Pengantar: Jejak Berhuma dalam Peradaban Agraris Nusantara
Nusantara, sebuah gugusan kepulauan yang kaya akan keanekaragaman hayati dan budaya, telah lama menjadi saksi bisu perkembangan peradaban agraris yang unik. Di antara berbagai praktik pertanian yang ada, 'berhuma' menonjol sebagai salah satu metode tertua dan paling mendalam dalam sejarah pertanahan dan pangan masyarakat adat. Lebih dari sekadar teknik menanam, berhuma adalah sebuah filosofi hidup, sebuah sistem pengetahuan yang terintegrasi dengan alam, spiritualitas, dan struktur sosial. Praktik ini, yang sering disebut juga sebagai perladangan berpindah atau tebang-bakar, bukanlah sekadar cara subsisten belaka, melainkan manifestasi dari kearifan ekologi yang telah diwariskan lintas generasi, membentuk identitas dan keberlanjutan banyak komunitas adat di pelosok Indonesia.
Dalam konteks modern yang diwarnai oleh tantangan perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan kebutuhan pangan global, meninjau kembali praktik berhuma menjadi sangat relevan. Seringkali disalahpahami sebagai penyebab deforestasi dan kerusakan lingkungan, berhuma yang dilakukan secara tradisional justru mengandung prinsip-prinsip keberlanjutan yang luar biasa. Pemahaman yang komprehensif tentang berhuma membutuhkan penggalian lebih dalam, melampaui stigma negatif, untuk mengungkap bagaimana masyarakat adat mengelola ekosistem hutan dan lahan dengan cara yang selaras, memanen hasilnya, dan pada saat yang sama menjaga keseimbangan alam.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk berhuma, mulai dari definisi dan sejarahnya yang panjang, nilai-nilai filosofis dan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya, tahapan-tahapan proses yang kompleks dan berkesinambungan, jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan, alat-alat tradisional yang digunakan, hingga peran sosial dan budaya yang mengikat komunitas. Kami juga akan membahas dampak ekologi dari praktik berhuma, baik positif maupun negatif, serta tantangan yang dihadapinya di era modern. Pada akhirnya, artikel ini akan melihat potensi masa depan berhuma sebagai model pertanian berkelanjutan yang dapat memberikan inspirasi bagi pertanian modern, sembari melestarikan warisan budaya tak benda yang tak ternilai harganya.
Definisi dan Sejarah Berhuma: Akar Pertanian Nusantara
Istilah 'berhuma' secara etimologis berasal dari bahasa Melayu atau bahasa-bahasa daerah di Indonesia yang merujuk pada aktivitas bercocok tanam di lahan kering, terutama di perbukitan atau di pinggiran hutan. Dalam konteks yang lebih luas, berhuma mengacu pada sistem pertanian subsisten di mana lahan dibuka dari hutan, ditanami selama beberapa musim tanam, kemudian ditinggalkan untuk pulih secara alami (fallow) sebelum digunakan kembali setelah periode istirahat yang cukup. Proses inilah yang sering disebut sebagai perladangan berpindah atau shifting cultivation.
Bukan Sekadar Tebang-Bakar: Lebih dari Sekadar Metode
Penting untuk dipahami bahwa berhuma bukanlah sekadar praktik tebang-bakar semata. Meskipun pembakaran seringkali menjadi bagian dari proses untuk membersihkan lahan dan menyediakan unsur hara awal, ia adalah komponen dari sebuah sistem yang jauh lebih kompleks. Pembakaran ini dilakukan dengan perhitungan dan pengetahuan yang mendalam tentang kondisi tanah, arah angin, dan kelembaban, bukan semata-mata tindakan merusak tanpa perhitungan. Masyarakat adat yang berhuma memiliki kearifan untuk mengendalikan api dan meminimalkan risiko penyebaran yang tidak terkontrol.
Inti dari berhuma adalah siklus. Siklus ini dimulai dengan pembukaan lahan baru dari hutan sekunder atau lahan bera, penanaman, pemanenan, dan yang terpenting, masa bera (fallow period) di mana lahan dibiarkan kembali ditumbuhi vegetasi alami. Masa bera ini esensial untuk mengembalikan kesuburan tanah, mengurangi tekanan hama dan penyakit, serta memulihkan ekosistem mikro dalam tanah. Lamanya masa bera bervariasi, dari beberapa tahun hingga puluhan tahun, tergantung pada ketersediaan lahan, kepadatan penduduk, dan kebijakan adat setempat.
Sejarah Panjang dan Persebaran Geografis
Praktik berhuma memiliki sejarah yang sangat panjang di Nusantara, jauh sebelum kedatangan pengaruh Hindu-Buddha atau Islam. Arkeolog dan ahli sejarah menduga bahwa bentuk awal pertanian ini telah ada sejak zaman Neolitikum, ketika manusia mulai beralih dari pola hidup berburu dan meramu ke pola menetap atau semi-menetap dengan bercocok tanam. Padi ladang (Oryza sativa) adalah tanaman utama yang dibudidayakan dalam sistem berhuma, dan keberadaan varietas padi lokal yang melimpah di berbagai daerah menunjukkan adaptasi dan evolusi berhuma selama ribuan tahun.
Secara geografis, praktik berhuma tersebar luas di seluruh kepulauan Indonesia, terutama di daerah-daerah yang kaya akan hutan dan memiliki topografi berbukit. Komunitas adat di Sumatera (misalnya Batak, Minangkabau, Rejang), Kalimantan (Dayak, Iban), Sulawesi (Toraja, Bugis), Nusa Tenggara (Sumba, Manggarai), dan Papua (Dani, Asmat) memiliki tradisi berhuma yang kuat. Meskipun ada kesamaan prinsip dasar, setiap suku atau komunitas adat mengembangkan variasi praktik berhuma yang unik, disesuaikan dengan kondisi ekologi, budaya, dan spiritualitas lokal mereka. Variasi ini mencakup perbedaan dalam pemilihan lokasi, jenis tanaman, ritual, alat, dan sistem pembagian kerja.
Sebagai contoh, masyarakat Dayak di Kalimantan memiliki sistem berhuma yang terintegrasi dengan hukum adat dan sistem kepemilikan tanah komunal yang kuat. Di Sumba, berhuma dikaitkan erat dengan siklus upacara adat dan kepercayaan Marapu. Sementara itu, di pedalaman Sumatera, praktik berhuma seringkali dikombinasikan dengan perkebunan tanaman keras seperti kopi atau karet setelah beberapa siklus padi, menunjukkan adaptasi terhadap dinamika ekonomi dan sosial yang terus berubah.
Filosofi dan Nilai-nilai Tradisional dalam Berhuma
Berhuma bukan sekadar rangkaian kegiatan fisik, melainkan cerminan dari filosofi hidup masyarakat adat yang mendalam, berlandaskan pada hubungan harmonis antara manusia, alam, dan spiritualitas. Nilai-nilai luhur ini mengakar kuat dalam setiap tahapan proses, membentuk etika lingkungan yang kuat serta struktur sosial yang kohesif.
Hubungan Harmonis dengan Alam (Padi adalah Jiwa)
Pusat dari filosofi berhuma adalah pandangan bahwa alam bukan sekadar sumber daya yang dapat dieksploitasi, melainkan entitas hidup yang harus dihormati dan dipelihara. Hutan dianggap sebagai ibu kehidupan, penyedia segala kebutuhan, dan tempat bersemayamnya roh-roh leluhur. Oleh karena itu, pembukaan lahan tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan melalui serangkaian ritual permohonan izin kepada penjaga hutan dan roh-roh alam.
Tanaman padi, sebagai komoditas utama, memiliki tempat yang sangat sakral. Di banyak kebudayaan adat, padi tidak hanya dipandang sebagai sumber pangan, tetapi juga sebagai 'jiwa' atau 'roh' kehidupan. Ada kepercayaan bahwa padi memiliki dewi pelindung (misalnya Dewi Sri di Jawa dan Bali, atau roh-roh padi di Dayak dan Toraja) yang harus dihormati melalui upacara, sesaji, dan pantangan-pantangan tertentu. Perlakuan terhadap padi, mulai dari menanam benih, merawat, hingga memanen dan menyimpannya, dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan rasa hormat, seolah-olah berinteraksi dengan makhluk hidup yang berjiwa.
Filosofi ini juga termanifestasi dalam prinsip keberlanjutan. Masyarakat adat memahami bahwa kesuburan tanah tidak tak terbatas. Oleh karena itu, mereka menerapkan sistem bera (fallow) sebagai bentuk istirahat bagi tanah, memungkinkan hutan dan ekosistem untuk pulih secara alami. Ini adalah bukti nyata dari pemahaman ekologi yang mendalam, jauh sebelum konsep konservasi modern dikenal. Mereka mengerti bahwa menguras sumber daya secara berlebihan akan membawa bencana bagi generasi mendatang.
Gotong Royong dan Kebersamaan
Berhuma adalah kegiatan yang sangat komunal. Dari pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan, hingga panen, sebagian besar tahapan dilakukan secara gotong royong, atau dalam bahasa lokal dikenal dengan berbagai istilah seperti mapalus (Minahasa), subak abian (Bali), ngayah (Bali), marsiadapari (Batak), atau bawui (Dayak). Sistem ini bukan hanya efisien dalam penggunaan tenaga kerja, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan rasa kebersamaan dalam komunitas.
Gotong royong memastikan bahwa setiap anggota komunitas memiliki akses terhadap tenaga kerja yang dibutuhkan, terutama pada saat-saat kritis seperti penanaman dan panen. Ini juga berfungsi sebagai jaring pengaman sosial, di mana mereka yang kurang mampu atau mengalami kesulitan akan tetap terbantu. Selain itu, kegiatan bersama ini seringkali diiringi dengan nyanyian, cerita, dan makan bersama, menjadikannya ajang untuk mempererat silaturahmi, berbagi pengetahuan, dan melestarikan tradisi lisan.
Sistem kepemilikan lahan dalam berhuma seringkali bersifat komunal atau dikelola oleh lembaga adat. Meskipun individu mungkin memiliki hak garap atas sebidang lahan, keputusan-keputusan besar terkait pembukaan lahan baru, penentuan masa bera, atau penyelesaian sengketa lahan biasanya diputuskan bersama melalui musyawarah adat. Ini mencerminkan nilai kolektivisme yang kuat, di mana kepentingan bersama lebih diutamakan daripada kepentingan individu.
Pengetahuan Lokal dan Adaptasi Ekologi
Berhuma adalah perwujudan dari kearifan lokal (local wisdom) yang kaya. Masyarakat adat telah mengembangkan sistem pengetahuan yang sangat terperinci tentang ekologi setempat: jenis-jenis tanah, pola cuaca, siklus musim, jenis-jenis tanaman dan hewan, serta tanda-tanda alam yang menunjukkan kesuburan atau bahaya. Pengetahuan ini diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi melalui cerita, ritual, dan praktik langsung.
Contoh kearifan lokal ini terlihat dalam pemilihan lokasi berhuma. Mereka tahu jenis vegetasi apa yang menunjukkan tanah subur, atau lereng mana yang tidak rentan longsor. Mereka juga memahami waktu terbaik untuk menanam berdasarkan posisi bintang, suara binatang, atau perubahan angin. Pemilihan varietas padi pun sangat lokal, disesuaikan dengan kondisi iklim dan tanah spesifik, serta ketahanan terhadap hama dan penyakit endemik.
Adaptasi ekologi ini juga mencakup penanaman multi-tanaman (polikultur) dalam satu lahan. Selain padi, mereka menanam jagung, ubi, kacang-kacangan, sayuran, dan buah-buahan di lahan yang sama. Sistem ini tidak hanya memastikan keanekaragaman pangan dan gizi, tetapi juga membantu menjaga kesuburan tanah, mengurangi erosi, dan mengendalikan hama secara alami, sebuah konsep yang kini dikenal sebagai agroforestri atau pertanian regeneratif.
Ritual dan Spiritualitas
Setiap tahapan berhuma seringkali diiringi dengan ritual adat yang kaya akan makna spiritual. Ritual-ritual ini bukan sekadar formalitas, melainkan cara untuk berkomunikasi dengan alam, menghormati leluhur, memohon restu, dan menjaga keseimbangan kosmis. Dari upacara pembukaan lahan, penaburan benih, pemindahan bibit, hingga upacara panen dan penyimpanan padi, setiap momen dianggap sakral.
Ritual-ritual ini berfungsi sebagai pengingat akan ketergantungan manusia pada alam, mengajarkan rasa syukur, dan menanamkan nilai-nilai kehati-hatian. Misalnya, ada pantangan untuk berbicara keras atau bertindak sembarangan di lahan pertanian agar tidak "mengganggu" roh padi. Ada juga tradisi berbagi hasil panen sebagai bentuk syukur dan solidaritas sosial. Spiritualitas ini memastikan bahwa praktik berhuma tidak pernah terlepas dari dimensi moral dan etika.
Proses dan Tahapan Berhuma: Siklus Kehidupan dari Hutan ke Pangan
Praktik berhuma adalah sebuah proses yang terstruktur dan sistematis, mengikuti siklus tahunan atau musiman yang sangat bergantung pada kondisi iklim dan alam setempat. Meskipun ada variasi di antara berbagai kelompok etnis, tahapan-tahapan dasarnya memiliki kesamaan. Berikut adalah penjelasan rinci mengenai tahapan-tahapan berhuma.
1. Pemilihan Lahan (Milik, Nemui, Manih)
Tahap pertama yang krusial adalah pemilihan lokasi lahan yang akan diolah. Ini bukanlah keputusan sembarangan, melainkan berdasarkan pengetahuan mendalam tentang lingkungan sekitar yang diwariskan secara turun-temurun. Masyarakat adat mencari tanda-tanda alam yang menunjukkan kesuburan tanah dan potensi hasil yang baik.
- Indikator Vegetasi: Keberadaan jenis-jenis tumbuhan tertentu seperti jenis perdu, gulma, atau pohon-pohon besar tertentu yang dipercaya tumbuh subur di tanah yang gembur dan kaya hara.
- Topografi: Pemilihan lahan seringkali di lereng bukit yang tidak terlalu curam untuk meminimalkan erosi, atau di dataran tinggi yang memiliki drainase baik.
- Ketersediaan Air: Meskipun berhuma adalah pertanian lahan kering, kedekatan dengan sumber air seperti mata air atau sungai kecil tetap menjadi pertimbangan untuk kebutuhan minum dan ritual.
- Histori Lahan: Seringkali lahan yang dipilih adalah hutan sekunder atau lahan bera (bekas huma) yang telah ditinggalkan selama beberapa tahun (biasanya 5-20 tahun atau lebih) dan telah pulih kesuburannya. Pemilihan lahan bera menunjukkan pemahaman tentang siklus ekologis.
- Ritual Permohonan Izin: Sebelum memulai, seringkali dilakukan upacara permohonan izin kepada roh penjaga hutan dan leluhur agar diberi keselamatan dan hasil panen yang melimpah. Ini juga merupakan bentuk penghormatan terhadap alam.
2. Pembersihan Lahan (Nebas, Nerih, Tebang)
Setelah lahan dipilih, tahap selanjutnya adalah membersihkannya dari vegetasi. Proses ini biasanya dimulai beberapa bulan sebelum musim tanam.
- Nebas/Nerih (Membersihkan Semak Belukar): Vegetasi bawah seperti semak, perdu, dan tumbuhan kecil lainnya dibersihkan terlebih dahulu menggunakan parang atau golok. Pekerjaan ini biasanya dilakukan secara gotong royong dan membutuhkan ketelitian.
- Nebang (Menebang Pohon): Pohon-pohon besar yang ada di lahan akan ditebang. Namun, penting untuk dicatat bahwa masyarakat adat seringkali meninggalkan beberapa pohon besar yang dianggap sakral atau memiliki nilai ekologis penting (misalnya pohon sumber air, pohon buah, atau pohon tempat bersarangnya burung). Penebangan dilakukan dengan hati-hati untuk memastikan pohon jatuh ke arah yang aman dan meminimalkan kerusakan.
- Pengeringan: Setelah ditebang, vegetasi yang telah dibersihkan dibiarkan mengering di bawah sinar matahari selama beberapa minggu atau bulan. Proses pengeringan ini penting agar material organik dapat terbakar sempurna pada tahap berikutnya.
3. Pembakaran (Nunu, Tuak, Nutung)
Pembakaran adalah tahap yang paling sering disalahpahami dari praktik berhuma. Jika dilakukan dengan benar dan terkontrol, pembakaran ini memiliki beberapa fungsi penting:
- Pembersihan Lahan: Membakar sisa-sisa vegetasi yang telah kering untuk membersihkan lahan dari gulma, hama, dan penyakit.
- Penyediaan Unsur Hara: Abu hasil pembakaran kaya akan unsur hara seperti kalium, kalsium, dan magnesium yang dibutuhkan oleh tanaman padi. Abu ini berfungsi sebagai pupuk alami awal yang sangat efektif, meningkatkan kesuburan tanah secara instan.
- Menyiapkan Bedengan: Tanah yang terkena panas akan menjadi lebih gembur dan mudah diolah.
Pengendalian Api: Pembakaran dilakukan dengan sangat hati-hati dan pengetahuan lokal yang mendalam. Mereka menunggu kondisi cuaca yang tepat (misalnya setelah beberapa hari kering namun tidak terlalu berangin) dan seringkali membuat batas bakar (sekat bakar) di sekeliling lahan untuk mencegah api menyebar ke hutan atau lahan lain. Pembakaran biasanya dilakukan oleh kelompok laki-laki yang terlatih dan memiliki pengalaman. Jika terjadi penyebaran api yang tidak disengaja, ini biasanya merupakan indikasi praktik yang tidak sesuai dengan kearifan lokal, atau karena tekanan eksternal seperti pembukaan lahan skala besar yang mengabaikan tradisi.
4. Penanaman (Nugal, Ngaseuk, Tabur)
Setelah pembakaran selesai dan abu telah mendingin serta menyatu dengan tanah, lahan siap untuk ditanami. Tahap ini seringkali dimulai dengan upacara adat untuk memohon berkah.
- Nugal (Melubangi Tanah): Masyarakat adat menggunakan tongkat penugal (seringkali terbuat dari kayu keras dengan ujung runcing) untuk membuat lubang-lubang kecil di tanah. Lubang ini dibuat dengan jarak teratur, memastikan setiap tanaman memiliki ruang yang cukup untuk tumbuh.
- Penaburan Benih: Setelah lubang dibuat, benih padi ladang (yang telah disiapkan dengan cermat dan seringkali melalui proses seleksi benih tradisional) ditaburkan ke dalam lubang tersebut, biasanya 3-5 biji per lubang. Benih ini kemudian ditutup kembali dengan tanah menggunakan kaki atau alat sederhana.
- Penanaman Polikultur: Selain padi, seringkali juga ditanam tanaman lain secara bersamaan (polikultur) di lahan yang sama atau di pinggiran. Tanaman seperti jagung, ubi jalar, kacang-kacangan, labu, atau sayuran lainnya ditanam untuk diversifikasi pangan, menjaga kesuburan tanah, dan sebagai pengusir hama alami.
5. Pemeliharaan dan Perawatan (Ngarit, Nyelam, Ngeramban)
Setelah penanaman, fokus beralih ke perawatan tanaman untuk memastikan pertumbuhannya optimal dan terhindar dari hama dan gulma.
- Penyiangan Gulma (Ngarit, Nyelam): Gulma adalah pesaing utama padi dalam mendapatkan nutrisi, air, dan cahaya matahari. Penyiangan dilakukan secara manual menggunakan tangan, parang kecil, atau alat sederhana lainnya. Pekerjaan ini sangat intensif tenaga kerja dan seringkali melibatkan perempuan dan anak-anak.
- Pengendalian Hama: Masyarakat adat memiliki berbagai cara tradisional untuk mengendalikan hama (misalnya tikus, burung, serangga). Ini bisa berupa penempatan patung orang-orangan sawah (totok), penggunaan tanaman pengusir hama di sekitar lahan, ritual pengusiran hama, atau dengan menjaga keanekaragaman hayati di lahan agar predator alami hama dapat hidup.
- Perawatan Lain: Kadang-kadang dilakukan juga penjarangan tanaman jika terlalu padat, atau penopangan tanaman yang mulai rebah.
6. Panen (Ngambil, Ngetem, Nyadap)
Masa panen adalah puncak dari seluruh upaya berhuma, momen yang ditunggu-tunggu dengan sukacita dan syukuran. Panen dilakukan secara selektif dan hati-hati.
- Ritual Panen: Sebelum panen besar, seringkali dilakukan upacara kecil sebagai permohonan izin dan ucapan syukur. Hanya sebagian kecil padi yang dipanen pertama kali untuk persembahan atau disimpan sebagai benih.
- Pemetikan Selektif: Padi dipanen secara manual menggunakan ani-ani atau ketam (alat panen tradisional berupa pisau kecil yang dipegang di telapak tangan) atau sabit. Pemetikan dilakukan tangkai demi tangkai, memilih bulir padi yang sudah matang sempurna. Metode ini menjaga kualitas gabah dan menghindari kerusakan bulir.
- Pengeringan: Gabah yang telah dipanen kemudian dijemur di bawah sinar matahari langsung di atas tikar atau wadah khusus untuk mengurangi kadar airnya. Pengeringan yang baik penting untuk mencegah jamur dan mempertahankan kualitas gabah.
- Penyimpanan: Gabah kering kemudian disimpan di lumbung padi (rengkiang, lumbung, leuit) yang dibangun dengan arsitektur khusus untuk melindungi dari hama dan kelembaban. Lumbung padi seringkali memiliki makna sosial dan ritual yang penting.
7. Masa Bera (Fallow Period)
Setelah beberapa kali panen (biasanya 1-3 musim tanam, tergantung kesuburan lahan dan jenis tanaman), lahan akan ditinggalkan dan dibiarkan pulih secara alami. Ini adalah tahap paling penting dari sistem perladangan berpindah.
- Pemulihan Kesuburan Tanah: Vegetasi alami mulai tumbuh kembali di lahan bera, mengembalikan unsur hara ke tanah, meningkatkan bahan organik, dan memperbaiki struktur tanah. Mikroorganisme tanah juga kembali beraktivitas.
- Pengendalian Hama dan Penyakit: Meninggalkan lahan bera memutus siklus hidup hama dan penyakit yang mungkin berkembang biak di lahan yang terus menerus ditanami.
- Lama Masa Bera: Lamanya masa bera sangat bervariasi, dari 5-10 tahun di daerah yang padat penduduk hingga 20-30 tahun atau lebih di daerah yang masih memiliki hutan luas. Penentuan lamanya masa bera didasarkan pada pengamatan alam dan kearifan lokal. Jika masa bera terlalu pendek, tanah akan kehilangan kesuburannya dengan cepat, dan produktivitas akan menurun.
Siklus ini akan terus berulang di lahan-lahan yang berbeda, menciptakan sebuah mosaik lanskap yang dinamis antara hutan, lahan pertanian aktif, dan lahan bera yang sedang dalam masa pemulihan. Inilah inti dari keberlanjutan praktik berhuma tradisional.
Jenis-jenis Tanaman dan Keanekaragaman Hayati dalam Berhuma
Meskipun padi ladang seringkali menjadi fokus utama, praktik berhuma sesungguhnya adalah sistem pertanian polikultur yang kaya akan keanekaragaman hayati. Masyarakat adat menanam berbagai jenis tanaman yang saling mendukung, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga untuk menjaga kesuburan tanah dan mengendalikan hama secara alami.
Padi Ladang (Oryza sativa) sebagai Tanaman Utama
Padi ladang adalah raja di lahan huma. Berbeda dengan padi sawah yang membutuhkan genangan air, padi ladang beradaptasi dengan baik di lahan kering. Varietas padi ladang sangatlah beragam, dengan ribuan kultivar lokal (varietas lokal) yang telah dibudidayakan dan disesuaikan dengan kondisi spesifik setiap daerah selama ribuan tahun.
- Karakteristik Padi Ladang: Umumnya memiliki akar yang lebih dalam untuk mencari air, lebih tahan terhadap kekeringan singkat, dan lebih adaptif terhadap tanah yang kurang subur dibandingkan padi sawah modern. Batangnya juga seringkali lebih tinggi.
- Varietas Lokal: Setiap komunitas adat memiliki nama dan ciri khas varietas padi ladang mereka sendiri, seperti 'Pare Sawah' (Sunda), 'Padi Adat' (Dayak), 'Padi Uma' (Batak), yang masing-masing memiliki rasa, aroma, tekstur, dan waktu panen yang berbeda. Keanekaragaman genetik ini adalah harta tak ternilai yang juga berfungsi sebagai bank gen alami.
- Nilai Budaya dan Spiritual: Seperti yang telah disebutkan, padi ladang seringkali memiliki makna spiritual yang mendalam, dianggap sebagai penjelmaan dewi atau roh. Ini membuat masyarakat lebih menjaga kelestarian varietas lokal dan proses penanamannya.
Tanaman Sela dan Pendamping
Selain padi, masyarakat berhuma menanam berbagai tanaman sela (intercropping) atau tanaman pendamping di lahan yang sama. Praktik ini memiliki banyak manfaat ekologis dan ekonomis:
- Jagung (Zea mays): Sering ditanam bersama padi atau sebagai tanaman utama di beberapa daerah, menyediakan karbohidrat penting.
- Ubi Jalar (Ipomoea batatas) dan Singkong (Manihot esculenta): Merupakan sumber karbohidrat pokok kedua setelah padi, dan seringkali lebih toleran terhadap tanah yang kurang subur.
- Kacang-kacangan (misalnya Kacang Tanah, Kacang Merah, Kedelai): Tanaman legum ini sangat penting karena memiliki kemampuan mengikat nitrogen dari udara melalui bakteri di akarnya. Ini membantu menyuburkan tanah secara alami, mengurangi kebutuhan akan pupuk buatan. Kacang-kacangan juga merupakan sumber protein nabati yang penting.
- Sayuran: Berbagai jenis sayuran seperti labu, terong, cabai, tomat, dan bayam sering ditanam untuk melengkapi gizi keluarga.
- Tanaman Obat dan Rempah: Jahe, kunyit, lengkuas, serai, dan berbagai tanaman obat lainnya juga sering diintegrasikan, tidak hanya untuk konsumsi pribadi tetapi juga untuk pengobatan tradisional.
- Pohon Buah: Di pinggir-pinggir lahan atau di lahan bera, seringkali ditanam pohon buah-buahan lokal seperti durian, rambutan, mangga, atau nangka. Ini menyediakan sumber pangan tambahan dan membantu transisi lahan bera kembali menjadi hutan.
Manfaat Keanekaragaman Hayati
Sistem polikultur dalam berhuma memberikan berbagai manfaat:
- Ketahanan Pangan: Diversifikasi tanaman memastikan bahwa jika satu jenis tanaman gagal panen karena hama atau cuaca, masih ada cadangan pangan dari tanaman lain. Ini adalah strategi adaptasi terhadap ketidakpastian iklim.
- Peningkatan Kesuburan Tanah: Tanaman legum mengikat nitrogen, sementara sisa-sisa tanaman lain yang membusuk menambahkan bahan organik dan nutrisi ke tanah.
- Pengendalian Hama dan Penyakit Alami: Keanekaragaman tanaman menarik berbagai serangga dan hewan, menciptakan ekosistem yang seimbang di mana predator alami hama dapat berkembang biak. Hal ini mengurangi serangan hama dan kebutuhan akan pestisida.
- Pencegahan Erosi: Berbagai jenis tanaman dengan sistem perakaran yang berbeda membantu menutupi permukaan tanah dan menahan tanah dari erosi, terutama di lahan berbukit.
- Pelestarian Genetik: Praktik berhuma melestarikan keanekaragaman genetik tanaman lokal yang mungkin tidak ditemukan di sistem pertanian monokultur modern. Varietas lokal ini seringkali memiliki ketahanan unik terhadap kondisi lokal.
Keanekaragaman hayati dalam berhuma adalah bukti nyata dari pemahaman masyarakat adat tentang bagaimana ekosistem bekerja. Mereka tidak hanya melihat lahan sebagai tempat untuk menanam satu jenis komoditas, tetapi sebagai sebuah sistem kehidupan yang saling terhubung dan mendukung.
Alat-alat Tradisional Berhuma: Ketergantungan pada Kecanggihan Sederhana
Praktik berhuma secara tradisional sangat bergantung pada alat-alat sederhana yang telah digunakan selama berabad-abad, mencerminkan adaptasi terhadap lingkungan dan ketersediaan bahan lokal. Alat-alat ini dirancang untuk efisiensi maksimal dalam pekerjaan manual, serta kemudahan dalam pemeliharaan dan transportasi di medan yang seringkali sulit.
Alat Pembuka dan Pembersih Lahan
- Parang/Golok: Ini adalah alat serbaguna yang paling fundamental. Digunakan untuk menebas semak belukar, membersihkan ranting, memotong dahan kecil, dan kadang-kadang juga untuk menebang pohon-pohon berukuran sedang. Setiap daerah mungkin memiliki bentuk dan ukuran parang yang sedikit berbeda, disesuaikan dengan kebutuhan dan tradisi lokal.
- Kapak: Digunakan untuk menebang pohon-pohon besar. Kapak tradisional seringkali memiliki mata pisau yang kuat dan tangkai kayu yang panjang, memungkinkan daya ayun yang besar. Kapak ini biasanya dibuat oleh pandai besi lokal.
- Alat Pengeruk/Pengumpul: Setelah penebangan, seringkali digunakan alat serupa cangkul atau ganco sederhana untuk mengumpulkan sisa-sisa vegetasi yang akan dibakar.
Alat Penanaman
- Tongkat Penugal (Tugal): Ini adalah alat utama untuk menanam benih padi. Berbentuk tongkat kayu yang lurus, panjang sekitar 1.5 hingga 2 meter, dengan ujung yang runcing dan kadang-kadang diberi penguat besi. Fungsinya adalah membuat lubang-lubang kecil di tanah tempat benih akan ditaburkan. Proses 'nugal' ini seringkali dilakukan oleh laki-laki, sementara perempuan mengikuti di belakang untuk menaburkan benih.
- Kotak Benih/Wadah Penabur: Wadah sederhana, seringkali terbuat dari anyaman bambu atau daun, digunakan untuk membawa benih padi selama proses penaburan.
Alat Pemeliharaan Tanaman
- Ani-ani/Ketam: Alat panen padi tradisional yang sangat khas. Berbentuk pisau kecil yang dipegang di telapak tangan, tersembunyi di dalam bilah kayu atau tulang. Ani-ani memungkinkan pemetikan bulir padi satu per satu dengan hati-hati, sebuah praktik yang terkait erat dengan kepercayaan spiritual terhadap roh padi yang diyakini akan "terkejut" jika dipanen dengan cara yang kasar (misalnya menggunakan sabit). Penggunaan ani-ani juga mencegah rontoknya bulir padi yang berharga.
- Sabit: Di beberapa daerah atau untuk jenis tanaman lain selain padi (misalnya jagung atau gulma), sabit juga digunakan untuk memotong. Namun, untuk padi ladang, ani-ani lebih umum.
- Alat Penyiang Gulma: Berbagai jenis pisau kecil, cangkul tangan, atau alat sederhana lain yang dibuat dari kayu atau besi digunakan untuk mencabut atau memotong gulma secara manual.
Alat Pengolahan dan Penyimpanan
- Alu dan Lesung: Digunakan untuk menumbuk gabah menjadi beras. Proses ini adalah bagian integral dari kehidupan pedesaan, seringkali dilakukan oleh perempuan secara bergantian, dan menghasilkan irama khas yang memenuhi udara desa.
- Nampan Penampi (Nyiru): Nampan bundar yang terbuat dari anyaman bambu atau daun, digunakan untuk menampi beras setelah ditumbuk, memisahkan beras dari sekam dan sisa-sisa lainnya.
- Lumbung Padi (Leuit, Rengkiang, Belalang): Struktur bangunan khusus yang dibangun untuk menyimpan gabah. Lumbung ini biasanya dibangun di atas tiang-tiang tinggi untuk melindungi dari hewan pengerat dan kelembaban tanah. Desainnya bervariasi antar suku, namun fungsinya sama: menjaga cadangan pangan komunitas. Lumbung juga memiliki makna sosial dan ritual yang kuat.
Ketergantungan pada Kecanggihan Sederhana
Meskipun alat-alat ini terlihat sederhana, penggunaannya membutuhkan keterampilan, pengalaman, dan pemahaman yang mendalam tentang alam. Masyarakat adat memiliki kemampuan untuk membuat, memperbaiki, dan mengasah alat-alat mereka sendiri, seringkali dengan bahan-bahan yang tersedia secara lokal. Ketergantungan pada alat manual ini juga menumbuhkan etos kerja keras dan kebersamaan, karena banyak tugas yang membutuhkan tenaga kerja kolektif.
Alat-alat tradisional ini bukan hanya benda mati, melainkan bagian dari identitas budaya dan kearifan lokal. Mereka merepresentasikan hubungan yang berkelanjutan antara manusia, alat, dan lingkungan, sebuah warisan teknologi yang telah teruji waktu dalam konteks pertanian yang berkelanjutan.
Kearifan Lokal dalam Berhuma: Sains Tanpa Laboratorium
Kearifan lokal dalam berhuma adalah kumpulan pengetahuan, praktik, dan kepercayaan yang telah berkembang dan diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat adat selama ribuan tahun. Ini adalah bentuk sains terapan yang sangat kontekstual, adaptif, dan berkelanjutan, meskipun tidak melalui metode ilmiah formal seperti yang kita kenal sekarang. Kearifan ini memungkinkan mereka untuk hidup selaras dengan alam dan memenuhi kebutuhan pangan tanpa merusak ekosistem.
Pengetahuan Mendalam tentang Tanah dan Lingkungan
- Klasifikasi Tanah Tradisional: Masyarakat adat memiliki sistem klasifikasi tanah mereka sendiri berdasarkan warna, tekstur, bau, dan jenis vegetasi yang tumbuh di atasnya. Mereka dapat membedakan tanah yang subur (misalnya 'tanah hitam' atau 'tanah gambut' tertentu) dari yang kurang subur, dan tahu tanaman apa yang cocok untuk masing-masing jenis tanah.
- Manajemen Kesuburan Tanah: Selain pembakaran yang terkontrol untuk menyediakan abu sebagai pupuk awal, masyarakat berhuma juga memahami pentingnya masa bera (fallow period) untuk memulihkan kesuburan tanah secara alami. Mereka mengamati pertumbuhan vegetasi sekunder untuk menentukan kapan lahan siap diolah kembali. Penanaman tanaman legum juga merupakan metode alami untuk mengikat nitrogen.
- Pencegahan Erosi: Dengan menanam berbagai jenis tanaman yang akarnya mencengkeram tanah, dan tidak membuka lahan di lereng yang terlalu curam, masyarakat berhuma secara tidak langsung melakukan praktik konservasi tanah dan air. Mereka juga seringkali meninggalkan vegetasi penahan air di sepanjang sungai atau mata air.
Pengetahuan tentang Cuaca dan Iklim
- Indikator Cuaca Alami: Masyarakat berhuma sangat peka terhadap tanda-tanda alam yang menunjukkan perubahan cuaca atau musim. Mereka mengamati pola bintang, posisi bulan, perilaku hewan (misalnya burung, serangga), arah angin, awan, dan aroma tanah. Pengetahuan ini digunakan untuk menentukan waktu terbaik untuk menanam, memanen, atau melakukan ritual tertentu.
- Kalender Pertanian Tradisional: Banyak komunitas adat memiliki kalender pertanian yang berbasis pada siklus alam, bukan kalender Gregorian. Kalender ini mengatur kapan harus memulai pembukaan lahan, menanam, dan memanen, seringkali dikaitkan dengan perayaan atau upacara adat.
- Adaptasi terhadap Perubahan: Karena hidup sangat bergantung pada alam, masyarakat berhuma memiliki kapasitas adaptasi yang tinggi terhadap variasi iklim dari tahun ke tahun. Penanaman beragam varietas padi dan tanaman lain adalah salah satu strategi adaptasi tersebut.
Pengetahuan tentang Tanaman dan Keanekaragaman Hayati
- Seleksi Benih Lokal: Masyarakat adat adalah ahli dalam seleksi dan pemuliaan benih padi ladang. Setiap tahun, mereka memilih bulir padi terbaik dari panen untuk dijadikan benih tahun berikutnya, sehingga menghasilkan varietas lokal yang adaptif terhadap kondisi spesifik dan tahan terhadap hama penyakit setempat. Proses ini telah menciptakan ribuan varietas padi yang unik.
- Pemanfaatan Tumbuhan Liar: Selain tanaman budidaya, masyarakat berhuma juga memiliki pengetahuan luas tentang tumbuhan liar di sekitar hutan dan lahan bera yang dapat dimanfaatkan sebagai pangan, obat-obatan, bahan bangunan, atau kerajinan tangan.
- Ekologi Hama dan Penyakit: Mereka memahami siklus hidup hama dan penyakit, serta cara mengendalikannya secara alami tanpa pestisida kimia. Ini bisa berupa penanaman tumbuhan pengusir hama, menjaga keseimbangan predator alami, atau melakukan ritual tertentu.
Kearifan Konservasi dan Pengelolaan Hutan
Paradigma modern seringkali melihat berhuma sebagai ancaman terhadap hutan. Namun, berhuma tradisional yang dilakukan dengan kearifan lokal justru adalah bentuk pengelolaan hutan berkelanjutan.
- Hutan Adat dan Larangan: Banyak komunitas adat memiliki hukum adat yang mengatur penggunaan hutan dan lahan. Ada hutan yang boleh dibuka untuk berhuma, ada yang dijadikan hutan cadangan (hutan larangan) yang tidak boleh disentuh, dan ada pula hutan yang diperuntukkan bagi perburuan atau pengambilan hasil hutan non-kayu.
- Masa Bera yang Cukup: Jaminan bahwa lahan akan ditinggalkan dan dibiarkan pulih selama masa bera yang panjang adalah inti dari konservasi. Hutan sekunder yang tumbuh di lahan bera adalah bagian penting dari siklus ekologis.
- Menjaga Pohon Induk: Seringkali pohon-pohon besar tertentu yang dianggap penting (misalnya pohon buah, pohon penanda batas, atau pohon yang dianggap berjiwa) dibiarkan tidak ditebang saat pembukaan lahan.
- Kesadaran Lingkungan: Kearifan lokal menanamkan kesadaran bahwa merusak alam berarti merusak sumber kehidupan mereka sendiri dan generasi mendatang. Oleh karena itu, ada nilai-nilai etis yang memandu tindakan mereka dalam mengelola lingkungan.
Kearifan lokal dalam berhuma adalah warisan intelektual yang tak ternilai. Ia menunjukkan bahwa masyarakat adat adalah ahli ekologi dan pertanian yang telah mengembangkan sistem adaptasi kompleks untuk hidup berkelanjutan di tengah-tengah keterbatasan dan dinamika alam. Mengabaikan atau meremehkan kearifan ini adalah kehilangan besar bagi upaya global dalam mencari solusi terhadap tantangan lingkungan dan pangan.
Peran Sosial dan Budaya Berhuma: Perekat Komunitas
Berhuma bukan hanya sistem pertanian, tetapi juga sebuah pilar utama yang menopang struktur sosial dan budaya masyarakat adat. Interaksi manusia dengan alam dalam praktik berhuma membentuk identitas kolektif, memperkuat ikatan kekerabatan, dan melestarikan tradisi yang kaya.
Gotong Royong sebagai Inti Sosial
Sebagaimana telah disinggung, gotong royong adalah tulang punggung dari praktik berhuma. Pekerjaan berat seperti menebang pohon, membersihkan lahan, menugal, hingga memanen, hampir selalu dilakukan secara bersama-sama. Sistem kerja kolektif ini memiliki beberapa implikasi sosial yang mendalam:
- Solidaritas dan Kohesi Sosial: Gotong royong menumbuhkan rasa persatuan dan kebersamaan. Anggota komunitas saling membantu tanpa mengharapkan imbalan langsung, melainkan dengan pemahaman bahwa bantuan yang diberikan akan dibalas saat mereka membutuhkan. Ini menciptakan jaring pengaman sosial yang kuat.
- Pembagian Kerja Berdasarkan Gender dan Usia: Dalam banyak komunitas, ada pembagian kerja yang jelas. Laki-laki biasanya bertanggung jawab untuk pekerjaan berat seperti menebang pohon dan membakar. Perempuan dan anak-anak lebih banyak terlibat dalam penyiangan, penaburan benih, dan panen. Pengetahuan dan keterampilan diturunkan melalui partisipasi aktif dalam kegiatan ini.
- Pendidikan Tradisional: Berhuma menjadi "sekolah hidup" bagi anak-anak dan generasi muda. Mereka belajar tentang siklus alam, jenis-jenis tanaman, alat-alat pertanian, dan nilai-nilai sosial langsung dari orang tua dan tetua adat.
- Perayaan dan Hiburan: Seringkali, kegiatan gotong royong di lahan huma diiringi dengan nyanyian, canda tawa, cerita, dan makan bersama. Ini menjadikan kerja bukan sekadar kewajiban, tetapi juga ajang rekreasi dan mempererat hubungan sosial.
Sistem Kepemilikan dan Pengelolaan Lahan Adat
Lahan huma seringkali tidak dimiliki secara individu dalam pengertian modern, melainkan dikelola di bawah sistem kepemilikan komunal atau adat. Konsep ini sangat berbeda dari sistem kepemilikan lahan barat.
- Hak Ulayat: Banyak masyarakat adat memiliki konsep hak ulayat, di mana tanah dan sumber daya alam adalah milik bersama komunitas adat, bukan individu. Individu atau keluarga memiliki hak pakai atau hak garap atas sebidang lahan untuk berhuma, tetapi keputusan besar tentang penggunaan atau pembukaan lahan baru harus melalui musyawarah adat.
- Peran Tetua Adat: Tetua adat atau pemimpin tradisional memiliki peran krusial dalam mengatur pembagian lahan, menyelesaikan sengketa, dan memastikan bahwa praktik berhuma dilakukan sesuai dengan hukum adat dan kearifan lokal. Mereka adalah penjaga tradisi dan penentu kebijakan lingkungan komunitas.
- Keadilan Sosial: Sistem kepemilikan komunal ini bertujuan untuk memastikan keadilan sosial, di mana setiap keluarga dalam komunitas memiliki akses yang adil terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Ini mengurangi kesenjangan dan kemiskinan ekstrem di antara anggota komunitas.
Ritual dan Upacara Adat
Setiap tahapan berhuma diwarnai dengan serangkaian ritual dan upacara adat yang kaya makna spiritual. Ritual-ritual ini berfungsi sebagai perekat budaya, memastikan kelangsungan nilai-nilai tradisional, dan menegaskan hubungan manusia dengan alam dan leluhur.
- Upacara Pembukaan Lahan: Permohonan izin kepada roh penjaga hutan dan leluhur sebelum menebang pohon.
- Upacara Penanaman Benih: Ritual untuk memohon kesuburan dan hasil panen yang melimpah, seringkali melibatkan sesaji dan doa.
- Upacara Panen Raya: Momen syukuran besar setelah panen, di mana hasil panen dibagikan, makanan dimakan bersama, dan berbagai pertunjukan seni (tari, musik, cerita) diselenggarakan sebagai bentuk terima kasih kepada alam dan leluhur. Ini juga merupakan momen untuk memperbaharui ikatan sosial dan merayakan keberhasilan bersama.
- Ritual Pemindahan Padi ke Lumbung: Padi yang telah dipanen dan dikeringkan dipindahkan ke lumbung dengan upacara khusus, menandakan keamanan cadangan pangan dan keberlangsungan hidup.
Pelestarian Identitas Budaya
Berhuma bukan hanya tentang produksi pangan, tetapi juga tentang pelestarian identitas budaya. Bahasa-bahasa lokal, cerita rakyat, lagu-lagu, tarian, dan kerajinan tangan seringkali berkaitan erat dengan siklus pertanian ini. Misalnya, ada lagu-lagu panen, tarian kesuburan, atau cerita tentang asal-usul padi yang diwariskan melalui praktik berhuma.
Dengan demikian, terganggunya praktik berhuma akibat tekanan modernisasi atau kebijakan yang tidak memahami konteks lokal, tidak hanya mengancam ketahanan pangan, tetapi juga merusak tatanan sosial, melunturkan kearifan lokal, dan mengikis identitas budaya suatu komunitas. Melestarikan berhuma berarti melestarikan sebuah cara hidup yang holistik dan berkelanjutan.
Dampak Ekologi Berhuma: Antara Stigma dan Realitas
Dampak ekologi dari praktik berhuma adalah topik yang seringkali menjadi bahan perdebatan. Di satu sisi, berhuma sering dituding sebagai penyebab utama deforestasi dan kerusakan lingkungan. Di sisi lain, para pendukungnya menekankan bahwa berhuma tradisional yang dilakukan dengan kearifan lokal justru merupakan sistem yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Penting untuk membedakan antara praktik berhuma tradisional yang bertanggung jawab dan perladangan ilegal yang merusak.
Dampak Negatif (jika tidak dilakukan sesuai kearifan lokal atau karena tekanan eksternal)
- Deforestasi dan Hilangnya Keanekaragaman Hayati: Ketika masa bera dipersingkat atau lahan dibuka di hutan primer karena tekanan penduduk yang meningkat atau kebijakan yang tidak tepat, siklus alami pemulihan hutan terganggu. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya habitat satwa liar dan keanekaragaman hayati.
- Erosi Tanah: Pembukaan lahan di lereng yang terlalu curam atau tanpa penanaman tanaman penutup tanah yang memadai dapat mempercepat erosi, terutama di daerah dengan curah hujan tinggi.
- Penurunan Kesuburan Tanah: Jika lahan terus-menerus ditanami tanpa masa bera yang cukup, tanah akan cepat kehabisan unsur hara dan menjadi tidak produktif.
- Kabut Asap (Haze): Pembakaran lahan, jika tidak terkontrol atau dilakukan pada musim kemarau ekstrem, dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan yang meluas, menghasilkan kabut asap lintas batas yang berdampak serius pada kesehatan dan lingkungan. Ini seringkali terjadi ketika praktik berhuma tradisional disalahgunakan atau dilakukan oleh pelaku non-adat yang tidak memiliki pengetahuan tentang pengendalian api.
- Perubahan Iklim Lokal: Deforestasi skala besar akibat perladangan berpindah yang tidak berkelanjutan dapat mempengaruhi pola curah hujan dan suhu lokal.
Dampak Positif (Berhuma Tradisional yang Berkelanjutan)
- Keanekaragaman Hayati dan Agroforestri: Berhuma tradisional adalah sistem polikultur yang kaya akan keanekaragaman hayati. Penanaman berbagai jenis tanaman pangan, obat, dan pohon buah-buahan di satu lahan menciptakan ekosistem mini yang lebih stabil dan tahan terhadap hama penyakit.
- Siklus Nutrien yang Alami: Pembakaran terkontrol melepaskan nutrisi ke tanah dalam bentuk abu, dan masa bera yang panjang memungkinkan vegetasi sekunder untuk mengumpulkan nutrisi kembali dari dalam tanah dan mengembalikan bahan organik. Ini adalah siklus alami tanpa input pupuk kimia.
- Pengelolaan Hutan Dinamis: Sistem berhuma tradisional menciptakan mosaik lanskap antara hutan primer, hutan sekunder, dan lahan pertanian aktif. Hutan sekunder di lahan bera berperan penting sebagai koridor satwa liar, penyerap karbon, dan sumber daya hutan non-kayu.
- Adaptasi Perubahan Iklim: Dengan varietas padi lokal yang tahan kekeringan dan sistem polikultur, berhuma memberikan ketahanan pangan dan adaptasi yang lebih baik terhadap variasi iklim dibandingkan pertanian monokultur modern.
- Konservasi Air dan Tanah: Pengetahuan lokal tentang pemilihan lokasi dan penanaman berbagai tanaman penutup tanah membantu mencegah erosi. Keberadaan hutan-hutan cadangan adat juga menjaga sumber mata air.
- Pencegahan Kebakaran Hutan: Ironisnya, masyarakat berhuma tradisional memiliki pengetahuan tentang penggunaan api secara aman. Mereka membuat sekat bakar alami dan mengelola vegetasi bawah, yang dapat berfungsi sebagai pencegahan kebakaran hutan yang tidak terkendali. Kebakaran besar seringkali terjadi di luar wilayah adat atau karena praktik non-adat yang tidak bertanggung jawab.
Membedakan Berhuma Tradisional dan Perladangan Destruktif
Kunci untuk memahami dampak ekologi berhuma adalah membedakan antara praktik tradisional dan praktik destruktif. Berhuma tradisional adalah sistem skala kecil, subsisten, yang dilakukan oleh komunitas adat dengan pengetahuan dan aturan yang ketat, termasuk masa bera yang panjang. Ia adalah bagian dari sistem pengelolaan hutan adat yang holistik.
Sebaliknya, perladangan destruktif seringkali berskala besar, ilegal, dan dilakukan oleh pendatang atau perusahaan yang tidak memiliki ikatan dengan lahan dan tidak menerapkan masa bera yang cukup. Motivasi utamanya adalah keuntungan ekonomi jangka pendek, bukan keberlanjutan. Pembakaran yang tidak terkontrol, pembukaan lahan di hutan primer yang tidak diizinkan adat, dan penanaman monokultur adalah ciri khas perladangan destruktif, yang seringkali salah dilabeli sebagai "berhuma".
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah dan masyarakat umum perlu lebih peka terhadap nuansa ini. Alih-alih melarang berhuma secara keseluruhan, pengakuan dan dukungan terhadap praktik berhuma tradisional yang berkelanjutan, serta perlindungan hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka, dapat menjadi strategi penting dalam konservasi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Tantangan Modern dan Masa Depan Berhuma
Di era modern yang serba cepat ini, praktik berhuma menghadapi berbagai tantangan kompleks yang mengancam keberlangsungan dan kelestariannya. Namun, di tengah tantangan tersebut, juga muncul peluang untuk revitalisasi dan adaptasi yang dapat menjamin masa depannya.
Tantangan Utama
1. Stigma Negatif dan Kebijakan Pemerintah yang Tidak Mendukung
Berhuma seringkali disalahpahami dan distigmatisasi sebagai praktik kuno, tidak efisien, dan penyebab deforestasi, kebakaran hutan, serta kemiskinan. Stigma ini seringkali diperkuat oleh kebijakan pemerintah yang mengabaikan atau bahkan melarang praktik berhuma, tanpa membedakan antara berhuma tradisional yang berkelanjutan dan perladangan ilegal yang merusak.
- Kriminalisasi Peladang: Banyak peladang adat menghadapi kriminalisasi karena dianggap merambah hutan atau menyebabkan kebakaran, padahal mereka menjalankan praktik yang sudah ada selama ribuan tahun dan secara turun-temurun.
- Program Modernisasi Pertanian: Pemerintah seringkali mendorong pertanian monokultur, penggunaan pupuk kimia, dan benih hibrida, yang tidak sesuai dengan konteks dan kearifan lokal berhuma.
2. Tekanan Demografi dan Keterbatasan Lahan
Pertumbuhan penduduk di wilayah adat dapat memperpendek masa bera (fallow period) karena kebutuhan lahan yang terus meningkat. Jika masa bera terlalu singkat, tanah tidak memiliki cukup waktu untuk pulih, yang menyebabkan penurunan kesuburan, produktivitas rendah, dan degradasi lingkungan.
3. Perambahan Lahan oleh Industri Skala Besar
Perusahaan perkebunan (sawit, HTI), pertambangan, dan infrastruktur seringkali merambah wilayah adat, menghancurkan hutan dan lahan berhuma. Ini tidak hanya menghilangkan sumber mata pencarian masyarakat adat, tetapi juga menghancurkan warisan budaya dan ekosistem yang rapuh.
4. Globalisasi dan Perubahan Sosial-Ekonomi
Pengaruh ekonomi pasar dan gaya hidup modern membuat generasi muda di komunitas adat kurang tertarik untuk melanjutkan praktik berhuma yang dianggap berat dan tidak menjanjikan secara ekonomi. Mereka cenderung mencari pekerjaan di kota atau di sektor lain yang dianggap lebih "modern".
- Perubahan Pola Konsumsi: Akses terhadap beras modern dan makanan instan lainnya mengurangi ketergantungan pada hasil panen padi ladang lokal.
- Hilangnya Pengetahuan Tradisional: Dengan berkurangnya generasi muda yang berhuma, pengetahuan dan kearifan lokal yang diwariskan secara lisan berisiko punah.
5. Perubahan Iklim
Perubahan pola cuaca, kekeringan yang lebih panjang, atau curah hujan yang tidak teratur, membuat praktik berhuma menjadi lebih tidak terduga dan berisiko. Meskipun masyarakat adat memiliki adaptasi yang tinggi, perubahan iklim ekstrem dapat melebihi kapasitas adaptasi mereka.
Peluang dan Masa Depan Berhuma
Meskipun menghadapi tantangan berat, berhuma memiliki potensi besar untuk berkontribusi pada pertanian berkelanjutan dan pelestarian budaya.
1. Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat
Pengakuan resmi terhadap hak ulayat dan wilayah adat sangat penting. Ini akan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat untuk mengelola lahan mereka sesuai dengan kearifan lokal, melindungi dari perambahan, dan mencegah kriminalisasi.
2. Revitalisasi Kearifan Lokal
Mendorong dan mendokumentasikan kearifan lokal terkait berhuma dapat membantu melestarikan pengetahuan tradisional. Program pendidikan lokal yang mengintegrasikan pengetahuan berhuma dalam kurikulum sekolah adat juga dapat menarik minat generasi muda.
- Fokus pada Agroekologi: Prinsip-prinsip agroekologi yang diterapkan dalam berhuma (polikultur, siklus nutrien alami, pengendalian hama hayati) sangat relevan dengan pertanian modern yang berkelanjutan.
- Konservasi Keanekaragaman Hayati: Bank benih lokal dan upaya pelestarian varietas padi ladang dapat membantu menjaga keanekaragaman genetik pangan global.
3. Inovasi dan Adaptasi yang Berbasis Komunitas
Alih-alih memaksakan modernisasi dari luar, dukungan harus diberikan kepada masyarakat adat untuk mengembangkan inovasi yang sesuai dengan konteks mereka. Ini bisa berupa:
- Penggunaan Teknologi Tepat Guna: Memperkenalkan alat-alat pertanian sederhana yang lebih efisien namun tetap ramah lingkungan dan selaras dengan tradisi.
- Pengembangan Pasar untuk Produk Huma: Membantu masyarakat adat memasarkan produk-produk huma mereka (misalnya beras merah/hitam lokal, tanaman obat) dengan nilai tambah yang lebih tinggi, sehingga meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan menarik minat generasi muda.
- Ekoturisme dan Edukasi: Mengembangkan model ekoturisme berbasis budaya yang memperkenalkan praktik berhuma kepada wisatawan dan memberikan sumber pendapatan tambahan.
4. Kolaborasi dan Dialog
Membangun dialog dan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, LSM, dan masyarakat adat untuk mengembangkan kebijakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Membuka ruang bagi masyarakat adat untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka dengan dunia luar.
Masa depan berhuma tidak harus berarti kembali ke masa lalu secara harfiah, tetapi lebih kepada mengambil inspirasi dari kearifan yang telah teruji waktu dan mengadaptasinya untuk menghadapi tantangan masa kini. Berhuma adalah lebih dari sekadar pertanian; ia adalah sebuah model kehidupan yang mengajarkan kita tentang kerendahan hati, keberlanjutan, dan hubungan yang mendalam dengan bumi.
Kesimpulan: Berhuma sebagai Warisan Berharga dan Sumber Inspirasi
Melalui perjalanan panjang mengarungi seluk-beluk berhuma, kita dapat menyimpulkan bahwa praktik pertanian tradisional ini jauh lebih kompleks dan berharga dari sekadar stigma yang seringkali melekat padanya. Berhuma, dalam bentuk tradisionalnya yang autentik dan berlandaskan kearifan lokal, adalah sebuah mahakarya ekologi dan budaya yang telah menopang kehidupan jutaan masyarakat adat di Nusantara selama ribuan generasi.
Kita telah melihat bagaimana berhuma bukan hanya sekadar teknik menanam padi di lahan kering, melainkan sebuah sistem pengetahuan holistik yang mengintegrasikan filosofi hidup yang mendalam, nilai-nilai sosial yang kuat seperti gotong royong dan kebersamaan, serta spiritualitas yang menghormati alam sebagai entitas hidup. Setiap tahapan prosesnya, dari pemilihan lahan hingga masa bera, diatur oleh kearifan lokal yang telah teruji, memungkinkan ekosistem untuk pulih dan mempertahankan kesuburan tanah secara alami. Keanekaragaman hayati yang kaya dalam sistem polikultur berhuma tidak hanya memastikan ketahanan pangan, tetapi juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekologis dan mengendalikan hama secara alami.
Alat-alat tradisional yang digunakan, meskipun sederhana, merepresentasikan hubungan yang intim antara manusia dan alam, di mana setiap pekerjaan dilakukan dengan hati-hati dan penuh hormat. Di balik setiap lugas parang dan ayunan tugal, terkandung sebuah etika lingkungan yang mengajarkan kita tentang batas-batas pemanfaatan sumber daya dan pentingnya masa pemulihan bagi alam.
Tentu, berhuma juga menghadapi tantangan besar di era modern, mulai dari stigma negatif, tekanan demografi, hingga perambahan lahan oleh industri ekstraktif. Namun, justru dalam menghadapi tantangan inilah, kearifan berhuma menawarkan solusi. Pengakuan hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat, revitalisasi pengetahuan lokal, serta inovasi yang berbasis komunitas dapat menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Pada akhirnya, berhuma adalah warisan berharga yang harus kita jaga. Ia bukan hanya sebuah praktik pertanian, melainkan sebuah cara hidup yang mengajarkan kita tentang harmoni, keselarasan, dan keberlanjutan. Dalam setiap butir padi ladang yang dipanen, dalam setiap siklus bera yang memulihkan hutan, terdapat pelajaran berharga bagi kita semua yang hidup di tengah krisis iklim dan pangan global. Berhuma adalah inspirasi untuk merangkul kembali hubungan yang lebih dalam dengan bumi, bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari jaring kehidupan yang agung.