah dan praktik petani sehari-hari, memastikan adopsi teknologi yang efektif dan berkelanjutan. Mereka adalah agen perubahan yang membawa pengetahuan dan keterampilan langsung ke tangan petani.
5. Infrastruktur dan Tata Niaga
Meskipun tidak selalu menjadi komponen utama yang disebut, perbaikan dan pengelolaan infrastruktur irigasi juga merupakan bagian tak terpisahkan dari keberhasilan Bimas. Air adalah elemen krusial untuk pertanian padi, terutama untuk VUB yang membutuhkan manajemen air yang lebih presisi. Perbaikan saluran irigasi dan sistem pembagian air yang adil turut mendukung peningkatan produktivitas.
Selain itu, aspek pascapanen dan tata niaga juga mendapat perhatian, meskipun tidak seintens komponen produksi. Dengan meningkatnya produksi, diperlukan sistem tata niaga yang efisien untuk menyerap hasil panen petani dan memasarkannya. KUD juga berperan dalam membantu petani menjual hasil panen mereka, memastikan harga yang stabil dan mengurangi peran tengkulak yang seringkali merugikan petani. Meskipun demikian, aspek tata niaga menjadi salah satu area yang kemudian mendapat banyak kritik dan menjadi tantangan berkelanjutan.
Dampak dan Keberhasilan Gemilang Bimas
Program Bimas mencatatkan sejarah gemilang dalam pembangunan pertanian Indonesia, memberikan dampak transformatif yang masih terasa hingga kini. Keberhasilan terbesarnya adalah dalam mencapai swasembada beras, yang menjadi tonggak penting dalam sejarah bangsa.
1. Pencapaian Swasembada Beras
Puncak keberhasilan Bimas terjadi pada pertengahan 1980-an, ketika Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Pada sekitar tahun 1984, Indonesia, yang sebelumnya merupakan importir beras terbesar di dunia, mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri bahkan sempat mengekspor surplus beras. Pencapaian ini merupakan prestasi luar biasa yang mendapat pengakuan internasional, termasuk dari FAO (Food and Agriculture Organization) PBB. Swasembada beras menjadi kebanggaan nasional dan simbol keberhasilan pembangunan di bawah Orde Baru. Ini menunjukkan bahwa dengan perencanaan yang matang, dukungan politik, dan partisipasi petani, tujuan besar dapat dicapai.
Dampak swasembada ini sangat luas. Dari sisi ekonomi, mengurangi ketergantungan pada impor berarti menghemat devisa negara yang dapat dialokasikan untuk sektor pembangunan lainnya. Dari sisi sosial, stabilitas harga beras dan ketersediaan pangan yang memadai mengurangi keresahan sosial dan meningkatkan rasa aman di masyarakat. Swasembada juga meningkatkan harga diri bangsa di mata dunia internasional.
2. Peningkatan Produksi Padi yang Signifikan
Secara kuantitatif, Bimas berhasil meningkatkan produksi padi secara drastis. Sebelum Bimas, produktivitas rata-rata padi per hektar hanya sekitar 2-3 ton gabah kering giling (GKG). Melalui Bimas, angka ini melonjak menjadi 4-5 ton GKG per hektar, bahkan di beberapa daerah percontohan bisa mencapai lebih dari 6-7 ton. Peningkatan produksi ini didorong oleh adopsi varietas unggul baru, penggunaan pupuk dan pestisida yang optimal, serta perbaikan teknik budidaya. Data statistik menunjukkan kurva peningkatan produksi yang tajam selama periode implementasi Bimas.
Peningkatan ini tidak hanya berdampak pada tingkat nasional, tetapi juga pada skala rumah tangga petani. Petani yang bergabung dengan Bimas umumnya mengalami peningkatan pendapatan yang substansial, yang memungkinkan mereka untuk memperbaiki kualitas hidup, pendidikan anak, dan investasi lebih lanjut dalam usaha pertanian.
3. Modernisasi Pertanian
Bimas secara fundamental mengubah wajah pertanian Indonesia dari tradisional menjadi lebih modern. Petani menjadi akrab dengan konsep-konsep ilmiah seperti varietas unggul, pupuk kimia, pengendalian hama terpadu, dan jadwal tanam yang presisi. Program ini mendorong adopsi inovasi dan meninggalkan praktik-praktik kuno yang kurang efisien. Penggunaan traktor tangan mulai diperkenalkan, meskipun masih terbatas, sebagai awal mekanisasi pertanian. Penyuluhan yang intensif berperan penting dalam mengubah pola pikir dan perilaku petani menuju praktik yang lebih produktif dan berkelanjutan.
Modernisasi ini juga mencakup pengembangan infrastruktur pendukung seperti balai penyuluhan, stasiun penelitian pertanian, dan jaringan irigasi yang lebih baik. Bimas telah meletakkan dasar bagi pengembangan pertanian modern yang terus berlanjut hingga saat ini.
4. Penguatan Kelembagaan Petani dan Penyuluhan
Bimas turut memperkuat kelembagaan petani melalui pembentukan kelompok-kelompok tani dan koperasi unit desa (KUD). Kelompok tani menjadi wadah bagi petani untuk belajar bersama, berbagi pengalaman, dan mendapatkan akses yang lebih mudah terhadap informasi dan input pertanian. KUD berperan sebagai penyedia input, penyalur kredit, dan kadang juga sebagai fasilitator pemasaran hasil panen. Kelembagaan ini penting untuk membangun solidaritas petani dan meningkatkan posisi tawar mereka dalam rantai pasok.
Selain itu, peran PPL menjadi sangat vital dan diakui. Jaringan penyuluhan pertanian menjadi lebih kuat dan terstruktur, menjangkau hingga ke tingkat desa. PPL menjadi jembatan pengetahuan antara peneliti dan petani, memastikan bahwa inovasi dapat diimplementasikan secara efektif di lapangan. Ribuan PPL dilatih dan diberangkatkan ke seluruh Indonesia, membentuk tulang punggung sistem penyuluhan pertanian yang ada hingga sekarang.
5. Stabilitas Ekonomi dan Sosial
Ketersediaan pangan yang cukup dan harga beras yang stabil merupakan faktor kunci dalam menjaga stabilitas ekonomi dan sosial. Dengan produksi yang memadai, pemerintah dapat mengendalikan inflasi harga pangan, yang sangat penting bagi daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah. Stabilitas pangan juga mencegah terjadinya gejolak sosial yang seringkali dipicu oleh kelangkaan dan kenaikan harga bahan pokok. Bimas secara tidak langsung berkontribusi pada penciptaan iklim pembangunan yang kondusif, memungkinkan sektor-sektor lain untuk tumbuh.
Peningkatan pendapatan petani juga mengurangi kesenjangan ekonomi antara pedesaan dan perkotaan, meskipun tantangan ini masih tetap ada. Secara keseluruhan, Bimas membantu menciptakan fondasi yang lebih kokoh bagi pembangunan nasional, dimulai dari sektor yang paling mendasar: pertanian.
Tantangan, Kritik, dan Evaluasi Bimas
Meskipun Bimas menuai banyak keberhasilan, bukan berarti program ini tanpa cela. Seiring berjalannya waktu, berbagai tantangan dan kritik bermunculan, menyoroti sisi lain dari program pembangunan pertanian berskala besar ini.
1. Ketergantungan pada Input Eksternal
Salah satu kritik utama terhadap Bimas adalah terciptanya ketergantungan petani pada input pertanian eksternal, seperti benih varietas unggul, pupuk kimia, dan pestisida. Varietas unggul yang diperkenalkan memang memiliki potensi hasil tinggi, tetapi sangat responsif terhadap pupuk kimia dan rentan terhadap hama penyakit tertentu jika tidak dikelola dengan baik. Ini berarti petani harus terus-menerus membeli pupuk dan pestisida, yang seringkali harganya terus meningkat. Ketergantungan ini dapat menjadi beban finansial bagi petani, terutama jika harga komoditas pertanian berfluktuasi atau harga input naik.
Selain itu, fokus pada beberapa varietas unggul padi juga mengurangi keanekaragaman genetik tanaman pangan. Monokultur yang luas dapat meningkatkan risiko serangan hama penyakit berskala besar yang lebih sulit dikendalikan, seperti kasus hama wereng cokelat di tahun 1970-an yang menghancurkan jutaan hektar sawah dan sempat mengancam swasembada beras. Hal ini menunjukkan perlunya keseimbangan antara produktivitas dan keberlanjutan ekologis.
2. Masalah Lingkungan
Penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara intensif dan kadang berlebihan, seperti yang dipromosikan dalam paket teknologi Bimas, menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Pupuk kimia yang tidak terserap tanaman dapat mencemari air tanah dan permukaan, menyebabkan eutrofikasi di perairan dan mengancam keanekaragaman hayati. Pestisida, terutama yang berbasis sintetis, dapat membunuh organisme non-target (predator alami hama), merusak ekosistem, dan menimbulkan residu berbahaya pada hasil panen maupun lingkungan. Ini memicu kekhawatiran tentang kesehatan manusia dan keberlanjutan lingkungan pertanian dalam jangka panjang.
Kesadaran akan dampak ini kemudian mendorong pengembangan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan pestisida kimia dan mempromosikan pendekatan yang lebih ramah lingkungan dalam mengelola hama dan penyakit.
3. Masalah Sosial dan Ekonomi Petani
Meskipun Bimas bertujuan meningkatkan kesejahteraan petani, implementasinya tidak selalu merata dan menimbulkan masalah sosial tertentu. Petani kecil yang tidak memiliki akses memadai terhadap lahan, irigasi, atau informasi, seringkali kurang mendapatkan manfaat optimal dibandingkan petani yang lebih besar. Sistem kredit meskipun murah, tidak jarang justru menjerat petani dalam utang jika gagal panen atau harga jual rendah. Beberapa petani juga kesulitan dalam mengelola dan membayar kembali kredit yang mereka pinjam.
Selain itu, meskipun produksi meningkat, masalah tata niaga dan pemasaran hasil panen tetap menjadi tantangan. Harga jual di tingkat petani seringkali rendah karena dominasi tengkulak atau kurangnya daya tawar petani. Ini membuat sebagian besar keuntungan justru dinikmati oleh perantara, bukan petani produsen. Kesenjangan pendapatan antara petani yang sukses dan yang kurang sukses menjadi semakin terlihat.
4. Kendala Birokrasi dan Implementasi
Program berskala besar seperti Bimas tidak terhindar dari kendala birokrasi. Distribusi input yang tidak tepat waktu atau tidak sesuai kualitas, kurangnya koordinasi antarlembaga, serta masalah korupsi di beberapa tingkatan, dapat menghambat efektivitas program. Jumlah PPL yang terbatas dibandingkan luas wilayah pertanian dan jumlah petani juga menjadi tantangan. Kadang-kadang, PPL menghadapi kesulitan dalam beradaptasi dengan kondisi lokal yang sangat beragam di seluruh Indonesia, dan tidak semua petani memiliki tingkat literasi yang sama untuk memahami bimbingan teknis secara optimal.
Sistem top-down dalam perencanaan dan implementasi Bimas juga sering dikritik karena kurang mengakomodasi partisipasi dan aspirasi petani lokal. Keputusan seringkali datang dari pusat tanpa mempertimbangkan kekhasan ekologis dan sosial-budaya di setiap daerah, yang kadang mengakibatkan praktik yang tidak sesuai atau resistensi dari petani.
5. Keberlanjutan dalam Jangka Panjang
Pertanyaan tentang keberlanjutan program Bimas juga muncul seiring berjalannya waktu. Ketergantungan pada subsidi pemerintah untuk input pertanian dan kredit murah bukanlah model yang berkelanjutan secara ekonomi dalam jangka panjang. Ketika subsidi dikurangi atau dihilangkan, petani mungkin kesulitan untuk mempertahankan tingkat produktivitas tinggi. Selain itu, regenerasi petani muda dan minat terhadap sektor pertanian juga menjadi isu yang perlu diperhatikan. Banyak pemuda yang lebih tertarik bekerja di sektor lain, sehingga mengancam kelangsungan pertanian sebagai mata pencaharian utama.
Secara keseluruhan, evaluasi Bimas menunjukkan bahwa meskipun program ini berhasil mencapai tujuan utama swasembada beras, ia juga menciptakan tantangan baru yang memerlukan pendekatan yang lebih seimbang antara produktivitas, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial bagi petani.
Adaptasi dan Transformasi: Warisan Bimas di Era Modern
Setelah melewati masa keemasan dan dihadapkan pada berbagai kritik, program Bimas secara bertahap mengalami adaptasi dan transformasi. Meskipun nama "Bimas" mungkin tidak lagi digunakan secara formal dalam konteks yang sama, semangat dan prinsip-prinsip dasarnya tetap hidup dan menginspirasi program-program pembangunan pertanian modern di Indonesia.
1. Pergeseran ke Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
Menanggapi kekhawatiran akan dampak negatif pestisida, pemerintah Indonesia pada akhir 1980-an secara aktif mempromosikan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai pendekatan baru dalam pengelolaan hama. PHT menekankan pada penggunaan metode-metode ekologis untuk mengendalikan hama, seperti pemanfaatan musuh alami, rotasi tanaman, varietas tahan hama, dan penggunaan pestisida kimia hanya sebagai pilihan terakhir dan secara selektif. PHT menjadi filosofi utama dalam kebijakan perlindungan tanaman dan menggantikan pendekatan sebelumnya yang sangat bergantung pada pestisida kimia. Ini adalah contoh nyata bagaimana program Bimas beradaptasi untuk mengatasi tantangan yang diciptakannya sendiri.
Penerapan PHT membutuhkan peningkatan pengetahuan dan pemahaman petani tentang ekosistem pertanian. Oleh karena itu, program PHT juga melibatkan pelatihan masif bagi petani dan PPL, mengubah peran PPL dari sekadar penyampai informasi menjadi fasilitator pembelajaran dan analisis masalah di lapangan.
2. Diversifikasi Pertanian dan Ketahanan Pangan Non-Beras
Meskipun Bimas sangat fokus pada padi, pengalaman menunjukkan pentingnya diversifikasi pangan untuk mencapai ketahanan pangan yang sejati. Ketergantungan berlebihan pada satu komoditas berisiko tinggi. Program-program pertanian setelah Bimas mulai lebih memperhatikan komoditas pangan lain seperti jagung, kedelai, umbi-umbian, buah-buahan, sayuran, serta sektor peternakan dan perikanan. Tujuannya adalah untuk menciptakan pola konsumsi yang lebih beragam dan gizi seimbang, serta mengurangi tekanan pada padi sebagai satu-satunya sumber karbohidrat utama.
Diversifikasi juga membantu petani memiliki sumber pendapatan alternatif, sehingga lebih resilien terhadap fluktuasi harga satu komoditas. Pendekatan ini merupakan evolusi dari fokus sempit Bimas menjadi visi ketahanan pangan yang lebih luas dan holistik.
3. Penguatan Peran Penyuluhan dan Pemberdayaan Petani
Prinsip penyuluhan yang digagas Bimas terus dipertahankan dan diperkuat. PPL tetap menjadi ujung tombak pembangunan pertanian, meskipun dengan pendekatan yang lebih partisipatif dan memberdayakan. PPL saat ini tidak hanya bertugas menyampaikan informasi, tetapi juga menjadi fasilitator yang membantu petani mengidentifikasi masalah mereka sendiri, mencari solusi, dan mengembangkan kapasitas. Program-program pemberdayaan petani, seperti sekolah lapang, terus dijalankan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani.
Selain itu, peran kelompok tani dan kelembagaan petani terus didorong agar petani memiliki kekuatan kolektif dalam mengakses pasar, permodalan, dan teknologi. Konsep "dari, oleh, dan untuk petani" semakin ditekankan dalam program-program penyuluhan modern.
4. Integrasi Teknologi Informasi dan Pertanian Presisi
Di era digital, warisan Bimas dalam adopsi teknologi juga berkembang. Kini, ada upaya untuk mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pertanian, seperti aplikasi pertanian, data cuaca, informasi harga pasar, hingga sistem informasi geografis (SIG) untuk pemetaan lahan. Pertanian presisi, yang memanfaatkan sensor, drone, dan analisis data untuk mengoptimalkan penggunaan input (pupuk, air) sesuai kebutuhan spesifik lahan, adalah manifestasi modern dari upaya peningkatan efisiensi yang dulu digagas Bimas.
Teknologi ini memungkinkan petani untuk membuat keputusan yang lebih cerdas dan efisien, mengurangi limbah, dan meningkatkan produktivitas secara berkelanjutan. Ini adalah evolusi dari pendekatan paket teknologi standar Bimas menjadi solusi yang lebih adaptif dan spesifik lokasi.
5. Fokus pada Pertanian Berkelanjutan dan Organik
Mengingat kekhawatiran lingkungan di masa lalu, fokus pada pertanian berkelanjutan dan organik semakin menguat. Program-program pemerintah dan inisiatif masyarakat kini mendorong praktik pertanian yang ramah lingkungan, seperti pertanian organik, pertanian tanpa olah tanah, penggunaan pupuk hayati, dan konservasi lahan. Ini merupakan respons terhadap pelajaran dari Bimas yang menunjukkan bahwa peningkatan produksi tidak boleh mengorbankan kelestarian lingkungan.
Pertanian berkelanjutan bertujuan untuk mencapai produktivitas tinggi sambil menjaga kesehatan tanah, keanekaragaman hayati, dan meminimalkan jejak ekologis. Ini adalah visi jangka panjang untuk memastikan bahwa generasi mendatang juga dapat menikmati hasil pertanian yang melimpah dan lingkungan yang sehat.
Peran Bimas dalam Konteks Ketahanan Pangan Nasional
Bimas, dengan segala keberhasilan dan kekurangannya, telah memainkan peran fundamental dalam membentuk lanskap ketahanan pangan Indonesia. Warisan program ini melampaui sekadar peningkatan produksi; ia telah mengukir cetak biru tentang bagaimana sebuah negara dapat secara sistematis mendekati tantangan pangan.
1. Landasan Strategis untuk Ketahanan Pangan
Bimas adalah program pembangunan pertanian yang paling ambisius dan terkoordinasi dalam sejarah Indonesia modern. Ia meletakkan dasar bagi kebijakan ketahanan pangan nasional dengan menetapkan padi sebagai komoditas strategis utama. Fokus intensif pada padi memastikan bahwa kebutuhan dasar karbohidrat penduduk terpenuhi, yang merupakan prasyarat fundamental bagi stabilitas sosial dan politik. Tanpa capaian Bimas, Indonesia mungkin akan terus berjuang dengan defisit pangan dan ketergantungan impor yang dapat mengancam kedaulatan bangsa. Oleh karena itu, Bimas bukan hanya tentang pertanian, tetapi juga tentang pembangunan nasional secara lebih luas.
Program ini menunjukkan bahwa dengan intervensi yang tepat, dukungan pemerintah, dan partisipasi petani, sebuah negara dapat mengatasi tantangan pangan yang krusial. Ini menjadi model bagi program-program ketahanan pangan di masa mendatang, meskipun dengan modifikasi yang diperlukan.
2. Pembentukan Sistem Produksi Pangan
Bimas membentuk sebuah sistem produksi pangan yang terstruktur dan terintegrasi. Mulai dari penelitian varietas unggul di lembaga seperti Balai Penelitian Tanaman Pangan (Balitbangtan), produksi benih oleh perusahaan milik negara, distribusi pupuk dan pestisida, penyediaan kredit oleh perbankan, hingga penyuluhan di tingkat petani. Seluruh elemen ini bekerja dalam sebuah orkestra yang terkoordinasi untuk mencapai tujuan produksi. Meskipun tidak sempurna, sistem ini menciptakan mekanisme yang efektif untuk menyalurkan inovasi dan dukungan kepada petani dalam skala besar. Ini adalah penciptaan "rantai nilai" pertanian yang efisien pada masanya.
Sistem ini juga mendorong spesialisasi dan efisiensi dalam setiap tahapan produksi, meskipun kadang mengorbankan keanekaragaman dan ketahanan lokal. Namun, tanpa struktur ini, sulit membayangkan bagaimana peningkatan produksi sebesar itu dapat dicapai.
3. Peningkatan Kapasitas SDM Pertanian
Program Bimas secara masif meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di sektor pertanian. Ribuan peneliti dilibatkan dalam pengembangan varietas dan teknik budidaya. Ribuan PPL dilatih dan disebar ke seluruh pelosok negeri, menciptakan korps penyuluh yang kompeten. Jutaan petani mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru melalui bimbingan PPL. Ini adalah investasi besar dalam modal manusia pertanian yang dampaknya masih terasa hingga saat ini. Pengetahuan dan keterampilan yang disebarluaskan oleh Bimas menjadi fondasi bagi generasi petani berikutnya untuk terus berinovasi dan beradaptasi.
Peningkatan kapasitas ini juga tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga manajerial, mengajarkan petani tentang perencanaan tanam, pengelolaan input, dan evaluasi hasil panen. Ini adalah langkah awal menuju profesionalisasi petani.
4. Pengajaran tentang Pentingnya Integrasi Program
Salah satu pelajaran terbesar dari Bimas adalah pentingnya pendekatan terintegrasi dalam pembangunan. Bimas tidak hanya fokus pada satu aspek (misalnya, hanya benih atau hanya pupuk), tetapi menggabungkan berbagai komponen – benih, pupuk, pestisida, irigasi, kredit, dan penyuluhan – menjadi satu paket yang utuh. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan pertanian membutuhkan koordinasi lintas sektor dan antarlembaga. Keberhasilan Bimas membuktikan bahwa permasalahan kompleks tidak dapat diselesaikan dengan solusi tunggal, melainkan memerlukan pendekatan multisektoral yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Integrasi ini juga menunjukkan pentingnya dukungan politik yang kuat dari tingkat tertinggi pemerintahan untuk memastikan koordinasi dan alokasi sumber daya yang memadai. Tanpa komitmen politik ini, mustahil Bimas dapat mencapai skala dan dampak yang dimilikinya.
5. Referensi untuk Program Pertanian Masa Depan
Bimas tetap menjadi referensi penting bagi para perencana kebijakan pertanian di Indonesia. Pelajaran dari Bimas, baik keberhasilan maupun kegagalannya, terus menjadi bahan evaluasi untuk merancang program-program pertanian modern. Misalnya, pengalaman tentang dampak lingkungan dari penggunaan pestisida berlebihan mendorong lahirnya PHT. Pengalaman tentang ketergantungan input mendorong diversifikasi. Pengalaman tentang pentingnya penyuluhan diperkuat melalui program-program pemberdayaan petani.
Meskipun konteks global dan tantangan pertanian terus berubah (perubahan iklim, globalisasi pasar, teknologi digital), prinsip dasar Bimas tentang pentingnya inovasi, dukungan pemerintah, dan partisipasi petani tetap relevan. Bimas adalah bukti bahwa dengan visi yang jelas dan implementasi yang terstruktur, tantangan ketahanan pangan dapat diatasi, bahkan di negara berkembang dengan sumber daya terbatas.
Bimas dan Teknologi Pertanian: Evolusi dan Adaptasi
Program Bimas adalah manifestasi awal dari adopsi teknologi pertanian dalam skala massal di Indonesia. Sejak diluncurkan, Bimas selalu berupaya memperkenalkan dan menyebarluaskan teknologi yang relevan untuk meningkatkan produktivitas. Evolusi teknologi ini terus berlanjut, bahkan jauh setelah era Bimas sebagai program tunggal berakhir.
1. Revolusi Hijau: Pilar Teknologi Awal
Bimas adalah bagian integral dari Revolusi Hijau global, sebuah gerakan yang mentransformasi pertanian di negara-negara berkembang melalui introduksi teknologi. Teknologi kunci dalam Revolusi Hijau, yang diadopsi Bimas, meliputi:
- Varietas Unggul Baru (VUB): Ini adalah teknologi inti. Varietas padi seperti IR8 dan IR5, hasil rekayasa genetik tradisional, memiliki ciri khas batang pendek, responsif terhadap pupuk nitrogen, dan umur panen lebih singkat. Hal ini memungkinkan petani untuk menanam lebih sering (indeks pertanaman meningkat) dan mendapatkan hasil yang jauh lebih tinggi per hektar.
- Pupuk Kimia: Penggunaan pupuk anorganik (urea, TSP, KCl) secara terukur adalah pasangan tak terpisahkan dari VUB. Pupuk ini menyediakan nutrisi esensial yang dibutuhkan VUB untuk tumbuh optimal dan menghasilkan bulir padi yang banyak. Bimas secara masif mengedukasi petani tentang dosis dan waktu pemupukan yang tepat.
- Pestisida Kimia: Untuk melindungi investasi benih dan pupuk, pestisida diperkenalkan untuk mengendalikan hama dan penyakit. Meskipun efektif dalam jangka pendek, penggunaan berlebihan kemudian menimbulkan masalah lingkungan dan resistensi hama.
- Irigasi Teratur: VUB membutuhkan pasokan air yang konsisten dan terkelola dengan baik. Bimas, secara tidak langsung, mendorong perbaikan dan pengelolaan sistem irigasi untuk mendukung budidaya padi secara intensif.
Teknologi-teknologi ini, ketika diterapkan secara bersamaan, membentuk sebuah "paket teknologi" yang mengubah wajah pertanian Indonesia, beralih dari praktik subsisten ke pertanian yang lebih komersial dan intensif. Ini adalah fondasi teknologi awal yang dibangun Bimas.
2. Era Pengendalian Hama Terpadu (PHT): Teknologi Berkelanjutan
Seiring dengan munculnya masalah resistensi hama dan dampak lingkungan dari pestisida, teknologi Bimas beradaptasi. Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) menjadi pilar baru teknologi pertanian. PHT adalah filosofi yang mengintegrasikan berbagai metode pengendalian hama untuk menjaga populasi hama di bawah ambang batas ekonomi, dengan penekanan pada metode alami dan ramah lingkungan.
- Teknologi Non-kimia: Penggunaan musuh alami, varietas tahan hama, rotasi tanaman, sanitasi lahan, penanaman serempak, dan penggunaan perangkap feromon menjadi teknologi utama.
- Penggunaan Pestisida Selektif: Jika terpaksa, pestisida yang digunakan adalah yang selektif terhadap hama target dan memiliki dampak minimal pada organisme non-target.
- Monitoring dan Pengambilan Keputusan: PHT mendorong petani untuk memantau populasi hama dan penyakit secara teratur, serta membuat keputusan berdasarkan ambang batas ekonomi, bukan hanya aplikasi rutin.
PHT merupakan respons adaptif terhadap kritik Bimas dan menunjukkan evolusi pemikiran dalam teknologi pertanian, dari sekadar peningkatan produksi menuju keberlanjutan ekologis.
3. Mekanisasi Pertanian: Efisiensi Tenaga Kerja
Meskipun Bimas awalnya kurang fokus pada mekanisasi, seiring waktu, kebutuhan akan efisiensi tenaga kerja dan percepatan proses tanam-panen menjadi penting. Teknologi mekanisasi yang mulai diperkenalkan meliputi:
- Traktor Tangan: Untuk pengolahan lahan yang lebih cepat dan efisien dibandingkan kerbau atau cangkul.
- Pompa Air: Memastikan pasokan air yang lebih baik ke sawah, terutama di daerah tadah hujan atau ujung saluran irigasi.
- Mesin Perontok Padi: Menggantikan cara tradisional mengirik padi, mempercepat proses pascapanen.
- Transplanter (mesin tanam): Meskipun baru populer belakangan, gagasan untuk mempercepat penanaman sudah ada sejak lama.
Mekanisasi ini membantu mengatasi masalah kelangkaan tenaga kerja di pedesaan dan memungkinkan petani untuk mengelola lahan yang lebih luas atau melakukan tanam-panen lebih cepat, sehingga meningkatkan indeks pertanaman.
4. Bioteknologi dan Genomik: VUB Generasi Selanjutnya
Setelah era varietas IRRI, penelitian terus berlanjut. Ilmu pengetahuan tentang bioteknologi dan genomik mulai memainkan peran penting dalam pengembangan VUB generasi berikutnya. Teknologi ini memungkinkan peneliti untuk:
- Memperbaiki Karakteristik VUB: Mengembangkan varietas yang tidak hanya hasil tinggi tetapi juga tahan terhadap cekaman lingkungan (kekeringan, banjir, salinitas), tahan hama penyakit baru, serta memiliki kualitas gizi yang lebih baik (misalnya, padi dengan kandungan zat besi tinggi).
- Padi Hibrida: Pengembangan padi hibrida untuk peningkatan hasil yang lebih tinggi lagi, meskipun kadang dengan tantangan terkait ketersediaan benih setiap musim.
- Marka Molekuler: Mempercepat proses seleksi dalam pemuliaan tanaman untuk mendapatkan varietas unggul dengan sifat-sifat yang diinginkan secara lebih presisi.
Teknologi bioteknologi adalah evolusi alami dari semangat Bimas dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan produktivitas dan resiliensi pertanian.
5. Digitalisasi dan Pertanian Presisi: Era 4.0
Di era kontemporer, teknologi pertanian telah merambah ke ranah digital dan presisi. Ini adalah adaptasi modern dari semangat efisiensi dan optimasi Bimas.
- Sensor dan IoT (Internet of Things): Sensor tanah, sensor iklim mikro, dan perangkat IoT lainnya dapat memberikan data real-time tentang kondisi lahan dan tanaman.
- Drone dan Citra Satelit: Digunakan untuk pemetaan lahan, pemantauan pertumbuhan tanaman, deteksi dini hama penyakit, dan analisis kesuburan tanah.
- Sistem Informasi Geografis (SIG): Untuk pengelolaan lahan yang lebih efisien, penentuan zona pemupukan yang presisi, dan perencanaan irigasi.
- Aplikasi Pertanian dan Big Data: Aplikasi seluler yang memberikan informasi cuaca, harga pasar, rekomendasi budidaya, dan platform untuk jual beli hasil pertanian. Analisis data besar membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih akurat.
Teknologi-teknologi ini memungkinkan petani untuk mengelola lahan mereka dengan lebih cerdas, mengurangi penggunaan input (pupuk, air, pestisida) yang tidak perlu, dan meningkatkan efisiensi secara keseluruhan. Ini adalah Bimas versi abad ke-21, yang membawa presisi dan konektivitas ke sektor pertanian.
Secara keseluruhan, Bimas adalah pelopor dalam introduksi teknologi pertanian di Indonesia. Meskipun teknologi yang digunakannya telah berevolusi dan beradaptasi, semangat untuk terus berinovasi dan memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan pertanian tetap menjadi warisan abadi dari program ini.
Kesimpulan
Program Bimbingan Massal, atau Bimas, adalah salah satu tonggak terpenting dalam sejarah pembangunan pertanian Indonesia. Dari inisiasinya di tengah krisis pangan hingga pencapaian swasembada beras yang monumental, Bimas telah membuktikan bahwa dengan visi yang kuat, koordinasi yang solid, dan dukungan yang komprehensif, sektor pertanian mampu menjadi lokomotif kemajuan bangsa.
Bimas bukan sekadar program teknis; ia adalah sebuah gerakan sosial-ekonomi yang mentransformasi jutaan petani, memperkenalkan mereka pada dunia teknologi modern, akses permodalan, dan bimbingan yang terstruktur. Keberhasilannya dalam meningkatkan produksi padi secara drastis tidak hanya mengatasi masalah kelangkaan pangan, tetapi juga memberikan stabilitas politik dan ekonomi yang krusial bagi Indonesia di masa-masa awal pembangunannya. Swasembada beras pada pertengahan 1980-an adalah bukti nyata efektivitas pendekatan holistik Bimas.
Namun, seperti halnya program pembangunan berskala besar lainnya, Bimas juga datang dengan tantangan dan kritik. Ketergantungan pada input eksternal, dampak lingkungan dari penggunaan pupuk dan pestisida yang intensif, serta masalah keadilan dalam distribusi manfaat bagi petani kecil, menjadi pelajaran berharga yang membentuk evolusi kebijakan pertanian selanjutnya. Kritik-kritik ini mendorong adaptasi dan transformasi, melahirkan pendekatan-pendekatan baru seperti Pengendalian Hama Terpadu (PHT), diversifikasi pertanian, serta fokus pada keberlanjutan dan pertanian presisi di era digital saat ini.
Meskipun nama Bimas mungkin tidak lagi secara eksplisit digunakan, warisan dan semangatnya tetap relevan. Prinsip-prinsip inti Bimas—pentingnya inovasi teknologi, peran vital penyuluhan, akses terhadap permodalan dan input, serta koordinasi antarlembaga—terus menjadi fondasi bagi program-program ketahanan pangan di Indonesia. Bimas telah membuktikan bahwa investasi pada petani dan sektor pertanian adalah investasi pada masa depan bangsa.
Sebagai penutup, kisah Bimas adalah pengingat bahwa ketahanan pangan adalah perjalanan yang berkelanjutan, membutuhkan inovasi tiada henti, adaptasi terhadap tantangan baru, dan komitmen kuat untuk memberdayakan para pahlawan di garis depan: para petani. Dengan memahami Bimas, kita tidak hanya belajar tentang sejarah pertanian, tetapi juga tentang potensi luar biasa yang dimiliki Indonesia untuk mencapai kemandirian dan kemakmuran melalui sektor agrarisnya.