Dalam bentangan sejarah peradaban manusia, konsep "berdikari" senantiasa muncul sebagai pilar fundamental bagi eksistensi dan kemajuan suatu bangsa. Berdikari, atau berdiri di atas kaki sendiri, bukan sekadar sebuah slogan patriotik, melainkan sebuah filosofi hidup yang mendalam, mencakup seluruh aspek kehidupan mulai dari individu, masyarakat, hingga negara. Ia adalah manifestasi dari kedaulatan, martabat, dan kemampuan untuk menentukan nasib sendiri tanpa ketergantungan yang berlebihan pada pihak lain.
Di tengah pusaran globalisasi yang kian kompleks, di mana interkonektivitas menjadi norma baru dan tantangan global silih berganti hadir, seruan untuk berdikari menjadi semakin relevan dan mendesak. Globalisasi, dengan segala kemudahan akses informasi, teknologi, dan pasar, juga membawa serta risiko ketergantungan yang dapat mengikis otonomi dan ketahanan suatu bangsa. Oleh karena itu, memahami, menghayati, dan mengimplementasikan nilai-nilai berdikari adalah kunci untuk menjaga kemandirian serta mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan.
Artikel ini akan menelusuri secara komprehensif makna, sejarah, dimensi, manfaat, serta tantangan dalam mewujudkan berdikari di berbagai sektor. Kita akan melihat bagaimana berdikari bukan hanya tentang ekonomi atau politik, melainkan juga merambah ke ranah sosial, budaya, dan teknologi. Lebih jauh, kita akan membahas strategi-strategi konkret yang dapat ditempuh oleh pemerintah, masyarakat, dan individu untuk menumbuhkan dan memperkuat semangat berdikari dalam menghadapi dinamika dunia yang terus berubah.
Berdikari berasal dari frasa "berdiri di atas kaki sendiri". Secara etimologis, makna ini sangat lugas: kemampuan untuk menopang diri tanpa bantuan eksternal yang esensial. Namun, dalam konteks kenegaraan dan sosial, berdikari memiliki spektrum makna yang jauh lebih luas dan mendalam. Ini bukan tentang isolasi atau anti-kerjasama, melainkan tentang kapasitas intrinsik untuk mengambil keputusan, mengelola sumber daya, dan memecahkan masalah dengan kekuatan dan kearifan sendiri.
Berdikari mencerminkan kematangan. Sama seperti seorang individu yang matang mampu bertanggung jawab atas hidupnya, sebuah bangsa yang berdikari adalah bangsa yang mampu mengelola rumah tangganya sendiri secara mandiri. Ini berarti memiliki kapasitas untuk memproduksi kebutuhan pokoknya, menjaga stabilitas politiknya, mengembangkan kebudayaannya, dan berinovasi dalam teknologi. Berdikari adalah fondasi bagi kedaulatan penuh, di mana setiap kebijakan dan tindakan diambil berdasarkan kepentingan nasional yang murni, bukan karena tekanan atau ketergantungan pada kekuatan asing.
Lebih dari itu, berdikari juga memupuk rasa percaya diri kolektif. Ketika suatu bangsa berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri, membangun kapasitasnya sendiri, dan mencapai prestasi dengan usaha sendiri, muncullah kebanggaan dan optimisme yang menjadi energi penggerak pembangunan. Rasa percaya diri ini sangat krusial dalam menghadapi tantangan eksternal dan internal, memungkinkan bangsa untuk melihat peluang di balik setiap kesulitan dan berani mengambil langkah-langkah inovatif.
Inti Berdikari: Kemandirian sejati bukanlah menolak interaksi, melainkan memastikan bahwa interaksi tersebut didasarkan pada kesetaraan dan kepentingan bersama, bukan pada dominasi atau ketergantungan.
Konsep berdikari bukanlah hal baru di Indonesia. Ia adalah bagian integral dari narasi kebangsaan, terutama di era awal kemerdekaan. Presiden Soekarno adalah salah satu tokoh yang secara gencar menyerukan semangat berdikari. Dalam konteks pasca-kolonial, di mana Indonesia baru saja bangkit dari penjajahan dan dihadapkan pada upaya-upaya imperialisme baru serta intervensi asing, berdikari menjadi sebuah manifesto politik dan ekonomi yang krusial.
Pada masa itu, slogan seperti "Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam Ekonomi, Berkepribadian dalam Kebudayaan" atau yang lebih dikenal dengan "Trisakti" menjadi landasan bagi arah pembangunan bangsa. Tujuannya jelas: mencegah Indonesia kembali terperangkap dalam cengkeraman kekuasaan asing, baik secara politik, ekonomi, maupun budaya. Indonesia harus mampu menentukan arah kebijakannya sendiri, mengelola sumber dayanya sendiri, dan mengembangkan identitasnya sendiri.
Panggilan berdikari ini termanifestasi dalam berbagai kebijakan. Di sektor ekonomi, misalnya, ada dorongan kuat untuk swasembada pangan, industrialisasi dalam negeri, dan pengurangan ketergantungan pada produk impor. Di sektor politik, Indonesia aktif dalam Gerakan Non-Blok, menegaskan posisi independennya di tengah Perang Dingin. Sementara itu, di sektor kebudayaan, ada upaya revitalisasi seni, bahasa, dan nilai-nilai lokal untuk membangun identitas nasional yang kuat dan tidak tercerabut dari akar budayanya.
Meskipun perjalanan berdikari memiliki pasang surutnya, semangatnya tetap relevan hingga kini. Setiap generasi memiliki tantangan uniknya sendiri dalam menerjemahkan dan mengimplementasikan nilai-nilai berdikari sesuai dengan konteks zaman. Namun, fondasi yang diletakkan oleh para pendiri bangsa mengenai pentingnya kemandirian adalah sebuah warisan yang tak ternilai harganya.
Berdikari bukanlah sebuah konsep tunggal, melainkan sebuah payung besar yang menaungi berbagai dimensi kehidupan. Untuk benar-benar menjadi bangsa yang berdikari, kemandirian harus diwujudkan dalam berbagai sektor secara holistik dan terintegrasi.
Dimensi ekonomi seringkali menjadi tolok ukur utama bagi kemandirian suatu bangsa. Berdikari ekonomi berarti kemampuan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya, mengelola sumber daya alamnya secara optimal, mengembangkan industri dalam negeri, serta mengurangi ketergantungan pada pihak asing dalam hal modal, teknologi, dan pasar.
Berdikari politik adalah kemampuan suatu negara untuk menjalankan kedaulatannya secara penuh, menentukan kebijakan dalam dan luar negeri tanpa intervensi atau tekanan dari negara lain. Ini adalah inti dari sebuah negara merdeka.
Berdikari tidak lengkap tanpa kemandirian sosial dan budaya. Ini adalah tentang kemampuan suatu bangsa untuk menjaga, mengembangkan, dan mempromosikan identitas budayanya sendiri, serta membangun masyarakat yang kuat dan berdaya.
Di era digital dan informasi, berdikari teknologi menjadi sangat krusial. Ini adalah kemampuan suatu bangsa untuk mengembangkan, menguasai, dan memanfaatkan teknologi secara mandiri untuk kemajuan dan kesejahteraan.
Mewujudkan berdikari membawa segudang manfaat yang esensial bagi pembangunan dan keberlangsungan suatu bangsa. Manfaat ini tidak hanya bersifat material, tetapi juga immaterial, membentuk karakter dan martabat bangsa.
Ini adalah manfaat paling mendasar. Ketika sebuah bangsa berdikari, ia memiliki kontrol penuh atas nasibnya sendiri. Keputusan-keputusan penting diambil berdasarkan kepentingan nasional, bukan atas desakan atau kepentingan asing. Hal ini menjaga martabat bangsa di mata dunia, menempatkannya pada posisi yang setara dalam pergaulan internasional, bukan sebagai pengikut.
Berdikari ekonomi, misalnya, melalui pengembangan industri lokal dan ketahanan pangan, secara langsung berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, dan stabilitas harga. Ini semua muaranya adalah peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata.
Bangsa yang berdikari memiliki ketahanan yang lebih baik dalam menghadapi gejolak dan krisis global, seperti krisis ekonomi, pandemi, atau konflik geopolitik. Dengan sumber daya dan kapasitas internal yang kuat, dampak dari krisis eksternal dapat diminimalisir.
Semangat berdikari mendorong bangsa untuk tidak mudah menyerah dan terus mencari solusi atas permasalahannya sendiri. Ini memupuk iklim inovasi dan kreativitas, melahirkan ide-ide baru, produk-produk baru, dan solusi-solusi orisinal yang relevan dengan konteks lokal.
Ketika suatu bangsa mampu mengatasi tantangannya sendiri, membangun dengan kekuatannya sendiri, dan mencapai kemajuan dengan usahanya sendiri, akan tumbuh rasa percaya diri kolektif yang tinggi. Ini adalah modal psikologis yang sangat berharga untuk terus melaju dan menghadapi masa depan dengan optimisme.
Dengan fokus pada pengembangan kapasitas internal, berdikari mendorong pembangunan yang lebih merata di seluruh wilayah, tidak hanya terpusat pada beberapa daerah tertentu. Ini membantu mengurangi kesenjangan antarwilayah dan antarkelompok masyarakat.
Mewujudkan berdikari bukanlah perkara mudah. Ada banyak tantangan, baik dari dalam maupun luar, yang harus dihadapi dan diatasi secara strategis.
Di era globalisasi, tidak ada negara yang bisa benar-benar terisolasi. Keterkaitan ekonomi, politik, dan sosial antarnegara begitu kuat, sehingga keputusan di satu belahan dunia bisa berdampak pada yang lain. Tantangannya adalah bagaimana menjaga kemandirian di tengah interdependensi ini, tanpa jatuh pada isolasionisme yang kontraproduktif.
Banyak sektor industri dan teknologi global didominasi oleh perusahaan-perusahaan raksasa dari negara-negara maju. Hal ini menyulitkan bagi negara berkembang untuk membangun kapasitasnya sendiri, karena harus bersaing dengan produk dan teknologi yang sudah matang dan memiliki skala ekonomi yang besar.
Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, masih ada preferensi terhadap produk-produk impor, seringkali didorong oleh persepsi kualitas atau gengsi. Mentalitas konsumtif ini menghambat pertumbuhan industri dalam negeri dan mengikis semangat berdikari.
Korupsi dan birokrasi yang tidak efisien adalah penghambat utama bagi upaya berdikari. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan peningkatan kapasitas internal justru bocor, sementara regulasi yang rumit menghambat inovasi dan investasi dalam negeri.
Kurangnya tenaga ahli di bidang-bidang strategis, tingkat pendidikan yang belum merata, serta infrastruktur yang belum memadai (terutama di daerah terpencil) menjadi tantangan serius dalam membangun kapasitas berdikari.
Perpecahan sosial, konflik ideologi, atau kesenjangan yang ekstrem dapat mengikis persatuan dan semangat kolektif yang esensial untuk berdikari. Berdikari membutuhkan solidaritas dan tujuan bersama.
Untuk menghadapi tantangan-tantangan di atas, diperlukan strategi yang komprehensif dan terkoordinasi, melibatkan peran aktif dari pemerintah, masyarakat, dan setiap individu.
Pemerintah memegang peran sentral sebagai perumus kebijakan, regulator, dan fasilitator dalam upaya berdikari.
Masyarakat adalah subjek utama dari berdikari. Tanpa dukungan dan partisipasi aktif masyarakat, upaya berdikari akan sia-sia.
Berdikari dimulai dari setiap individu. Individu yang mandiri secara pribadi akan berkontribusi pada kemandirian bangsa.
Dunia terus bergerak dan berubah dengan sangat cepat. Konsep berdikari pun harus terus beradaptasi agar tetap relevan. Di masa depan, tantangan dan peluang berdikari akan semakin kompleks, terutama dengan kemajuan teknologi dan isu-isu global.
Revolusi industri 4.0 dan era digital menuntut berdikari dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi. Ini berarti kemampuan untuk mengembangkan software, hardware, dan infrastruktur digital sendiri, serta melindungi data dan kedaulatan siber dari ancaman luar. Membangun ekosistem startup teknologi lokal yang kuat adalah kunci.
AI dan otomatisasi akan mengubah lanskap pekerjaan dan industri secara fundamental. Berdikari di sini berarti kemampuan untuk mengembangkan dan mengaplikasikan AI sesuai kebutuhan lokal, serta mempersiapkan sumber daya manusia agar tidak tertinggal dan justru menjadi pencipta, bukan hanya pengguna teknologi. Ini juga berarti kemampuan untuk secara etis mengelola implikasi sosial dari teknologi tersebut.
Perubahan iklim adalah ancaman eksistensial global. Berdikari di masa depan juga berarti kemandirian dalam energi terbarukan, ketahanan pangan yang adaptif terhadap perubahan iklim, serta kemampuan untuk mengembangkan teknologi hijau dan solusi berkelanjutan untuk lingkungan.
Berdikari bukan berarti isolasi, melainkan kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia luar dari posisi yang kuat dan setara. Ini berarti menjalin kerjasama internasional yang strategis, berdasarkan prinsip saling menghormati dan menguntungkan, serta berkontribusi pada penyelesaian masalah global sebagai mitra yang bertanggung jawab.
Membangun kekuatan lunak (soft power) melalui diplomasi budaya, pariwisata, dan kontribusi intelektual juga merupakan bagian dari berdikari yang memungkinkan suatu bangsa memiliki pengaruh tanpa harus mendominasi.
Berdikari adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir. Ia adalah proses berkelanjutan yang menuntut komitmen, adaptasi, dan kerja keras dari seluruh elemen bangsa. Mengukir kemandirian sejati memerlukan visi yang jelas, kepemimpinan yang kuat, kebijakan yang berpihak pada rakyat, serta partisipasi aktif dari setiap individu.
Dalam setiap aspeknya – ekonomi, politik, sosial, budaya, dan teknologi – semangat berdikari adalah fondasi utama untuk membangun bangsa yang berdaulat, bermartabat, adil, dan sejahtera. Di tengah dinamika global yang tak menentu, berpegang teguh pada prinsip berdikari akan menjadi kompas yang memandu bangsa untuk tetap tegak berdiri, menghadapi badai, dan menorehkan prestasi gemilang di panggung dunia.
Mari bersama-sama, dengan semangat gotong royong dan rasa percaya diri, kita wujudkan Indonesia yang benar-benar berdikari, berdiri gagah di atas kakinya sendiri, menjadi mercusuar bagi kemanusiaan dan keadilan universal.