Bende: Gema Abadi Instrumen Logam Nusantara

Ilustrasi Bende Sebuah instrumen musik bende, menyerupai gong kecil dengan penonjolan di tengah.

Di antara riuhnya melodi gamelan dan dentuman perkusi tradisional, terdapat sebuah instrumen yang seringkali luput dari sorotan utama namun memiliki peran tak tergantikan dalam khazanah budaya Nusantara: Bende. Instrumen perkusi logam ini, dengan wujudnya yang menyerupai gong kecil, bukan sekadar penanda ritme; ia adalah penjaga tradisi, pembawa pesan spiritual, dan simbolisasi dari kedalaman sejarah yang tak lekang oleh waktu. Dari pelosok desa hingga panggung kerajaan, bende telah mengukir jejaknya dalam berbagai upacara adat, ritual keagamaan, bahkan sebagai alat komunikasi yang esensial. Artikel ini akan membawa Anda menelusuri seluk-beluk bende, dari asal-usulnya yang purba, proses pembuatannya yang sarat kearifan lokal, hingga maknanya yang multidimensional dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Definisi dan Asal-Usul Kata

Secara etimologi, kata "bende" memiliki akar kata yang mungkin berasal dari bahasa Jawa Kuno atau Melayu lama, merujuk pada benda logam yang dipukul untuk menghasilkan suara. Dalam pengertian yang lebih spesifik, bende adalah instrumen perkusi jenis gong kecil atau simbal tangan yang terbuat dari perunggu atau kuningan. Bentuknya umumnya bundar pipih dengan sebuah penonjolan (disebut pencu atau ganthol) di bagian tengah, tempat pemukulan dilakukan. Ukurannya bervariasi, dari beberapa belas sentimeter hingga sekitar 30-40 sentimeter diameter.

Meskipun sering disamakan dengan gong, bende memiliki karakteristik suara dan fungsi yang berbeda. Gong umumnya berukuran jauh lebih besar, menghasilkan suara bernada rendah dengan gema yang panjang, dan berperan sebagai penanda struktur lagu atau penutup frasa musikal dalam gamelan. Bende, di sisi lain, menghasilkan suara yang lebih tinggi, nyaring, dan sustain-nya lebih pendek. Ia lebih sering berfungsi sebagai penanda irama yang teratur, pemberi aksen pada bagian-bagian tertentu dalam musik, atau bahkan sebagai alat pemberi isyarat yang jelas dan mudah dikenali.

Kehadiran bende dapat ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia, masing-masing dengan variasi nama lokal, bentuk, dan fungsi yang khas. Di Jawa, ia dikenal sebagai bende atau kempul kecil. Di Bali, instrumen serupa juga digunakan dalam ansambel gamelan dengan nama dan peran yang sedikit berbeda. Keberagaman ini menunjukkan betapa integralnya bende dalam mozaik kebudayaan Nusantara, beradaptasi dengan dialek musikal dan ritual setempat namun tetap mempertahankan esensi dasar sebagai instrumen perkusi logam yang memiliki resonansi.

Sebagai instrumen yang relatif portabel, bende dapat dimainkan dengan digantung pada sebuah tali atau dipegang dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memegang pemukul (disebut tabuh). Pemukulnya biasanya terbuat dari kayu dengan ujung yang dilapisi kain tebal atau karet untuk menghasilkan suara yang empuk namun tetap jelas. Pilihan material pemukul juga sangat mempengaruhi karakteristik suara yang dihasilkan, dari suara yang lebih tajam hingga suara yang lebih lembut dan bergaung.

Pemahaman mengenai bende tidak dapat dilepaskan dari konteksnya sebagai bagian dari tradisi lisan dan ritual yang telah diwariskan secara turun-temurun. Ia bukan hanya objek mati, melainkan entitas yang bernyawa dengan cerita, mitos, dan kepercayaan yang melekat padanya. Setiap denting bende adalah gema dari masa lalu, suara yang menghubungkan generasi sekarang dengan nenek moyang mereka, serta dengan alam semesta yang luas.

Jejak Sejarah: Bende dari Masa Lalu hingga Kini

Menjelajahi sejarah bende adalah seperti menyelami samudra waktu, mengikuti arus peradaban Nusantara yang kaya. Kehadiran instrumen perkusi logam telah ada jauh sebelum era kerajaan-kerajaan besar, mengakar pada masa prasejarah ketika manusia mulai menemukan dan mengolah logam.

Era Prasejarah dan Proto-Sejarah: Bukti Awal Kehidupan Logam

Para arkeolog dan sejarawan percaya bahwa cikal bakal bende, atau setidaknya instrumen gong-simbal primitif, sudah ada sejak zaman perunggu di Asia Tenggara, khususnya terkait dengan kebudayaan Dong Son yang berkembang sekitar 1000 SM hingga 1 Masehi. Kebudayaan ini terkenal dengan produksi artefak perunggu yang canggih, termasuk drum perunggu (nekara) yang seringkali dihiasi dengan motif-motif geometris dan figuratif.

Meskipun bende bukanlah nekara, namun teknologi metalurgi yang digunakan untuk membuat nekara sangat mungkin menjadi dasar bagi pembuatan instrumen gong-simbal yang lebih kecil dan sederhana seperti bende. Penemuan sisa-sisa perunggu dan alat-alat penempaan di situs-situs arkeologi di Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara telah memiliki keahlian dalam mengolah logam sejak ribuan tahun yang lalu. Pada masa ini, instrumen logam mungkin tidak hanya berfungsi sebagai alat musik, tetapi juga sebagai penanda status sosial, alat upacara, atau bahkan alat barter.

Fungsi awal bende kemungkinan besar terkait dengan kebutuhan akan komunikasi jarak jauh, seperti memanggil penduduk desa, memberi peringatan bahaya, atau mengiringi ritual-ritual komunal. Suara nyaringnya yang khas mampu menembus batas-batas geografis dan menyatukan komunitas dalam suatu ritus atau aktivitas sosial.

Periode Kerajaan Hindu-Buddha: Simbol Kemegahan dan Upacara Keagamaan

Puncak kejayaan bende sebagai instrumen kebudayaan terjadi selama periode kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara, seperti Sriwijaya, Mataram Kuno, dan Majapahit. Dalam prasasti-prasasti dan relief candi, meskipun tidak secara eksplisit menggambarkan bende, namun penggambaran ansambel musik dan upacara-upacara keagamaan seringkali menyertakan instrumen perkusi logam yang mengindikasikan keberadaan instrumen serupa gong.

Pada masa ini, bende kemungkinan besar digunakan dalam upacara keagamaan yang megah, mengiringi prosesi para raja dan bangsawan, atau sebagai bagian dari pertunjukan seni istana. Suaranya yang jernih dan berwibawa menambah kekhidmatan suasana, memberikan dimensi sakral pada setiap ritual. Bende juga mungkin digunakan dalam konteks kemiliteran, sebagai alat untuk memberi komando atau menandai pergerakan pasukan, sebuah fungsi yang mengingatkan pada penggunaannya di kemudian hari sebagai alat pengumpul massa.

Ekspansi kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit juga turut menyebarkan pengaruh bende ke berbagai pelosok Nusantara. Pedagang, seniman, dan misionaris membawa serta instrumen ini, yang kemudian beradaptasi dengan budaya lokal dan melahirkan variasi-variasi baru. Di sinilah bende mulai mengakar kuat dalam identitas kultural berbagai suku bangsa.

Periode Islam dan Kolonial: Adaptasi dan Transformasi

Ketika Islam masuk ke Nusantara, bende tetap mempertahankan perannya, meskipun mungkin mengalami pergeseran fungsi atau interpretasi. Dalam beberapa tradisi Islam lokal, bende mungkin digunakan untuk menandai waktu shalat atau sebagai bagian dari musik pengiring perayaan hari besar Islam, menggantikan atau berdampingan dengan instrumen yang sudah ada. Fleksibilitas bende untuk beradaptasi dengan konteks budaya baru adalah salah satu kunci kelangsungan hidupnya.

Pada masa kolonial Belanda, bende seringkali dilihat oleh para penjajah sebagai bagian dari "musik primitif" atau sekadar artefak eksotis. Namun, di balik pandangan tersebut, bende terus hidup dan berfungsi dalam komunitas-komunitas adat. Bahkan, dalam beberapa kasus, bende digunakan oleh masyarakat pribumi sebagai alat untuk mengumpulkan massa dalam perlawanan terhadap penjajah, atau untuk mengumumkan berita penting yang menyebar dari satu desa ke desa lain, terlepas dari pengawasan kolonial.

Masa ini juga menjadi saksi dokumentasi awal bende oleh etnomusikolog atau peneliti Barat, yang mulai mengumpulkan dan mengkatalogisasi instrumen musik tradisional Indonesia. Dokumentasi ini, meskipun seringkali disertai bias kolonial, memberikan gambaran berharga tentang keberadaan dan penggunaan bende pada masa itu.

Masa Kemerdekaan dan Modern: Pelestarian dan Tantangan

Setelah Indonesia merdeka, bende, bersama instrumen tradisional lainnya, mengalami kebangkitan sebagai simbol identitas bangsa. Pemerintah dan lembaga kebudayaan mulai aktif dalam upaya pelestarian. Bende diajarkan di sekolah-sekolah seni, dipamerkan di museum, dan digunakan kembali dalam pertunjukan seni modern.

Namun, di era modern ini, bende juga menghadapi tantangan besar. Arus globalisasi dan dominasi musik populer membuat instrumen tradisional seperti bende semakin terpinggirkan. Generasi muda kurang tertarik untuk mempelajari dan melestarikannya. Selain itu, kelangkaan bahan baku berkualitas, terutama perunggu, dan berkurangnya jumlah pengrajin ahli yang menguasai teknik pembuatan bende secara tradisional, mengancam keberlangsungan instrumen ini.

Meskipun demikian, semangat untuk melestarikan bende tidak pernah padam. Banyak komunitas adat, sanggar seni, dan individu yang gigih terus memperjuangkan keberadaannya. Mereka mengadakan lokakarya, festival, dan pertunjukan yang menampilkan bende, serta mendokumentasikan pengetahuan tradisional yang terkait dengannya. Bende tidak hanya dilihat sebagai warisan masa lalu, tetapi juga sebagai inspirasi untuk inovasi musik di masa kini dan yang akan datang.

Sejarah bende adalah cerminan dari sejarah peradaban manusia di Nusantara. Ia telah menyaksikan berbagai pergolakan, perubahan, dan evolusi. Setiap dentingnya adalah jejak dari perjalanan panjang, sebuah kisah yang terus diceritakan melalui resonansi logam yang abadi.

Anatomi Bende: Struktur, Material, dan Suara

Memahami bende tidak lengkap tanpa menyelami anatomi fisiknya, material yang membentuknya, dan bagaimana semua elemen ini berkontribusi pada suara khas yang dihasilkannya. Proses pembuatannya adalah warisan kearifan lokal yang mengintegrasikan ilmu metalurgi, seni, dan filosofi.

Material: Jiwa yang Terkandung dalam Logam

Sebagian besar bende tradisional terbuat dari perunggu, sebuah paduan logam yang mengandung tembaga dan timah. Pilihan perunggu bukan tanpa alasan. Tembaga memberikan kekenyalan dan kemudahan untuk ditempa, sementara timah memberikan kekerasan dan kemampuan untuk menghasilkan resonansi suara yang baik. Rasio tembaga dan timah sangat krusial; setiap pengrajin memiliki "resep" rahasia yang telah diwariskan turun-temurun, yang akan mempengaruhi kualitas suara, kekerasan, dan keawetan bende.

Selain komposisi, kualitas bahan baku tembaga dan timah itu sendiri juga mempengaruhi hasil akhir. Pengrajin yang berpengalaman akan memilih bahan baku yang murni dan bebas dari kontaminan untuk memastikan kualitas suara yang optimal.

Proses Pembuatan Tradisional: Ritual Seni dan Ilmu

Pembuatan bende secara tradisional adalah proses yang rumit, memakan waktu, dan seringkali dianggap sebagai ritual yang melibatkan konsentrasi penuh, ketelitian, dan bahkan aspek spiritual. Ada dua metode utama: penuangan (casting) dan penempaan (forging).

Peleburan dan Penuangan (untuk bende cetak)

  1. Persiapan Cetakan: Cetakan biasanya dibuat dari tanah liat khusus yang dicampur dengan pasir dan sekam padi untuk daya tahan panas dan kemampuan menahan bentuk. Cetakan dibentuk sesuai desain bende, lengkap dengan bagian pencu.
  2. Peleburan Logam: Perunggu dilebur dalam tungku api yang sangat panas, seringkali menggunakan arang kayu jati sebagai bahan bakar untuk mencapai suhu yang sangat tinggi dan stabil. Proses peleburan ini bisa memakan waktu berjam-jam. Para pengrajin harus sangat berhati-hati dalam menjaga suhu agar logam melebur sempurna tanpa terlalu banyak oksidasi.
  3. Penuangan: Logam cair kemudian dituangkan dengan hati-hati ke dalam cetakan yang telah disiapkan. Momen ini adalah krusial; penuangan harus dilakukan dengan cepat dan stabil untuk menghindari cacat pada bende.
  4. Pendinginan dan Pembukaan Cetakan: Setelah dituangkan, cetakan dibiarkan dingin secara perlahan. Proses pendinginan yang lambat penting untuk memastikan struktur kristal logam yang baik, yang akan mempengaruhi kualitas suara. Setelah dingin, cetakan dipecah untuk mengeluarkan bende mentah.

Penempaan (untuk bende tempa)

  1. Penyiapan Logam Dasar: Lembaran logam perunggu yang sudah dipadukan (biasanya dengan perbandingan tembaga-timah tertentu) dipanaskan hingga membara dalam tungku.
  2. Penempaan Awal: Ketika logam sudah merah membara dan lunak, para pengrajin mulai memukuli lembaran tersebut dengan palu besar di atas landasan. Proses ini bertujuan untuk membentuk bende menjadi bentuk cakram pipih. Pemukulan harus merata dan dilakukan dengan irama tertentu.
  3. Pembentukan Pencu: Bagian tengah bende, yaitu pencu, dibentuk secara bertahap melalui pemukulan yang lebih terfokus pada titik pusat. Proses ini membutuhkan ketelitian tinggi agar pencu memiliki bentuk dan ketebalan yang tepat untuk menghasilkan suara yang diinginkan.
  4. Penipisan dan Perataan: Setelah bentuk dasar terbentuk, bende dipanaskan kembali dan dipukuli lagi secara berulang untuk menipiskan bagian tepi dan meratakan permukaan. Ini adalah tahap yang sangat penting untuk mencapai resonansi yang baik.
  5. Penalaan Awal: Selama proses penempaan, pengrajin secara berkala akan memukul bende dan mendengarkan suaranya. Mereka akan menyesuaikan ketebalan dan bentuk dengan terus memukul dan menghaluskan bagian-bagian tertentu untuk mencapai nada yang diinginkan.

Baik dengan penuangan maupun penempaan, setelah proses pembentukan, bende akan melalui tahap pembersihan, penghalusan permukaan, dan terkadang diukir dengan motif-motif tradisional yang indah, menambah nilai estetika pada instrumen tersebut.

Bagian-bagian Bende: Anatomi Sebuah Resonansi

Bende memiliki struktur yang relatif sederhana namun setiap bagiannya memiliki peran vital dalam menghasilkan suara.

Karakteristik Suara: Gema yang Menggugah

Suara bende memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari instrumen perkusi logam lainnya. Ini adalah suara yang nyaring, jernih, dan memiliki gema yang cukup panjang (sustain), namun tidak sepanjang gong besar.

Faktor-faktor yang memengaruhi karakteristik suara bende sangat kompleks, meliputi:

Setiap bende adalah unik, memiliki "jiwa" dan karakter suara tersendiri, mencerminkan keterampilan dan dedikasi pengrajin yang menciptakannya. Mereka bukan sekadar benda, melainkan karya seni yang hidup, yang terus bernyanyi sepanjang zaman.

Bende dalam Pelukan Budaya: Simbolisme dan Fungsi

Bende bukanlah sekadar instrumen musik; ia adalah penjaga budaya, pembawa pesan, dan jembatan antara dunia fisik dan spiritual. Perannya jauh melampaui ranah estetika, meresap ke dalam sendi-sendi kehidupan sosial, politik, dan keagamaan masyarakat Nusantara.

Alat Komunikasi dan Tanda: Bahasa Dentingan Logam

Sebelum era teknologi modern, bende adalah salah satu alat komunikasi yang paling efektif dan jangkauannya luas, terutama di masyarakat pedesaan. Suaranya yang nyaring dan khas dapat didengar dari jarak jauh, menjadikannya ideal untuk berbagai keperluan:

Melalui pola dan ritme tertentu, bende mampu "berbicara" kepada masyarakat, menyampaikan informasi tanpa kata-kata, yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang tumbuh dalam tradisi tersebut. Ini menunjukkan kompleksitas sistem komunikasi non-verbal yang dibangun di sekitar instrumen ini.

Instrumen Ritual dan Upacara: Penghubung Dunia Fana dan Spiritual

Inilah peran paling sakral dari bende. Dalam banyak kebudayaan Nusantara, bende adalah elemen kunci dalam berbagai ritual dan upacara, bertindak sebagai mediator antara manusia dan kekuatan spiritual.

Setiap ritme dan frekuensi dentingan bende dalam upacara memiliki makna mendalam yang hanya dipahami oleh para pemimpin adat atau pemuka agama. Ini adalah bahasa suci yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi.

Simbol Status dan Kekuatan: Warisan yang Berbicara

Kepemilikan bende, terutama yang kuno dan diyakini memiliki kekuatan magis, seringkali menjadi simbol status sosial, kekayaan, dan kekuatan dalam masyarakat tradisional. Bende warisan leluhur dapat dianggap sebagai pusaka yang tak ternilai harganya.

Media Ekspresi Artistik: Estetika dalam Dentingan

Selain fungsi ritual dan komunikasinya, bende juga memiliki nilai estetika yang tinggi sebagai media ekspresi artistik. Tidak jarang bende dihiasi dengan ukiran yang rumit, motif-motif tradisional yang sarat makna, atau bahkan dilapisi dengan material berharga.

Dengan demikian, bende adalah cerminan kompleksitas budaya Nusantara, di mana seni, spiritualitas, dan kehidupan sehari-hari terjalin erat dalam setiap dentingan logamnya. Ia adalah suara yang tak hanya didengar, tetapi juga dirasakan, diyakini, dan dihormati.

Harmoni Bende dalam Musik Nusantara

Dalam lanskap musik tradisional Indonesia, bende adalah instrumen yang memiliki peran ritmis yang penting, meskipun terkadang tidak sepopuler gong besar atau melodi saron. Namun, tanpa kehadirannya, banyak ansambel musik akan kehilangan warna dan struktur ritmisnya yang khas. Bende berfungsi sebagai penanda aksen, pemberi penekanan pada frasa, dan pengisi ruang sonik dengan resonansinya yang jernih.

Dalam Gamelan Jawa: Penjaga Irama dan Aksentuasi

Dalam ansambel gamelan Jawa, instrumen yang mirip dengan bende sering disebut sebagai kempul atau gong suwukan (gong kecil). Peran utamanya adalah sebagai penanda struktur lagu (gongan) dan memberikan aksen pada irama tertentu. Meskipun kempul lebih sering merujuk pada jenis gong gantung yang sedikit lebih besar dan bersuara lebih rendah dari bende murni, karakteristik dasar dan fungsinya memiliki kesamaan.

Pemain kempul harus memiliki kepekaan ritmis yang tinggi untuk menempatkan pukulan dengan tepat, karena ketepatan waktu adalah kunci dalam musik gamelan. Kesalahan dalam membunyikan kempul bisa mengganggu keutuhan struktur lagu.

Dalam Gamelan Bali: Warna Suara yang Ceria

Gamelan Bali memiliki karakter yang lebih cepat, dinamis, dan kompleks dibandingkan gamelan Jawa. Di Bali, instrumen gong kecil yang mirip bende juga ditemukan, seringkali disebut sebagai reyong (serangkaian gong-gong kecil yang diletakkan berjajar dan dimainkan oleh beberapa orang) atau gong-gong kecil lainnya yang digantung.

Musik Bali yang berenergi tinggi membutuhkan instrumen dengan suara yang jernih dan dapat memotong, dan bende atau gong kecil memenuhi kebutuhan tersebut dengan sempurna.

Dalam Gamelan Sunda dan Ansambel Lainnya: Keberagaman Fungsi

Di Jawa Barat, dalam gamelan Sunda, instrumen serupa juga digunakan, seringkali dengan fungsi yang sama sebagai penanda irama dan aksen.

Teknik Memainkan: Seni Pukulan dan Penempatan

Meskipun bende terlihat sederhana, teknik memainkannya membutuhkan kepekaan dan latihan. Pemain bende (sering disebut penabuh) menggunakan pemukul (tabuh) yang biasanya terbuat dari kayu dengan ujung yang dilapisi kain, karet, atau serat. Pilihan tabuh sangat mempengaruhi suara:

Posisi memukul juga penting. Memukul tepat di tengah pencu akan menghasilkan suara yang paling jernih dan penuh. Memukul sedikit ke samping dapat menghasilkan warna suara yang sedikit berbeda. Selain itu, teknik meredam (damping) suara dengan tangan setelah dipukul juga sering dilakukan untuk mengontrol durasi gema.

Interaksi dengan Instrumen Lain: Sinergi dalam Dentingan

Dalam ansambel, bende berinteraksi dengan berbagai instrumen lain untuk menciptakan harmoni dan ritme yang kompleks:

Keterlibatan bende dalam musik Nusantara menunjukkan betapa instrumen ini, meskipun kecil, memiliki kontribusi yang besar dalam menciptakan kekayaan sonik dan struktur ritmis yang menjadi ciri khas musik tradisional Indonesia. Ia adalah suara yang tak lekang oleh waktu, terus beresonansi dalam setiap melodi yang dimainkan.

Pelestarian dan Tantangan di Era Modern

Di tengah deru modernisasi dan derasnya arus globalisasi, bende, seperti banyak instrumen tradisional lainnya, menghadapi tantangan besar dalam upaya pelestariannya. Namun, kesadaran akan pentingnya menjaga warisan budaya ini juga semakin tumbuh, memicu berbagai upaya untuk memastikan gema abadi bende tetap terdengar hingga generasi mendatang.

Ancaman: Gerusan Zaman dan Modernitas

Berbagai faktor berkontribusi pada kerentanan bende di era modern:

Upaya Pelestarian: Menjaga Api Tradisi

Meskipun menghadapi tantangan, berbagai pihak terus berupaya keras untuk melestarikan bende:

Adaptasi Kontemporer: Bende dalam Arus Modern

Pelestarian tidak selalu berarti mempertahankan dalam bentuk murni yang statis. Adaptasi dan inovasi juga merupakan kunci kelangsungan hidup bende:

Peran Pemerintah dan Komunitas: Sinergi untuk Kelestarian

Upaya pelestarian bende membutuhkan sinergi dari berbagai pihak:

Masa depan bende bergantung pada kemampuan kita sebagai masyarakat untuk melihatnya bukan hanya sebagai artefak masa lalu, melainkan sebagai instrumen yang hidup, relevan, dan terus-menerus mampu menginspirasi. Dengan upaya kolektif, gema abadi bende akan terus beresonansi, menceritakan kisah-kisah Nusantara kepada dunia.

Kesimpulan

Bende, instrumen perkusi logam yang seringkali terlihat sederhana, adalah cerminan kekayaan dan kedalaman budaya Nusantara yang tak ternilai harganya. Dari dentingannya yang nyaring dan jernih, kita dapat mendengar gema sejarah yang membentang ribuan tahun, dari peradaban prasejarah hingga era modern yang penuh gejolak. Bende telah menjadi saksi bisu, sekaligus aktor utama, dalam berbagai peristiwa penting: sebagai alat komunikasi yang vital, penanda status sosial, dan yang terpenting, sebagai mediator spiritual dalam ritual dan upacara adat yang sakral.

Anatomi bende, mulai dari pemilihan perunggu terbaik hingga proses penempaan yang presisi dan penalaan yang mendalam, mencerminkan kearifan lokal para pengrajin yang mengintegrasikan ilmu metalurgi, seni, dan filosofi. Setiap denting bende bukan hanya sekadar suara, melainkan hasil dari kerja keras, dedikasi, dan sebuah "resep" rahasia yang diwariskan secara turun-temurun, menciptakan karakter suara yang unik dan penuh makna.

Dalam lanskap musik tradisional, bende mungkin tidak selalu menjadi sorotan utama, namun perannya dalam berbagai ansambel seperti gamelan Jawa, Bali, dan Sunda, serta dalam iringan Reog dan berbagai upacara adat, sangatlah fundamental. Ia adalah penjaga irama, pemberi aksen yang tegas, dan pengisi tekstur sonik yang memperkaya keindahan melodi Nusantara. Kepekaan pemainnya dalam menempatkan setiap pukulan adalah kunci untuk menjaga harmoni dan struktur musikal.

Namun, di tengah arus modernisasi, bende menghadapi berbagai tantangan, mulai dari berkurangnya minat generasi muda, kelangkaan pengrajin, hingga sulitnya mendapatkan bahan baku. Ancaman ini menuntut kita untuk bergerak cepat dan bersinergi dalam upaya pelestarian. Pendidikan, lokakarya, festival, dokumentasi, hingga adaptasi inovatif dalam musik kontemporer adalah langkah-langkah krusial yang harus terus digalakkan.

Sebagai warisan tak benda yang tak ternilai, bende adalah bagian integral dari identitas bangsa Indonesia. Melalui setiap dentingannya, ia terus menceritakan kisah tentang kebijaksanaan leluhur, kekuatan komunitas, dan hubungan mendalam antara manusia dengan alam semesta. Melestarikan bende berarti menjaga sebuah jendela menuju masa lalu, sekaligus membuka pintu bagi inspirasi masa depan. Semoga gema abadi instrumen logam Nusantara ini akan terus bergaung, mengingatkan kita akan akar budaya yang kaya dan tak terhingga.