Memahami Bidaah: Panduan Lengkap dalam Islam

Ilustrasi Jalan Lurus dan Jalan Menyimpang Sebuah buku terbuka yang memancarkan cahaya terang di atas jalan lurus, sementara ada jalan lain yang gelap dan berliku menyimpang. Petunjuk Ilahi Jalan Sunnah Bidaah Bidaah
Ilustrasi: Jalan lurus yang diterangi oleh petunjuk Al-Qur'an dan Sunnah, dan jalan-jalan menyimpang yang gelap melambangkan bidaah.

Dalam ajaran Islam, kemurnian ajaran adalah inti dari kebenaran yang harus dijaga. Allah SWT telah menyempurnakan agama ini, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur'an Surat Al-Ma'idah ayat 3: "Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu jadi agama bagimu." Ayat ini menjadi landasan kuat bahwa Islam telah sempurna dan tidak memerlukan tambahan atau pengurangan.

Namun, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya peradaban, muncul berbagai praktik dan keyakinan baru yang tidak memiliki dasar dari Al-Qur'an maupun Sunnah Nabi Muhammad SAW. Praktik-praktik inilah yang dalam istilah syariat disebut sebagai bidaah. Memahami bidaah bukan hanya sekadar mengetahui definisinya, melainkan juga memahami akar masalahnya, dampaknya, serta bagaimana sikap seorang Muslim yang benar dalam menghadapi fenomena ini.

Artikel ini akan mengupas tuntas tentang bidaah, dimulai dari pengertiannya secara bahasa dan istilah syar'i, dalil-dalil yang melarangnya, berbagai macam klasifikasi bidaah, ciri-ciri yang membedakannya, hingga penyebab dan dampak negatif yang ditimbulkannya. Kita juga akan meninjau contoh-contoh bidaah yang sering dijumpai dalam masyarakat serta bagaimana membedakannya dengan inovasi dalam urusan dunia yang diperbolehkan. Tujuan utama dari pembahasan ini adalah untuk memberikan panduan yang komprehensif bagi setiap Muslim agar dapat senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam yang murni, sesuai dengan pemahaman para sahabat dan ulama salafus saleh.

1. Pengertian Bidaah: Bahasa dan Istilah Syar'i

1.1. Pengertian Bidaah Secara Bahasa (Lughawi)

Secara etimologi atau bahasa Arab, kata "bidaah" (بِدْعَةٌ) berasal dari akar kata "ba-da-'a" (بَدَعَ) yang berarti memulai, menciptakan, atau mengada-adakan sesuatu yang belum ada sebelumnya, tanpa ada contoh sebelumnya. Oleh karena itu, sesuatu yang "bid'ah" secara bahasa adalah sesuatu yang baru, inovasi, atau kreasi yang belum pernah ada presedennya.

Beberapa contoh penggunaan kata ini dalam Al-Qur'an menunjukkan makna asalnya:

Dari sini, jelas bahwa secara bahasa, bidaah memiliki makna netral. Sesuatu yang baru bisa jadi baik, bisa jadi buruk, tergantung konteksnya. Inovasi teknologi seperti mobil, pesawat, atau alat komunikasi modern adalah bid'ah secara bahasa, namun jelas bermanfaat dan diperbolehkan dalam Islam selama tidak melanggar syariat.

1.2. Pengertian Bidaah Secara Istilah Syar'i (Terminologi)

Ketika kata "bidaah" digunakan dalam konteks syariat Islam, maknanya menjadi sangat spesifik dan memiliki konotasi negatif. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah mendefinisikan bidaah syar'iyah sebagai:

"Sesuatu yang diada-adakan dalam urusan agama, yang tidak memiliki dasar (dalil) dari Al-Qur'an maupun Sunnah Rasulullah SAW, baik itu dalam bentuk keyakinan (i'tiqadiyah) maupun perbuatan (amaliyah), yang dianggap sebagai bagian dari ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah SWT."

Definisi ini mencakup beberapa poin penting:

Sebagai contoh, Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi tabi'in tidak pernah secara rutin merayakan ulang tahun kelahiran Nabi (Maulid Nabi). Jika seseorang mengada-adakan perayaan ini dengan keyakinan bahwa itu adalah ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah, padahal tidak ada dalil syar'i yang memerintahkannya atau mencontohkannya, maka itu termasuk bidaah.

Dengan demikian, kunci untuk memahami bidaah syar'iyah adalah dengan mengembalikannya kepada timbangan Al-Qur'an dan Sunnah. Segala sesuatu yang tidak memiliki sandaran dari keduanya, dan dikerjakan sebagai bagian dari agama, adalah bidaah.

2. Dalil-dalil Larangan Bidaah dalam Islam

Larangan terhadap bidaah bukan sekadar pandangan ulama, melainkan bersumber langsung dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dalil-dalil ini sangat jelas dan tegas, menunjukkan keseriusan masalah bidaah dalam Islam.

2.1. Dalil dari Al-Qur'an

Meskipun Al-Qur'an tidak secara eksplisit menggunakan kata "bidaah" dengan makna syar'i-nya, namun banyak ayat yang mengindikasikan larangan untuk mengada-adakan dalam agama dan perintah untuk mengikuti apa yang telah diturunkan:

  1. QS. Al-Ma'idah: 3 (Penyempurnaan Agama):

    "Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu jadi agama bagimu."

    Ayat ini turun di penghujung hayat Nabi SAW dan menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Jika agama sudah sempurna, maka tidak ada lagi ruang untuk menambah-nambahkan sesuatu yang dianggap sebagai bagian dari agama. Menambahkan praktik baru berarti menganggap agama belum sempurna atau kurang.

  2. QS. Asy-Syura: 21 (Larangan Menetapkan Syariat Baru):

    "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?"

    Ayat ini secara jelas mengecam pihak-pihak yang menetapkan syariat atau ajaran agama tanpa izin dari Allah. Mengada-adakan bidaah dalam ibadah pada hakikatnya adalah mengklaim adanya syariat baru yang tidak datang dari Allah.

  3. QS. Al-An'am: 153 (Perintah Mengikuti Jalan yang Lurus):

    "Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa."

    Ayat ini memerintahkan untuk berpegang teguh pada satu jalan yang lurus (siratul mustaqim) yang telah ditetapkan Allah, dan melarang mengikuti jalan-jalan lain yang bisa menyimpang dan menyebabkan perpecahan. Bidaah adalah salah satu jalan yang menyimpang dari jalan yang lurus tersebut.

2.2. Dalil dari Sunnah Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad SAW secara langsung dan tegas melarang bidaah dalam banyak sabda beliau. Ini menunjukkan betapa seriusnya masalah ini dalam pandangan syariat:

  1. Hadits Aisyah RA (Paling Fundamental):

    Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

    "Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami (agama kami) ini sesuatu yang bukan darinya, maka ia tertolak."

    (HR. Bukhari dan Muslim)

    Dalam riwayat lain yang juga disebutkan oleh Imam Muslim:

    "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami padanya, maka ia tertolak."

    Hadits ini adalah pondasi utama dalam menolak bidaah. Ia menetapkan prinsip bahwa setiap amalan ibadah harus memiliki dasar dari syariat. Jika tidak, maka amalan itu batal dan tidak diterima oleh Allah SWT, bahkan jika niat pelakunya baik.

  2. Hadits Irbadh bin Sariyah RA (Larangan Perkara Baru):

    Dari Irbadh bin Sariyah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang meneteskan air mata dan menggetarkan hati.

    Maka kami berkata: "Wahai Rasulullah, seolah-olah ini adalah nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat."

    Beliau bersabda:

    "Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada pemimpin) meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena sesungguhnya barangsiapa hidup di antara kalian maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafa'ur Rasyidin setelahku. Gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bidaah, dan setiap bidaah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka."

    (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani)

    Hadits ini sangat gamblang dalam menjelaskan bahaya bidaah. Nabi SAW secara eksplisit menyatakan bahwa setiap perkara baru dalam agama adalah bidaah, setiap bidaah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. Ini adalah peringatan yang sangat keras dan tidak memberikan ruang interpretasi untuk "bidaah hasanah" (bidaah baik) dalam konteks syar'i.

  3. Hadits Jabir bin Abdullah RA (Khutbatul Hajah):

    Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berkhutbah, beliau bersabda:

    "Amma ba'du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur'an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap perkara yang diada-adakan adalah bidaah, dan setiap bidaah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka."

    (HR. Muslim)

    Hadits ini mengulang penegasan tentang kesesatan setiap bidaah, menunjukkan konsistensi ajaran Nabi SAW dalam masalah ini.

Dari dalil-dalil di atas, dapat disimpulkan bahwa larangan bidaah adalah prinsip fundamental dalam Islam. Ia bertujuan untuk menjaga kemurnian agama, melindungi umat dari penyimpangan, dan memastikan bahwa ibadah yang dilakukan sesuai dengan apa yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Melakukan bidaah berarti menolak kesempurnaan agama dan menempatkan diri pada jalur yang menyimpang dari Sunnah Nabi.

3. Klasifikasi dan Macam-macam Bidaah

Untuk memahami bidaah secara lebih mendalam, penting untuk mengetahui klasifikasi dan macam-macamnya. Para ulama telah membagi bidaah menjadi beberapa jenis berdasarkan aspek-aspek tertentu. Pembagian ini membantu kita mengenali bentuk-bentuk bidaah yang mungkin tidak tampak secara langsung.

3.1. Pembagian Bidaah Berdasarkan Hukumnya

Dalam konteks syariat, mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah berpendapat bahwa semua bidaah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan hadits Nabi "setiap bidaah adalah sesat." Namun, ada sebagian kecil ulama (terutama dari kalangan muta'akhirin, seperti Al-Izz bin Abdussalam dan Imam Asy-Syatibi dengan interpretasi yang berbeda) yang mencoba mengklasifikasikan bidaah menjadi "hasanah" (baik) dan "sayyi'ah" (buruk).

3.1.1. Bidaah Hasanah dan Bidaah Sayyi'ah (Pandangan yang Perlu Diluruskan)

Pandangan tentang "bidaah hasanah" ini muncul dari interpretasi yang longgar terhadap makna "bidaah" secara bahasa, kemudian diterapkan pada beberapa inovasi yang secara lahiriah tampak baik, seperti pembukuan Al-Qur'an, pembangunan menara masjid, atau penggunaan tanda baca dalam mushaf. Namun, para ulama salaf dan mayoritas ulama berpendapat bahwa inovasi-inovasi tersebut sesungguhnya bukanlah bidaah syar'iyah, melainkan termasuk dalam kategori:

Oleh karena itu, hadits Nabi yang menyebutkan "setiap bidaah adalah sesat" tetap menjadi pegangan. Tidak ada bidaah yang baik dalam urusan agama. Ketika Nabi SAW menggunakan kata "setiap" (كل), itu berarti cakupannya umum dan menyeluruh.

3.2. Pembagian Bidaah Berdasarkan Bentuknya (Al-Imam Asy-Syatibi)

Al-Imam Asy-Syatibi, dalam kitabnya Al-I'tisham, mengklasifikasikan bidaah menjadi dua jenis utama, yang sangat membantu dalam mengidentifikasi praktik bidaah:

3.2.1. Bidaah Haqiqiyah (Bidaah Murni)

Ini adalah jenis bidaah yang tidak memiliki dasar sama sekali dalam syariat, baik secara khusus maupun umum. Amalan atau keyakinan ini benar-benar baru dan tidak dikenal dalam Al-Qur'an, Sunnah, atau praktik para sahabat. Bidaah haqiqiyah bisa terjadi dalam beberapa aspek:

3.2.2. Bidaah Idhafiyah (Bidaah Tambahan/Keterkaitan)

Jenis bidaah ini adalah amalan yang asalnya adalah syariat (sunnah), namun ditambahi, diubah, atau dikhususkan dengan cara, waktu, tempat, atau jumlah tertentu yang tidak diajarkan oleh syariat. Jadi, ia "menjadi" bidaah karena keterkaitannya dengan sesuatu yang tidak ada dalilnya. Ini lebih halus dan seringkali sulit dikenali oleh orang awam.

Bidaah idhafiyah seringkali lebih berbahaya karena ia memiliki "akar" sunnah, sehingga orang merasa tidak bersalah melakukannya, bahkan menganggapnya sebagai kebaikan. Namun, penambahan atau perubahan pada Sunnah itulah yang menjadikannya bidaah.

3.3. Pembagian Bidaah Berdasarkan Sasaran atau Objeknya

Bidaah juga bisa diklasifikasikan berdasarkan sasaran atau objek yang dikenai perubahan atau penambahan:

Dengan memahami klasifikasi ini, seorang Muslim diharapkan lebih cermat dalam memilah mana yang merupakan ajaran asli Islam dan mana yang merupakan tambahan atau perubahan yang tidak memiliki dasar syar'i. Tujuan akhirnya adalah menjaga kemurnian agama dan mengikuti jejak Rasulullah SAW.

4. Ciri-ciri Umum Bidaah

Mengenali bidaah tidak selalu mudah karena terkadang ia dibalut dengan niat baik atau amalan yang tampak mulia. Namun, ada beberapa ciri umum yang dapat membantu seorang Muslim dalam mengidentifikasi apakah suatu amalan atau keyakinan termasuk bidaah atau bukan. Ciri-ciri ini merupakan penjabaran dari definisi bidaah itu sendiri:

4.1. Tidak Memiliki Dalil Syar'i Khusus maupun Umum

Ini adalah ciri yang paling fundamental. Setiap ibadah dalam Islam harus didasarkan pada dalil dari Al-Qur'an atau Sunnah yang sahih. Jika suatu amalan dilakukan sebagai ibadah, namun tidak ada satu pun dalil yang mendukungnya, baik secara langsung (spesifik) maupun tidak langsung (umum), maka ia patut dicurigai sebagai bidaah. Dalil di sini tidak hanya ayat atau hadits eksplisit, tetapi juga ijma' (konsensus ulama) para sahabat, atau qiyas (analogi) yang sahih.

Contoh: Pengkhususan zikir dengan jumlah tertentu pada waktu tertentu yang tidak ada dalam Sunnah. Meskipun zikir itu sendiri adalah ibadah, pengkhususan tersebut menjadi bidaah jika tanpa dalil.

4.2. Menyerupai Syariat tetapi Berbeda Inti atau Detail

Bidaah seringkali memiliki kemiripan dengan amalan syar'i, namun terdapat perbedaan pada rukun, syarat, waktu, tempat, jumlah, atau tata caranya. Ini yang membuatnya menjadi "bid'ah idhafiyah" (tambahan) dan seringkali sulit dibedakan oleh orang awam.

Contoh: Shalat Istisqa' (minta hujan) adalah syariat, tetapi jika ada yang mengada-adakan shalat lain untuk tujuan selain minta hujan dengan tata cara yang sama, itu menjadi bidaah. Atau, berzikir adalah sunnah, tetapi berzikir dengan irama, gerakan, atau suara keras berjamaah yang tidak diajarkan Nabi adalah bidaah.

4.3. Berlebihan dalam Beragama (Ghuluw)

Islam adalah agama yang moderat dan seimbang. Nabi SAW telah memperingatkan dari sikap berlebihan (ghuluw) dalam beragama. Bidaah seringkali muncul dari sikap ghuluw, yaitu keinginan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang tidak disyariatkan, atau dengan meyakini bahwa amalan tertentu lebih baik dari Sunnah Nabi.

Contoh: Mengkhususkan puasa setiap hari tanpa henti, atau berdiri shalat sepanjang malam tanpa tidur sama sekali, padahal Nabi SAW telah mencontohkan keseimbangan dalam ibadah. Ghuluw bisa juga dalam keyakinan, seperti meyakini bahwa seseorang tidak perlu mengikuti syariat lahiriah karena sudah mencapai tingkat makrifat tertentu.

4.4. Mengkhususkan Waktu, Tempat, atau Jumlah yang Tidak Dikhususkan Syariat

Banyak amalan syar'i yang bersifat umum. Bidaah seringkali muncul ketika seseorang mengkhususkan waktu, tempat, atau jumlah tertentu untuk amalan tersebut tanpa ada dalil. Pengkhususan ini memberikan kesan bahwa amalan tersebut lebih utama jika dilakukan pada waktu/tempat/jumlah tersebut.

Contoh: Ziarah kubur adalah sunnah, tetapi mengkhususkan ziarah kubur wali setiap malam Jumat Kliwon, atau mengkhususkan membaca Surah Yasin di kuburan pada malam tertentu tanpa dalil, adalah bidaah. Atau, mengkhususkan bacaan Al-Fatihah dengan jumlah tertentu sebagai "ijazah" tertentu.

4.5. Menganggap Sunnah sebagai Bidaah dan Bidaah sebagai Sunnah

Ini adalah efek paling berbahaya dari bidaah. Ketika bidaah telah mengakar kuat dalam masyarakat, seringkali praktik Sunnah yang murni justru dianggap aneh, bid'ah, atau "Wahabi". Sebaliknya, praktik bidaah justru dipertahankan mati-matian dan dianggap sebagai bagian integral dari agama.

Contoh: Seseorang yang menjalankan Sunnah Rasulullah SAW dengan cara yang murni, seperti tidak melafazkan niat shalat atau tidak berzikir berjamaah dengan suara keras, justru dicela atau dianggap melenceng, sementara pelaku bidaah merasa merekalah yang paling benar.

4.6. Menambah-nambah dalam Tata Cara Ibadah

Ibadah dalam Islam bersifat tauqifiyah, artinya tata caranya sudah baku dan ditetapkan oleh syariat. Menambah atau mengurangi tata cara ibadah yang sudah ada adalah bentuk bidaah. Sekecil apapun penambahan tersebut.

Contoh: Menambah rakaat pada shalat wajib, atau menambahkan doa-doa tertentu pada rukun shalat yang tidak dicontohkan Nabi, atau menambahkan gerakan pada suatu zikir.

Dengan memahami ciri-ciri ini, seorang Muslim diharapkan memiliki filter yang kuat dalam menerima atau melakukan suatu amalan keagamaan. Kuncinya adalah selalu bertanya: "Apakah amalan ini ada dasarnya dari Al-Qur'an dan Sunnah sesuai pemahaman salafus saleh?" Jika tidak, maka sangat mungkin itu adalah bidaah yang harus dihindari.

5. Penyebab Munculnya Bidaah

Bidaah tidak muncul begitu saja, melainkan memiliki akar penyebab yang kompleks, baik dari faktor internal individu maupun faktor eksternal masyarakat. Memahami penyebab ini penting untuk mencegah penyebarannya dan untuk memberikan nasihat dengan bijaksana.

5.1. Kebodohan terhadap Sunnah dan Ilmu Agama yang Sahih

Ini adalah penyebab utama dan paling mendasar. Ketika seseorang atau masyarakat jauh dari ilmu agama yang murni, mereka rentan terhadap praktik-praktik baru yang tidak sesuai syariat. Kurangnya pemahaman tentang Al-Qur'an dan Sunnah serta metodologi pemahaman agama (manhaj) yang benar, membuat mereka mudah terpengaruh oleh hal-hal baru yang dibalut label agama.

Banyak orang melakukan bidaah karena ketidaktahuan bahwa amalan tersebut tidak memiliki dasar syar'i. Mereka mungkin hanya mengikuti tradisi nenek moyang atau guru-guru mereka tanpa pernah memeriksa keabsahannya.

5.2. Mengikuti Hawa Nafsu dan Fanatisme Kelompok/Mazhab

Sebagian orang enggan mengikuti Sunnah yang sahih karena berpegang pada hawa nafsunya atau fanatisme terhadap kelompok, madzhab, atau tokoh tertentu. Mereka lebih memilih apa yang "terasa enak" atau "terlihat ramai" daripada apa yang sesuai dalil. Fanatisme buta terhadap suatu kelompok bisa menyebabkan mereka menolak kebenaran meskipun telah ditunjukkan dalilnya, demi mempertahankan identitas kelompok atau menghormati figur yang diagungkan.

Sikap ini membuat mereka cenderung mengikuti tradisi yang telah ada meskipun bertentangan dengan Sunnah, dan menolak ajakan kembali kepada kemurnian agama.

5.3. Berlebihan dalam Beragama (Ghuluw)

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, ghuluw atau sikap ekstrem dalam agama seringkali menjadi pintu masuk bidaah. Orang-orang yang berlebihan ingin mencapai derajat kesalehan yang tinggi dengan cara-cara yang tidak dicontohkan Nabi. Mereka merasa bahwa ibadah yang disyariatkan belum cukup, sehingga perlu ditambahkan atau dilebih-lebihkan agar lebih mendekatkan diri kepada Allah.

Contoh: Mengadakan ritual-ritual yang berat atau aneh, dengan keyakinan bahwa semakin sulit ritualnya, semakin tinggi pahalanya, padahal Nabi SAW telah memperingatkan untuk tidak memberat-beratkan diri.

5.4. Menyerupai Kaum Non-Muslim (Tasyabbuh bil Kuffar)

Islam melarang umatnya untuk menyerupai kaum non-Muslim dalam hal-hal yang menjadi ciri khas agama atau budaya mereka, terutama dalam konteks ibadah dan perayaan keagamaan. Banyak bidaah muncul karena kaum Muslimin meniru tradisi atau ritual agama lain, kemudian mengadaptasinya ke dalam Islam dengan sedikit perubahan.

Contoh: Perayaan maulid Nabi seringkali dikaitkan dengan tradisi perayaan hari ulang tahun tokoh-tokoh agama lain. Atau kebiasaan menyalakan lilin dan dupa pada acara keagamaan tertentu yang mirip dengan ritual agama lain.

5.5. Lemahnya Iman dan Taklid Buta

Ketika iman seseorang lemah, ia cenderung mencari hal-hal yang instan, mistis, atau sensasional dalam agama. Mereka mudah percaya pada cerita-cerita karamah yang berlebihan, mimpi-mimpi yang dianggap petunjuk, atau ramalan-ramalan yang tidak ada dasarnya. Ini seringkali mengarah pada praktik-praktik bidaah yang berbau klenik atau khurafat.

Taklid buta, yaitu mengikuti tanpa bertanya atau mencari tahu dalilnya, juga menjadi penyebab. Orang awam yang hanya mengikuti apa kata tokoh masyarakat atau ulama lokal tanpa memeriksa kebenarannya, akan mudah terjerumus dalam bidaah jika tokoh tersebut mengajarkan hal yang keliru.

5.6. Mencari Popularitas atau Kedudukan

Sebagian kecil penyebab bidaah juga bisa berasal dari motif duniawi, seperti mencari popularitas, pengikut, atau kedudukan. Dengan menciptakan atau menghidupkan praktik-praktik baru yang menarik perhatian, seseorang bisa menarik massa dan mendapatkan pengikut. Hal ini seringkali terjadi pada kelompok-kelompok tarekat atau ajaran sesat yang mengklaim memiliki "jalan khusus" menuju Allah.

5.7. Keinginan untuk Menambah Pahala dan Berbuat Baik

Yang menarik, tidak semua pelaku bidaah memiliki niat buruk. Banyak di antara mereka yang sebenarnya memiliki niat baik untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Mereka ingin mendapatkan pahala yang lebih besar, namun karena ketidaktahuan, mereka menempuh jalan yang salah. Niat baik saja tidak cukup, ia harus disertai dengan cara yang benar sesuai syariat. Rasulullah SAW bersabda, "Berapa banyak orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga, dan berapa banyak orang yang shalat malam namun tidak mendapatkan apa-apa dari shalat malamnya kecuali begadang." (HR. An-Nasa'i). Ini menunjukkan bahwa amalan yang niatnya baik pun bisa sia-sia jika tidak sesuai tuntunan.

Dengan mengenali berbagai penyebab ini, umat Muslim dapat lebih berhati-hati dan kritis dalam menerima ajaran atau amalan baru. Penting untuk senantiasa kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman yang benar agar terhindar dari jerat bidaah.

6. Dampak Negatif Bidaah terhadap Agama dan Umat

Bidaah bukanlah perkara sepele dalam Islam. Dalil-dalil yang sangat tegas dari Al-Qur'an dan Sunnah menunjukkan bahwa bidaah memiliki dampak yang sangat serius, tidak hanya bagi pelakunya tetapi juga bagi kemurnian agama dan persatuan umat secara keseluruhan.

6.1. Amalan Tertolak dan Sia-sia

Dampak paling fatal dari bidaah adalah bahwa amalan tersebut tertolak di sisi Allah SWT. Hadits Aisyah RA secara gamblang menyatakan: "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami padanya, maka ia tertolak." Ini berarti, meskipun seseorang beramal dengan niat baik dan bersusah payah, jika amalan tersebut adalah bidaah, maka tidak ada pahala yang didapatkan, bahkan bisa menjadi dosa. Ini adalah kerugian yang sangat besar bagi seorang Muslim yang tulus ingin beribadah.

6.2. Menghapus Sunnah dan Memudarkan Kemurnian Ajaran

Salah satu dampak tersembunyi namun sangat berbahaya dari bidaah adalah kemampuannya untuk secara perlahan menghapus Sunnah Nabi SAW. Setiap kali sebuah bidaah dihidupkan, sebuah Sunnah akan mati atau ditinggalkan. Mengapa demikian? Karena waktu, tenaga, dan perhatian yang seharusnya dicurahkan untuk menghidupkan Sunnah akan beralih kepada praktik bidaah. Selain itu, bidaah seringkali menggantikan Sunnah yang lebih sederhana dan murni dengan praktik yang lebih rumit, seremonial, atau menarik perhatian, sehingga Sunnah yang asli menjadi terlupakan.

6.3. Menyebabkan Perpecahan dan Perselisihan Umat

Bidaah adalah salah satu penyebab utama perpecahan di kalangan umat Islam. Ketika setiap kelompok atau individu mengada-adakan praktik ibadah atau keyakinan baru, ia menciptakan perbedaan yang tidak disyariatkan. Perbedaan ini seringkali berujung pada saling tuding, permusuhan, dan terpecahnya barisan kaum Muslimin, padahal Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan untuk bersatu di atas tali Allah dan Sunnah Rasul-Nya.

Hadits tentang firqah (golongan) yang selamat juga mengisyaratkan hal ini, di mana Nabi SAW menyebutkan bahwa umatnya akan terpecah menjadi banyak golongan, dan hanya satu yang selamat, yaitu yang mengikuti Sunnah Nabi dan para sahabat.

6.4. Menganggap Agama Tidak Sempurna dan Mendahului Syariat

Secara tidak langsung, pelaku bidaah seolah-olah menganggap Islam belum sempurna, sehingga perlu adanya tambahan atau perbaikan. Padahal Al-Qur'an telah menegaskan kesempurnaan agama ini (QS. Al-Ma'idah: 3). Sikap ini adalah bentuk lancang terhadap syariat Allah, seolah-olah manusia lebih tahu apa yang baik untuk ibadah daripada Allah dan Rasul-Nya.

Bidaah juga berarti mendahului syariat, yaitu menetapkan hukum atau tata cara ibadah sebelum ada petunjuk dari syariat. Ini bertentangan dengan firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya..." (QS. Al-Hujurat: 1).

6.5. Menjauhkan dari Allah dan Membawa kepada Kesesatan

Nabi Muhammad SAW secara tegas bersabda, "Setiap bidaah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka." Ini adalah peringatan yang sangat serius. Bidaah, pada hakikatnya, adalah langkah menuju kesesatan yang lebih besar. Meskipun niatnya baik, ia menjauhkan seseorang dari jalan yang lurus yang telah ditetapkan Allah, dan justru mengarahkannya pada konsekuensi buruk di akhirat.

6.6. Mengunci Pintu Ijtihad yang Benar

Beberapa bentuk bidaah juga bisa mengunci pintu ijtihad yang benar. Ijtihad diperlukan untuk menjawab masalah-masalah kontemporer berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang ada. Namun, ketika bidaah yang tidak ada dasarnya diterima sebagai bagian dari agama, hal itu dapat menciptakan kekakuan dan menghambat pemikiran Islam yang progresif namun tetap berada dalam koridor syariat.

6.7. Memicu Timbulnya Khurafat dan Kesyirikan

Bidaah seringkali menjadi jembatan menuju khurafat (takhayul) dan bahkan kesyirikan. Misalnya, praktik-praktik bidaah yang mengagungkan kuburan orang saleh, meminta-minta kepada mereka, atau meyakini kekuatan gaib pada benda-benda tertentu, pada akhirnya bisa mengarah pada kesyirikan yang paling besar, yaitu menyekutukan Allah.

Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: "Bidaah itu bermula dari hal-hal kecil, namun jika tidak dihentikan, akan terus bertambah besar hingga akhirnya sulit untuk dihentikan."

Dengan demikian, sangat penting bagi setiap Muslim untuk mewaspadai dan menjauhi bidaah. Bukan hanya demi keselamatan dirinya di akhirat, tetapi juga demi menjaga kemurnian dan kesatuan umat Islam agar tetap teguh di atas Sunnah Rasulullah SAW.

7. Contoh-contoh Bidaah yang Sering Ditemui

Mengenali bidaah dalam teori saja tidak cukup; penting juga untuk mengetahui contoh-contoh praktisnya yang sering ditemukan dalam masyarakat. Ini akan membantu kita dalam memilah mana yang sesuai Sunnah dan mana yang tidak.

7.1. Bidaah dalam Bidang Ibadah Umum

  1. Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW:

    Merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW setiap tahun, lengkap dengan upacara, pengajian, ceramah, dan syukuran khusus, adalah salah satu bidaah yang paling populer. Meskipun niatnya untuk memuliakan Nabi, praktik ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi sendiri, para sahabat, tabi'in, maupun tabi'ut tabi'in. Perayaan ini baru muncul beberapa abad setelah wafatnya Nabi, dipelopori oleh Dinasti Fatimiyah (Syiah) dan kemudian dihidupkan oleh penguasa lain. Islam mengajarkan memuliakan Nabi dengan mengikuti Sunnahnya, bukan dengan perayaan yang tidak ada dasarnya.

  2. Tahlilan dan Kenduri Kematian:

    Mengadakan acara selamatan (kenduri) pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, atau ke-1000 setelah kematian seseorang, dengan membaca tahlil (gabungan zikir, doa, dan bacaan Al-Qur'an) secara berjamaah, kemudian diakhiri dengan makan-makan, adalah bidaah. Meskipun membaca Al-Qur'an, zikir, dan doa adalah ibadah, namun mengkhususkan tata cara, waktu, dan tempat seperti ini setelah kematian tanpa dalil syar'i adalah bidaah. Nabi SAW dan para sahabat tidak pernah mencontohkannya. Sunnah bagi mayit adalah mendoakannya dan beristighfar baginya.

  3. Melafazkan Niat Shalat Secara Keras atau Berjamaah:

    Niat tempatnya di hati. Melafazkan niat (seperti "Ushalli fardhaz-zuhri arba'a raka'atin mustaqbilal qiblati adaa'an lillahi ta'ala") secara keras atau berjamaah sebelum shalat, padahal Nabi SAW tidak pernah melafazkan niatnya dengan lisan, adalah bidaah. Cukup dengan ada keinginan dalam hati untuk melakukan shalat tertentu.

  4. Zikir Berjamaah dengan Suara Keras dan Irama Tertentu:

    Zikir adalah amalan mulia, tetapi tata caranya harus sesuai Sunnah. Berzikir secara berjamaah dengan suara keras, dipimpin oleh seorang "khatib zikir", dengan irama atau gerakan tertentu, adalah bidaah. Zikir yang dicontohkan Nabi SAW umumnya dilakukan secara sendiri-sendiri, dengan suara pelan atau dalam hati, kecuali pada kondisi tertentu yang ada tuntunannya.

  5. Mengkhususkan Ibadah di Malam Nisfu Sya'ban:

    Keyakinan bahwa malam Nisfu Sya'ban adalah malam yang sangat mulia dan harus diisi dengan shalat, puasa, atau doa khusus secara berjamaah, adalah bidaah. Meskipun ada beberapa hadits tentang keutamaan malam ini, namun sebagian besar dinilai lemah (dhaif) oleh para ulama hadits, dan tidak ada satupun riwayat yang sahih yang menunjukkan Nabi SAW atau para sahabat mengkhususkan ibadah tertentu pada malam itu.

  6. Qunut Nazilah yang Disalahgunakan:

    Qunut nazilah adalah doa qunut yang dibaca saat ada musibah besar yang menimpa umat Islam, biasanya dilakukan dalam shalat fardhu. Namun, jika qunut nazilah dibaca pada setiap shalat wajib secara rutin tanpa ada musibah khusus, atau dibaca di luar konteks yang dicontohkan, maka ia bisa menjadi bidaah.

7.2. Bidaah dalam Bidang Keyakinan (I'tiqadiyah)

  1. Keyakinan tentang Wali atau Orang Saleh yang Melebihi Batas:

    Mengimani bahwa para wali atau orang saleh yang telah meninggal memiliki kekuatan gaib untuk menolong, mengabulkan doa, atau mengetahui perkara gaib, adalah bidaah yang bisa menjurus pada kesyirikan. Pertolongan hanya datang dari Allah, dan hanya Allah yang mengetahui perkara gaib.

  2. Mengagungkan Kuburan secara Berlebihan:

    Membangun kubah di atas kuburan, menjadikannya tempat ibadah, shalat di sana, thawaf di sekelilingnya, atau mencium nisan, adalah bidaah yang berpotensi syirik. Nabi SAW melarang keras hal ini karena merupakan jalan menuju penyembahan kubur.

  3. Keyakinan akan Adanya "Tariqat Khusus" yang Melebihi Syariat:

    Beberapa kelompok sufi meyakini adanya "tariqat" atau jalan khusus yang lebih tinggi dari syariat, yang memungkinkan mereka mencapai tingkatan spiritual tertentu sehingga tidak lagi terikat pada hukum-hukum syariat lahiriah. Ini adalah bidaah aqidah yang sangat berbahaya dan sesat.

7.3. Bidaah dalam Bidang Sosial dan Adat yang Dibalut Agama

  1. Upacara Adat yang Dicampur dengan Ibadah Islam:

    Banyak tradisi atau upacara adat lokal yang kemudian disisipi dengan bacaan doa-doa Islam, tahlil, atau zikir, sehingga terkesan menjadi bagian dari syariat. Contoh: Melarung sesajen ke laut atau gunung dengan diiringi doa-doa Islam. Ini adalah bidaah dan bisa menjurus pada kesyirikan karena mengagungkan selain Allah.

  2. Mempercayai Hari Nahas atau Angka Sial:

    Meskipun bukan ibadah ritual, mempercayai hari-hari tertentu (misalnya Selasa Kliwon, Jumat Wage) sebagai hari sial atau membawa keberuntungan untuk memulai sesuatu, adalah bidaah keyakinan yang bertentangan dengan tauhid. Semua hari adalah milik Allah, dan kebaikan serta keburukan datang dari-Nya.

Daftar ini hanyalah sebagian kecil dari contoh bidaah yang ada. Penting untuk dicatat bahwa tidak semua praktik yang berbeda dari Sunnah adalah bidaah. Beberapa mungkin termasuk masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) yang masih memiliki dalil, atau masalah ijtihadiyah yang para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Namun, yang disebut bidaah adalah yang sama sekali tidak memiliki dasar syar'i.

Kuncinya adalah selalu mengembalikan setiap amalan kepada Al-Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman yang benar, dan menghindari apa pun yang tidak memiliki jejak dari generasi terbaik umat ini.

8. Membedakan Bidaah dengan Maslahah Mursalah dan Inovasi Duniawi

Salah satu tantangan dalam memahami bidaah adalah membedakannya dengan inovasi yang diperbolehkan dalam Islam. Tidak semua hal baru itu bidaah. Ada "kebaruan" yang masuk kategori Maslahah Mursalah dan ada pula inovasi dalam urusan dunia. Memahami perbedaan ini adalah kunci untuk tidak terjerumus pada sikap ekstrem, baik terlalu mudah menuduh orang lain bid'ah (ghuluw dalam Sunnah) maupun terlalu permisif terhadap bidaah.

8.1. Maslahah Mursalah

Maslahah Mursalah adalah suatu kemaslahatan (kebaikan atau manfaat) yang tidak ada dalil khusus yang memerintahkannya maupun melarangnya, namun sejalan dengan tujuan-tujuan syariat (maqashid syar'iyah). Ini biasanya diterapkan pada hal-hal yang menjadi sarana atau alat untuk mendukung pelaksanaan syariat, bukan pada ibadah itu sendiri.

Karakteristik Maslahah Mursalah:

Contoh-contoh Maslahah Mursalah:

Perlu dicatat bahwa Maslahah Mursalah harus benar-benar membawa kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan syariat sama sekali. Penerapannya juga harus melalui pertimbangan ulama yang mendalam.

8.2. Inovasi dalam Urusan Duniawi (Al-Umur Ad-Dunyawiyah)

Inovasi dalam urusan duniawi adalah penciptaan atau pengembangan hal-hal baru yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, teknologi, ekonomi, pemerintahan, dan lain-lain, yang tidak terkait langsung dengan ibadah ritual. Dalam prinsip fiqh, "asal dalam muamalah adalah boleh (mubah) sampai ada dalil yang melarangnya". Ini kebalikan dari prinsip ibadah, yaitu "asal dalam ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkannya."

Karakteristik Inovasi Duniawi:

Contoh-contoh Inovasi Duniawi:

Jadi, inovasi dalam keduniaan itu diperbolehkan dan bahkan dianjurkan jika mendatangkan kemaslahatan, karena ia tidak dikerjakan dalam rangka ibadah ritual.

8.3. Perbedaan Kunci Antara Bidaah, Maslahah Mursalah, dan Inovasi Duniawi

Inti perbedaannya terletak pada ruang lingkup dan dalil:

Sikap yang benar adalah mengikuti apa yang telah ditetapkan dalam ibadah, menggunakan maslahah mursalah untuk mendukungnya, dan memanfaatkan inovasi duniawi untuk kemajuan, semuanya dalam koridor syariat. Ini adalah keseimbangan yang ditunjukkan oleh agama Islam.

9. Peran Ulama dan Sikap Muslim terhadap Bidaah

Peran ulama dalam menjelaskan dan memberantas bidaah sangat krusial, dan setiap Muslim juga memiliki tanggung jawab dalam menjaga kemurnian agama. Memahami peran dan sikap yang benar adalah bagian penting dari upaya ini.

9.1. Peran Ulama dalam Memberantas Bidaah

Ulama adalah pewaris para nabi, dan tanggung jawab mereka sangat besar dalam membimbing umat. Terkait bidaah, peran ulama mencakup:

  1. Mengajarkan Ilmu Agama yang Sahih:

    Ulama harus gencar mengajarkan Al-Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman yang benar, sebagaimana dipahami oleh para sahabat dan ulama salaf. Dengan menyebarkan ilmu yang murni, umat akan memiliki benteng pertahanan dari bidaah.

  2. Menjelaskan Sunnah secara Komprehensif:

    Menjelaskan Sunnah Nabi SAW secara detail, baik dari segi akidah, ibadah, maupun akhlak. Dengan umat mengetahui Sunnah yang benar, mereka akan dapat membedakan mana yang Sunnah dan mana yang bukan.

  3. Membantah Bidaah dengan Dalil dan Hikmah:

    Ulama memiliki tugas untuk menjelaskan kesesatan bidaah dengan dalil-dalil yang kuat dari Al-Qur'an dan Sunnah, serta menggunakan hikmah dan nasihat yang baik. Pendekatan yang bijaksana akan lebih diterima oleh masyarakat.

  4. Menulis Buku dan Karya Ilmiah:

    Menyusun karya tulis, kitab, atau artikel yang mengupas tuntas tentang bidaah, dalil-dalil penolakannya, dan contoh-contohnya. Karya-karya ulama seperti Imam Asy-Syatibi dengan Al-I'tisham-nya adalah contoh terbaik dalam hal ini.

  5. Menjadi Teladan dalam Mengikuti Sunnah:

    Ulama harus menjadi contoh nyata bagi umat dalam mengamalkan Sunnah dan menjauhi bidaah. Perilaku dan praktik mereka harus konsisten dengan ajaran yang mereka sampaikan.

  6. Memberikan Fatwa yang Jelas dan Tegas:

    Ketika ditanya tentang suatu amalan yang diragukan, ulama harus memberikan fatwa berdasarkan dalil syar'i, menjelaskan apakah amalan tersebut Sunnah atau bidaah, tanpa takut celaan atau tekanan.

9.2. Sikap Muslim Terhadap Bidaah dan Pelakunya

Bagi setiap Muslim, ada beberapa sikap yang harus dimiliki terkait bidaah:

  1. Mempelajari Ilmu Agama yang Sahih:

    Setiap Muslim wajib berusaha untuk mempelajari agama dari sumber-sumber yang sahih, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah, dengan pemahaman para ulama yang terpercaya. Ini adalah benteng utama dari bidaah.

  2. Berpegang Teguh pada Sunnah dan Menjauhinya:

    Konsisten dalam mengamalkan Sunnah Nabi SAW dan menjauhi segala bentuk bidaah. Jangan terpengaruh oleh jumlah orang yang melakukan bidaah atau klaim bahwa itu adalah "tradisi baik". Kebenaran tidak diukur dari banyaknya pengikut, melainkan dari kesesuaian dengan dalil.

  3. Nasihat dengan Hikmah dan Lembut:

    Jika melihat orang lain melakukan bidaah, nasihatilah dengan cara yang baik, lembut, dan bijaksana. Jelaskan dalil-dalil dengan sabar, tanpa merendahkan atau mencela personal. Niatkan untuk menyelamatkan saudara Muslim, bukan untuk menghakimi.

    Allah berfirman, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." (QS. An-Nahl: 125).

  4. Tidak Terburu-buru Menghukumi:

    Sebelum menghukumi suatu amalan sebagai bidaah, pastikan bahwa kita memiliki ilmu yang cukup. Beberapa masalah mungkin termasuk khilafiyah yang memiliki dasar dalil, meskipun lemah, atau perbedaan ijtihad yang diakui. Fokuslah pada bidaah yang jelas dan disepakati sebagai kesesatan.

  5. Berhati-hati dalam Mengambil Ilmu:

    Selektif dalam memilih guru atau sumber ilmu agama. Pastikan mereka adalah ulama atau penuntut ilmu yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah sesuai manhaj salaf. Hindari mengambil ilmu dari orang-orang yang dikenal sebagai ahli bidaah atau yang tidak memiliki kompetensi keilmuan yang kuat.

  6. Tidak Berputus Asa dalam Berdakwah:

    Upaya memberantas bidaah adalah bagian dari dakwah Islam. Jangan berputus asa jika nasihat tidak langsung diterima. Teruslah berdakwah, berdoa, dan tunjukkan keteladanan.

Penting untuk diingat bahwa membenci bidaah tidak berarti membenci pelakunya. Kita membenci perbuatan bidaah karena ia adalah dosa dan menyesatkan, namun kita tetap mencintai saudara Muslim kita dan berharap mereka kembali kepada Sunnah. Sikap yang seimbang antara ketegasan dalam prinsip dan kelembutan dalam berinteraksi adalah kunci.

Kesimpulan

Pembahasan mendalam mengenai bidaah telah menunjukkan kepada kita betapa krusialnya masalah ini dalam menjaga kemurnian dan keotentikan ajaran Islam. Dari definisi linguistik yang netral hingga makna syar'i yang tegas sebagai inovasi dalam agama tanpa dalil, kita telah memahami bahwa bidaah bukanlah sekadar perbedaan pandangan sepele, melainkan penyimpangan yang dapat memiliki konsekuensi serius.

Dalil-dalil dari Al-Qur'an yang menegaskan kesempurnaan agama serta hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang secara eksplisit menyebutkan bahwa "setiap bidaah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka", menjadi landasan kokoh bagi umat Islam untuk menjauhi segala bentuk praktik atau keyakinan yang tidak memiliki sandaran syar'i. Tidak ada ruang untuk "bidaah hasanah" dalam konteks syar'i, karena Islam telah sempurna dan tidak memerlukan tambahan apapun.

Kita juga telah mengupas berbagai klasifikasi bidaah, dari bidaah haqiqiyah yang sama sekali baru hingga bidaah idhafiyah yang merupakan penambahan pada amalan Sunnah. Ciri-ciri seperti ketiadaan dalil, menyerupai syariat namun berbeda inti, sikap berlebihan dalam beragama, pengkhususan waktu/tempat/jumlah tanpa dasar, hingga menganggap Sunnah sebagai bidaah, menjadi panduan penting dalam mengidentifikasi fenomena ini di tengah masyarakat.

Penyebab munculnya bidaah sangat beragam, mulai dari kebodohan terhadap Sunnah, mengikuti hawa nafsu, fanatisme buta, menyerupai kaum non-Muslim, hingga niat baik yang tidak diiringi dengan ilmu yang benar. Dampak negatifnya pun tidak main-main: amalan tertolak, Sunnah terhapus, perpecahan umat, serta menjauhkan dari Allah dan berpotensi menyeret kepada kesyirikan.

Penting untuk membedakan bidaah dengan maslahah mursalah (kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan syariat) dan inovasi dalam urusan duniawi yang diperbolehkan. Tidak semua hal baru itu bidaah; bidaah hanya berlaku pada ranah agama (ibadah dan akidah) yang tidak memiliki dasar dari syariat.

Sebagai penutup, menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk senantiasa berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW dengan pemahaman para sahabat dan ulama salafus saleh. Inilah jalan keselamatan, jalan yang terang benderang yang telah ditinggalkan Nabi kita. Peran ulama sangat penting dalam membimbing umat, dan setiap Muslim memiliki tanggung jawab untuk mencari ilmu, mengamalkan Sunnah, serta berdakwah dengan hikmah untuk menjelaskan kebenaran dan menjauhi bidaah. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita di atas jalan yang lurus dan melindungi kita dari segala bentuk penyimpangan.